Thursday, 18 March 2010

TRADISI MULUDAN (Observasi di Kubang, Desa Cipare, Kecamatan Serang)

Telah Diterbitkan pada TAZKIYA Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan dan Kebudayaan. Pusat Kajian Islam dan Kemasyarakatan IAIN SMHB Vol. III No. 1, Januari-Juni 2002.

OLEH: WAZIN BAIHAQI

A. Pendahuluan
Kelebihan manusia dari mahluk ciptaan Allah yang lainnya adalah bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam cara kehidupan dan lingkungannya. Kemampuan untuk merubah itu membuktikan bahwa manusia tidak semata-mata digerakkan oleh nalurinya tetapi lebih dari itu ia memiliki akal yang mampu menalar dan mendorong manusia untuk terlepas dari kondisi stagnan. Naluri/ instinc adalah kecenderungan inheren dari suatu organisma untuk menanggapi stimulus sesuai dengan pola yang teratur . Naluri merupakan pembawaan alami yang tidak disadari mendorong untuk berbuat sesuatu . Sedangkan akal adalah daya pikir yang memiliki kemampuan untuk menalar lingkungan . Dengan akalnya manusia tidak hanya mampu membuat peralatan-peralatan (teknologi) yang memberi kemudahan dalam kehidupan praktis, tetapi juga mampu memahami konsep-konsep abstrak berupa sistem nilai yang menyangkut kualitas baik buruknya suatu perbuatan.
Agama Islam bukanlah kerangka nilai yang diciptakan manusia, tetapi merupakan petunjuk Allah untuk manusia dalam kehidupannya di dunia. Di dalam Islam, petunjuk-pertunjuk tersebut menyangkut perkara yang bersifat kolektif (seperti kosep ekonomi dan politik) dan perkara-perkara yang bersifat pribadi (misalnya akhlak seorang muslim). Petunjuk-petunjuk dalam Islam yang mencakup sistem nilai, memberi peluang interpretasi akal budi manusia. Tetapi ada pula yang memberi acuan praktis seperti larangan terhadap judi, khamar, riba dan zina.
Peluang manusia untuk menafsirkan petunjuk-petunjuk agama Islam pada akhirnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sosial budaya. Proses penafsiran tidak hanya menyangkut masalah hukum yang termanifestasi dalam bentuk ijtihad, tetapi juga proses sosial kemasyarakatan yang sarat dengan kehidupan budaya spesifik masyarakat setempat. Seringkali semangat dan komitmen sebuah masyarakat terhadap agamanya diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol (lambang) budaya masyarakat setempat. Karena itu dalam derajat tertentu Islam faktual memiliki keanekaragaman dalam hal pelaksanaan, menyangkut hal-hal tidak prinsipil di luar masalah tauhid dan pokok-pokok hukum Islam.
Secara akademis, fenomena kebudayaan dapat dilihat dengan 2 macam pendekatan. Pendekatan pertama melihat kebudayaan dari luar ke dalam, sedangkan pendekatan kedua melihat kebudayaan dari dalam ke luar . Pendekatan pertama menganalisis bagaimana unsur-unsur luar seperti pengaruh geografis, pergantian musim dan lain sebagainya mempengaruhi budaya setempat. Pendekatan kedua menganalisis bagaimana sistem nilai suatu masyarakat mempengaruhi sistem simbol dan bagaimana sistem simbol itu pada akhirnya mempengaruhi sistem-sistem sosio kultural.
Islam adalah sistem nilai yang diyakini oleh kelompok dalam sebuah masyarakat. Yang akan dianalisis dalam pembahasan ini adalah bagaimana Islam sebagai sistem nilai yang diyakini, mempengaruhi sistem simbol yang meliputi sistem bahasa, sistem kesusasteraan, mitos, ilmu pengetahuan, sejarah dan lain sebagainya. Pembahasan ini difokuskan kepada bagaimana keterikatan ummat Islam setempat terhadap Nabi Muhammad yang dimulyakan, termanifestasi dalam bentuk simbol-simbol budaya setempat melalui sebuah upacara khas memperingati kelahiran Nabi Muhammad.
Pembahasan ini bukanlah sebuah penelitian akurat untuk mempertahankan sebuah asumsi dan membuktikan kebenaran sebuah hipotesis tetapi merupakan sebuah observasi awal yang semata-mata mengandalkan kemampuan penulis dalam usaha mengamati dan menganalisis sebuah fenomena.


B. Islam dan Budaya
Konsep sentral dalam Islam adalah tauhid yang berisi ajaran bahwa Allah adalah pusat dari segala sesuatu dan bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada Nya. Tetapi ternyata sistem tauhid ini memiliki arus balik kepada manusia. Dalam banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an dapat dilihat bahwa iman yaitu keyakinan religius yang berakar pada pandangan teosentris, selalu dikaitkan dengan amal yaitu perbuatan atau tindakan manusia .
Iman dalam tauhid selalu dikaitkan -- dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan -- dengan amal.. Artinya iman harus senantiasa diaktualisasikan dalam bentuk tindakan manusia kepada manusia lain dan sekelilingnya. Pelaksanaan zakat adalah bersumber dari keimanan (tauhid) yang implikasiya justru terlihat dalam dalam hubungan antara manusia yang bertujuan untuk kesejahteraan sosial. Karena itu di dalam Islam konsep teosentrisme ternyata bersifat humanistik (humanisme-teosentris) .
Untuk selanjutnya semua hubungan manusia dengan lingkungannya tidak terlepas dari tema sentral humanisme-teosentris, termasuk di dalamnya ketika manusia menciptakan simbol-simbol (lambang) dalam beberapa aspek kehidupan yang berfungsi sebagai ekspresi, keterikatan atau identitas masyarakat dan individu. Sistem simbol yang muncul dari tema sentral humanisme-teosentris ini terbentuk karena proses dialektika antara nilai dan kebudayaan .
Indonesia pernah mengalami dualisme kebudayaan yaitu antara kebudayaan keraton (kekuasaan) dan budaya populer. Berbeda dengan kerajaan Islam di luar Jawa, kerjaan-kerajaan di Jawa (khususnya keraton di Jawa Tengah dan Jawa Timur) cenderung menggunakan unsur-unsur Islam untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga simbol-simbol yang digunakannya berfungsi untuk melestarikan kekuasaan . Salah satunya adalah gelar Sultan Agung yang disebut dengan khalifatullah (wakil Tuhan di tanah Jawa) cenderung ditafsirkan sebagaimana pengaruh Hindu dimana raja adalah keturunan Dewa yang suci sehingga memiliki kekuasaan yang langgeng dan absolut. Berbeda dengan budaya pada tataran budaya populer (rakyat) yang lebih jujur dalam menyerap pengaruh-pengaruh Islam tanpa kepentingan kekuasaan. Kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol Islam sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia . Ekspresi-ekspresi ritual yang terlihat dalam upacara-upacara sosial maupun kesenian populer tradisional menunjukkan pengaruh Islam yang sangat kuat. Contohnya upacara “pangiwahan” di Jawa yang dimaksud agar manusia dapat menjadai “wiwoho”, menjadi mulia melalui memulyakan kelahiran, perkawinan, kematian dan lain sebagainya. Kesenian populer tradisional yang terpengaruh oleh unsur-unsur Islam diantaranya adalah seni tari, seni kaligrafi, sastra, arsitektur dan sebagainya.
Upacara-upacara sosial yang dipengaruhi oleh unsur Islam terlihat dari peringatan hari lahir Nabi Muhammad s.a.w. Dalam setiap daerah, perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad diadakan dengan upacara-upacara tertentu, yang tujuannya adalah untuk mendapatkan berkah. Pada tahun 60’an Hoesein Djajadiningrat menguraikan beberapa tata cara peringatan hari lahir Nabi Muhammad di daerah Aceh dan Jawa Barat . Di Aceh, puji-pujian terhadap Nabi Muhammad dilakukan sambil membuat simpul-simpul jimat dilakukan selama berdo’a sesudah pembacaan maulud. Di Jawa Barat ada amalan-amalan yang dihubungkan dengan do’a terakhir yang digabungkan dengan suatu kalimat yang berbunyi “dan terimalah itu (ialah pembacaan maulud) dari kami dengan penerimaan yang baik”. Ketika kata “penerimaan” itu diucapkan, para peserta mengambil segenggam nasi yang dihidangkan pada upacara itu kemudian dijemur lalu disimpan dan dipergunakan bila diperlukan restu khusus, misalnya bila akan bepergian jauh. Di Jawa Barat umumnya melakukan pekerjaan-pekerjaan penting dilakukan setelah pembacaan maulud, misalnya pembuatan simpul jala. Puji-pujian kepada Nabi Muhammad tidak hanya dilakukan pada bulan Rabiul awal (bulan kelahiran Nabi) tetapi juga pada peristiwa-peristiwa penting lainnya seperti mencukur bayi, peringatan kelahiran dan kematian, khitan dan sebagainya. Di Cirebon selama bulan Rabiul awal banyak orang datang ke makam Sunan Gunung Djati untuk berziarah. Kini empat puluh tahun setelah P.A. Hoesein Djajadiningrat menulis tentang tata cara upacara peringatan hari lahir Nabi Muhammad di beberapa daerah, tentu perkembangan dan perubahan sebuah tradisi/ kebiasaan dalam sebuah kerangka budaya sedikit banyak telah terjadi, demikian juga halnya dengan tradisi perayaan maulud Nabi Muhammad.
Sebuah tradisi kebudayaan akan dapat bertahan apabila tradisi kebudayaan tersebut masih berfungsi secara ekonomik, sosial, politik maupun etik. Pada umumnya tradisi akan berubah atau hilang seiring dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat. Perubahan dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi perubahan tradisi diantaranya adalah perubahan mata pencaharian, mobilitas sosial, gaya hidup dan cara berekspresi. Sebuah tradisi yang masih berlaku dapat juga berubah atau hilang karena karena telah ada media lain yang dianggap lebih fungsional bagi masyarakat.
Tatas cara maulud di Aceh dan Jawa Barat yang diuraikan P.A. Hoesein Djajadiningrat sekitar tahun 60’an mengalami beberapa perubahan, terutama tentang permohonan berkah di bulan maulud. Pada awal tahun 70’an masih terlihat anak-anak dikenakan kalung hitam dengan bandul hitam berisi do’a-do’a dan kini hal itu sudah tidak nampak lagi. Demikian juga tentang hidangan nasi maulud yang dikeringkan tidak lagi memiliki nilai sakral.
Simbol-simbol yang hilang dari tradisi perayaan lahirnya Nabi Muhammad dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah:
1. Ketika masyarakat masih pada tahap agraris dimana mereka sangat tergantung kepada kondisi alam dan menyadari bahwa mereka tidak dapat mengendalikan alam (cuaca), maka yang timbul adalah simbol-simbol untuk “berdamai” dengan alam, contohnya tentang hari menanam pada yang baik, hari baik untuk membuat jala dan sebagainya. Kini mayarakat telah atau sedang mencapai tahap industri dimana ketergantungan terhadap kondisi alam dapat diatasi dengan kemampuan teknologi.
2. Perubahan orientasi dari cara mistis kepada cara bersikap rasional.
3. Ada pembaharuan -- dalam derajat tertentu -- yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang menjadi alternatif untuk mengganti tradisi lama yang dianggap kurang sesuai dengan kondisi masyarakat. Jika hasil pembaharuan dirasakan lebih fungsional maka semua masyarakat akan mengakui perubahan tradisi yang terjadi.

C. Kebudayaan Banten
Sejarah mencatat bahwa masyarakat di wilayah Banten pada abad V Masehi pernah menganut agama Hindu-Shiwa, dengan ditemukannya patung Ganesha dan Shiwa di lereng gunung Raksa Pulau Panaitan.Setelah itu pada abad XIV Masehi Banten yang pada waktu itu berada di bawah kekeuasaan kerajaan Pajajaran menganut agama Hindu-Budha. Walaupun demikian masuknya Islam ke wilayah Nusantara pada abad VII-VIII Masehi melalui jalur perdagangan, juga mempengaruhi masuknya Islam ke Banten sebagai daerah pelabuhan inrternasional. Ketika Sunan Ampel Denta pertama kali datang ke Banten sudah didapatinya banyak penduduk yang beragama Islam . Bahkan ketika Syarif Hidayatullah datang ke Banten, sudah didapatinya banyak penduduk yang beragama Islam .
Setelah berdiri kerajaan Islam di Banten yang diperintah oleh Maulana Hasanuddin (1550-1570) Islam mulai menunjukkan dominasinya di wilayah itu dalam bidang ekonomi, politik maupun tradisi rakyat. Sebagai sebuah proses sosial, ketika Islam menyentuh segala aspek kemasyarakatan dan budaya maka interaksi Islam dengan budaya setempat (yang semula diwarnai oleh Hindu-Budha) tidak dapat terhindarkan, sehingga terjadilah terjadilah sebuah proses akulturasi. Tetapi karena Islam menetapkan sebuah batas kewenangan tentang proses penafsiran, maka tidak semua unsur dalam Islam dapat ditafsirkan oleh dan dengan budaya setempat, khususnya mengenai konsep tauhid.
Bentuk bangunan masjid-masjid di wilayah Banten masih menunjukkan proses akulturasi antara budaya setempat dengan Islam. Bentuk atap masjid berbentuk segi empat yang tersusun secara kerucut melebar ke bawah adalah pengaruh budaya setempat. Sedangkan bentuk menara yang sebelumnya tidak ada dalam dalam tradisi budaya setempat nampaknya ditiru secara penuh dengan gaya timur tengah dalam bentuk atap yang bulat. Demikian juga alat bedug yang dipakai sebagai tanda datangnya waktu shalat merupakan tradisi budaya setempat.
Kesenian di Banten memiliki warna Islam yang dominan seperti rampak bedug, tradisi “buka pintu” pada acara perkawinan dimana pihak pengantin laki-laki mengucapkan salam dengan do’a-do’a dan puji-pujian kepada Nabi Muhammad. Selain itu terdapat kesenian debus yang memiliki unsur mistik yang kental. Kesenian debus hanya dikenal di Banten dan kemungkinan merupakan hasil akulturasi tradisi budaya setempat dengan Islam.

D. Pelaksanaan “Muludan” di Kubang Desa Cipare Kecamatan Serang
Pada setiap bulan Rabiul awal tahun Hijriah yang merupakan perhitungan tahun dalam Islam, di banyak tempat di Indonesia dilaksanakan perayaan peringatan hari lahirnya Nabi Muhammad atau maulud Nabi. Di wilayah Banten perayaan peringatan hari lahirnya Nabi Muhammad disebut dengan “muludan”.
Muludan di Banten dirayakan dengan upacara khas yang ditandai dengan dikeluarkannya hidangan dalam bentuk khusus oleh setiap rumah. Hidangan itu berupa satu “bakul” besar berisi nasi dan lauk pauk. Selain itu terdapat hiasan berupa telur matang yang ditempeli dengan kertas dibentuk seperti bunga. Kemudian telur yang telah dihias tersebut ditusuk dengan dengan sebilah potongan bambu yang berfungsi sebagai tangkai dan ditanam di dalam nasi menyerupai tanaman hidup yang tertancap dalam tanah. Bagi orang yang mampu, hiasan telur ini dapat ditambah dengan hiasan lainnya berupa benda-benda yang memiliki nilai (harga) seperti sarung, uang yang dikibarkan seperti bendera atau jam dinding. Kadangkala tempat hidangannya dihias dengan bentuk perahu atau bentuk lainnya. Hidangan yang dikeluarkan pada waktu muludan ini disebut dengan “panjang muludan” sedangkan telur berhias yang ditusuk dengan sebilah bambu kecil disebut dengan “pepentul”.
Seperti terjadi di beberapa kampung di kecamatan Serang, demikian pula muludan yang dilaksanakan di kampung Kubang. Pada hari yang telah ditentukan, “panjang muludan” disiapkan di tiap rumah, kemudian secara bergantian di bawa ke sebuah tempat (biasanya di masjid) dengan diiringi tabuhan “terbang” (rebana) yang dimainkan oleh beberapa orang serta pembacaan salawat dan puji-pujian kepada Allah dan RasulNya.Tabuhan terbang untuk muludan memiliki ritme khas yang hanya dipakai pada waktu berlangsungnya perayaan muludan.
Tanggal pelaksanaan muludan tidak harus tepat pada tanggal 12 , tetapi tetap pada bulan Rabiul Awal. Pada umumnya perayaan muludan di suatu kampung juga dihadiri oleh para undangan dari kampung-kampung lain yang terdekat, dan ini dilaksanakan secara bergantian.
Pembagian “panjang muludan” dilaksanakan pada acara terakhir setelah pembacaan do’a dan salawat. Setelah itu upacara selesai . Adapun hidangan yang telah dibagikan tidak disantap bersama-sama tetapi dibawa pulang.
Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat perubahan tata cara muludan yang tidak sesuai dengan ciri pokoknya selama ini. Beberapa orang tidak lagi mengeluarkan hidangan matang tetapi berupa bahan pangan mentah. Hidangan bahan pangan mentah itu ada yang masih dihiasi telur atau “pepentul” ada pula yang tidak. Kemudian cara menghias telur mengalami perubahan juga yaitu ada yang digantung dengan pita plastik berbentuk jaring yang berfungsi sebagai pembungkus. Nampaknya hidangan matang dan telur berhias dengan tangkai bambu tidak lagi merupakan suatu keharusan. Penduduk setempat (masyarakat Kubang) kini mulai berfikir praktis. Hidangan mentah (disebut dengan mentahan) dapat disimpan lebih lama sehingga lebih bernilai. Begitu pula dengan telur yang ditusukkan pada bambu dirasakan lebih cepat basi dan tidak dapat disantap sehingga lebih baik menggantungnya saja agar lebih tahan lama. Tetapi perubahan baru ini belum banyak diikuti oleh sebagian besar masyarakat Kubang karena dianggap kemeriahan muludan berkurang karena “panjang muludan” tidak nampak semarak.
Sulit untuk mencari sumber data apakah telur berhias dengan tangkai bambu dan hidangan matang dalam bakul memiliki nilai filosofis-simbolis atau tidak. Nampaknya masyarakat sudah tidak menunjukkan perhatian lagi untuk menggali nilai filosofis-simbolis dari bentuk hidangan kecuali nailai sadaqahnya dan memulyakan Nabi Muhammad. Karena itu perubahan bentuk hidangan dari bahan pangan matang kepada bahan pangan mentah dan bentuk hiasan telur tidak menjadi permasalahan yang besar. Di sisi lain sebetulnya nilai filosofis-simbolis dari sebuah tradisi perlu dimengerti karena mengandung nilai-nilai yang perlu dipelajari dan dihayati oleh masyarakat. Pentingnya upacara sosial seperti muludan ini bukan semata-mata bertujuan untuk memulyakan Nabi dan bersadaqah saja tetapi mungkin terdapat nilai-nilai ideal masyarakat yang perlu dilestarikan melalui simbol-simbol yang digunakan dalam upacara sosial tersebut.
Beberapa orang dalam masyarakat Kubang masih mempertahankan tradisi dengan menyalakan dupa menjelang “panjang muludan” dibawa ke tempat perayaan, dengan alasan agar wangi karena malaikat menyukai wewangian. Tetapi nampaknya kegiatan ini tidak lagi banyak diikuti orang.
Tekanan akan keharusan pelaksanaan muludan berbeda-beda pada setiap tempat. Di Kubang perayaan muludan tidak pernah ditinggalkan pada setiap tahunnya. Masyarakat sangat antusias melihat kemeriahan dan keagungannya ketika ketika hidangan berhias tersebut secara bersamaan dibawa ke Masjid dengan diiringi tabuhan “terbang” dan salawat yang saling bersahutan. Namun demikian mengeluarkan hidangan dalam perayaan muludan ini bukanlah suatu keharusan karena beberapa orang yang tidak mengeluarkan hidangan -- dengan berbagai alasan -- tidak mendapat sangsi apapun.
Beberapa tahun yang lalu di Kaujon Tengah -- sebuah kampung yang dekat dengan Kubang -- pernah tidak dilakukan perayaan muludan seperti biasanya, tetapi dana yang telah disiapkan oleh penduduk untuk mludan disumbangkan untuk pembangunan Masjid. Peristiwa ini menunjukkan bahwa perayaan muludan bisa saja tidak dilaksanakan demi kebutuhan yang dianggap lebih penting. Disini terlihat bahwa masyarakat Kaujon berfikir lebih pragmatis.
Berbeda dengan perayaan muludan di Kampung Sepang dan sekitarnya yang lokasinya masih bersebelahan dengan Kubang dan Kaujon, penduduknya sengaja menabung selama setahun untuk kepentingan perayaan muludan atau dengan cara lain mereka sengaja menyisihkan anggaran untuk muludan. Walaupun kurang dipahami makna filosofis-simbolis dibalik bentuk hidangan khas muludan, nampaknya keharusan tradisi terasa lebih kental di Sepang. Bahkan mereka mengirimkan hidangan berupa nasi, lauk pauk dan kue-kue kepada kerabat di kampung lain.
Untuk merneruskan tradisi nampaknya masyarakat tidak selalu perlu untuk paham simbol makna dibalik tradisi tersebut. Tetapi sejalan dengan proses waktu, tradisi yang kehilangan simbol lambat laun akan berubah, digantikan atau hilang. Simbol yang kehilangan fungsinya dalam masyarakat pun lambat laun akan hilang. Berubahnya masyarakat dari fase agraris ke fase industri atau perubahan mobilitas penduduk dan perubahan orientasi menyebabkan hilang atau digantikannya simbol dan tradisi yang semula ada. Hal ini terlihat dari perbedaan penekanan keharusan perayaan muludan di Kubang, Kaujon dan Sepang.
Karaktreristik masyarakat Kaujon dengan tingkat ekonomi menengah, mobilitas sosial tinggi, keterlibatan dalam sektor formal, tingginya tingkat pendidikan dan cara berfikir yang praktis menyebabkan tradisi muludan (yang ada pada kekaburan makna filosofis-simbolis pada bentuk hidangannya) tidak lagi merupakan keharusan dan dapat digantikan.
Karakteritik masyarakat Kubang dengan tingkat ekonomi menengah bawah, mobilitas penduduk tidak tinggi, lebih terlibat pada sektor informal dengan cara berfikir yang masih berorientasi pada masa lalu mengasosiasikan tradisi muludan dengan identitas masyarkatnya. Karena itu muludan hampir merupakan suatu keharusan demi kebutuhan untuk identitas dan aktualisasi masyarakatnya, sekaligus menampakkan kekuatan solidaritasnya.
Sebaliknya, keharusan menjalankan tradisi kadangkala tidak memerlukan alasan logis untuk melaksanakannya. Sesuatu yang telah meresap dalam kultur seringkali terasa lebih mendarahdaging dibanding sesuatu yang bersifat doktriner. Bahkan lewat jalur kultur sebuah nilai atau kebiasaan lebih mudah terinstitusionalisasi (melembaga). Lebih jauh proses melembaga ini kemudian diinternalisasi (dijiwai) sebagai sebuah sistem nilai yang mengontrol setiap individu. Inilah yang terjadi pada masyarakat Sepang, sehingga tradisi muludan adalah sebuah keharusan yang tidak dapat ditawar lagi. Jika tidak dilaksanakan ada perasaan tidak puas dan perasaan malu kepada penduduk lain. Artinya ada sangsi sosial -- dalam derajat tertentu -- seperti perasaan malu atau dipertanyakan.
Muludan tidak semata-mata merupakan tradisi yang menunjukkan komitmen masyarakat terhadap Islam, tertapi sudah merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat. Justru komitmen yang ditunjukkan melalui simbol budaya setempat akan lebih mengakar dan dapat bertahan dan walaupun masyarakat berubah komitmen yang sama akan diwujudkan dengan simbol lain sesuai dengan perkembangan masyarakat. Belum diketahui sejak kapan perayaan muludan dengan hidangan khas ini dilaksanakan dan sejauhmana perubahan-perubahan terjadi dalam bentuk perayaannya. Tetapi makna perayaan tersebut sebagai sebuah komitmen masyarakat terhadap Islam dan Nabi Muhammad tetap terpelihara walaupun tidak harus dilaksanakan dalam bentuk yang khas, dan ini terjadi pada masyarakat Kaujon yang masyarakatnya telah berubah dan berkembang.
Setidaknya dalam setahun sekali masyarakat Kubang atau masyarakat lain yang melaksanakan muludan diingatkan kembali kepada perjalanan hidup Nabi Muhammad. Tetapi kecenderungan yang dapat diamati ketika arti simbol menjadi semakin kabur, perayaan muludan dapat terjebak dalam area seremonial tanpa makna dan tanpa penghayatan. Pada akhirnya masyarakat tidak dapat menangkap makna yang lebih dalam dari sekedar aktualisasi identitas masyarakat dan individu.

E. Kesimpulan
Dari pengamatan awal serta didukung dengan daya analisis dari sudut pandang sosiologis antropologis dapat disimpulkan bahwa:
1. Terdapat derajat “keharusan” yang berbeda-beda di setiap tempat dalam hal pelaksanaan muludan.
2. Perbedaan derajat “keharusan” tersebut dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat dan arti muludan bagi masyarakat individu dan masyarakat.
3. Derajat keharusan itu terbagi dalam 3 kategori yaitu:
• Pelaksanaan muludan adalah merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar lagi. Hal ini terjadi pada masyarakat Sepang. Ada sangsi sosial jika tidak mengikuti perayaan muludan.
• Pelaksanaan muludan hampir merupakan suatu keharusan . Hal ini terjadi pada masyarakat Kubang . Individu atau keluarga yang tidak dapat mengikuti perayaan muludan dengan mengeluarkan hidangan tidak mendapat sangsi tetapi secara keseluruhan perayaan muludan itu harus dilaksanakan.
• Pelaksanaan muludan bukan merupakan suatu keharusan. Hal ini terjadi pada masyarakat Kaujon, dimana untuk alasan-alasan yang bersifat pragmatis dan dianggap lebih penting, pelaksanaan muludan dapat digantikan bentuknya.
4. Terdapat perubahan yang tidak menyeluruh tentang masalah bahan pangan yang dihidangkan. Kini yang dihidangkan tidaklah harus bahan pangan yang sudah matang tetapi juga bahan pangan mentah. Demikian juga dengan bentuk hiasan telur. Perubahan ini hampir tidak mendapat halangan karena bentuk penyajian hidangan sudah tidak lagi memeiliki simbol apapun yang berfungsi dalam masyarakat kecuali nilai sadaqahnya dalam rangka memuliakan hari kelahiran Nabi Muhammad.
5. Untuk memperkuat makna muludan itu sendiri sebetulnya perlu digali kembali makna filosofis-simbolis dari “panjang muludan” atau bentuk “pepentul” sehingga makna muludan lebih mendalam, bukan hanya untuk memulyakan Nabi dan nilai sadaqahnya tetapi barangkali menyimpan nilai-nilai kemasyarakatan dari budaya setempat. Bentuk “panjang muludan” dan bentuk “pepentul” begitu mudah mengalami perubahan tanpa halangan masyarakat disebabkan nilai filosofis-simbolis dari keduanya sudah hilang atau sudah tidak dipahami lagi oleh masyarakat. Sedangkan perayaan muludan itu sendiri masih tetap akan bertahan selama upacara tersebut dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam mengekspresikan penghormatannya kepada Nabi Muhammad. Di masa yang akan datang mungkin saja terjadi perubahan dalam tata cara perayaan muludan tetapi tetap dengan makna inti yang sama yaitu memuliakan Nabi.

No comments:

Post a Comment