A. Bimbingan
1. Pengertian Bimbingan
Bimbingan (guidance)
merupakan istilah keilmuan yang bersifat teknis. Konsep bimbingan biasanya
banyak digunakan dalam praktek-praktek psikologi dan pendidikan sekolah. Dalam
perkembangan selanjutnya konsep bimbingan tidak hanya digunakan untuk
terapi-terapi individu tetapi juga digunakan untuk perbaikan suatu kelompok.
Batasan mengenai bimbingan dikemukakan oleh Bimo yaitu:
...bimbingan itu tidak terlepas dari adanya bantuan
yang diberikan kepada orang lain oleh seseorang, untuk mengembangkan
kemampuan-kemampuannya secara optimal, agar individu dapat memecahkan
masalahnya sendiri dan agar individu dapat mengadakan penyesuaian yang baik[1].
Dari definisi yang diberikan Bimo dapat disimpulkan
bahwa:
1.
Bimbingan diberikan oleh seseorang
kepada seseorang lain.
2.
Tujuan bimbingan adalah untuk
mengembangkan kemampuan seseorang agar dapat menyesuaikan diri dan dapat
memecahkan masalah-masalahnya.
Konsep bimbingan yang dikemukakan oleh Bimo dapat diperluas
lagi, yaitu bahwa bimbingan dapat pula diberikan oleh sekelompok orang atau
lembaga. Demikian juga, yang dapat dibimbing tidak hanya individu
tetapi juga kelompok dan masyarakat. Yang perlu diingat adalah bahwa
gejala-gejala yang terjadi pada kelompok dan masyarakat sangat berbeda dengan
gejala-gejala yang terdapat pada individu.
Tujuan bimbingan
untuk kelompok pada dasarnya memiliki kesamaan dengan tujuan bimbingan untuk individu yaitu agar
dapat lebih berkembang, menyesuaikan diri dan memiliki kemampuan untuk memecahkan
masalah yang dihadapi. Kelompok yang
berkembang baik dicirikan dengan integrasi kelompok yang kuat, daya adaptasi
yang baik terhadap lingkungan dan kemampuan dalam memecahkan masalah-masalah kelompok. Setiap kelompok yang dibimbing akan diarahkan pada kondisi seperti
tersebut. Konsep bimbingan dapat diberikan kepada semua kelompok seperti
kelompok remaja, kelompok kesukuan, keluarga dan lain-lain.
2. Fungsi Bimbingan
Setiap
individu, kelompok dan masyarakat memiliki kondisi yang berbeda-beda. Tetapi
secara garis besar dapat dibagi kedalam 3 bagian yaitu:
·
Individu, kelompok dan masyarakat
yang bermasalah.
·
Individu , kelompok dan masyarakat
yang tidak bermasalah tetapi perlu tindakan antisipasi agar tidak bermasalah.
·
Individu, kelompok dan masyarakat
yang tidak bermasalah dan berusaha agar dapat berkembang secara optimal dan
lebih baik.
Pada dasarnya semua individu,
kelompok dan masyarakat (IKM) memerlukan bimbingan dalam kondisi apapun, karena
manusia dan lingkungan tak pernah berhenti berubah dan dalam setiap perubahan
selalu potensial menimbulkan masalah. Untuk menghadapi
perubahan-perubahan itulah individu,
kelompok dan masyarakat (IKM) memerlukan bimbingan agar memiliki kemampuan dan
kekuatan adaptasi tanpa meninggalkan nilai-nilai prinsipil yang diyakini.
Sebuah
kondisi dikatakan bermasalah apabila:
·
Kondisi tersebut menimbulkan
perasaan tidak nyaman dan aman bagi individu, kelompok dan masyarakat.
·
Ketidakmampuan individu, kelompok
dan masyarakat dalam menjalankan peranan-peranannya.
·
Terdapat kesenjangan dan
pertentangan antara nilai-nilai ideal yang diyakini individu, kelompok dan
masyarakat dengan kenyataan yang terjadi.
Bimbingan memiliki beberapa fungsi yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing
individu, kelompok dan masyarakat. Fungsi bimbingan diantaranya adalah:
·
Fungsi Rehabilitatif (fungsi
perbaikan): Bimbingan yang diberikan kepada individu, kelompok dan masyarakat
yang mengalami masalah agar mereka dapat memecahlan masalah dengan kemampuannya
sendiri.
·
Fungsi Preventif (fungsi
pencegahan): Bimbingan yang diberikan kepada individu, kelompok dan masyarakat
agar mampu melakukan pencegahan dari masalah-masalah yang mungkin timbul.
·
Fungsi Supportif (fungsi
pendorong): Bimbingan yang diberikan kepada individu, kelompok dan masyarakat agar dapat lebih mengembangkan kemampuannya secara optimal.
Ketiga fungsi bimbingan ini pada dasarnya memiliki satu inti
pemahaman yaitu membangun
kemandirian individu, kelompok dan masyarakat agar
mampu menyelesaikan masalahnya. Dalam proses bimbingan, pemecahan
masalah ada pada individu, kelompok dan masyarakat bukan pada pembimbing.
Pembimbing hanya berfungsi sebagai pemicu potensi individu, kelompok dan
masyarakat agar dapat lebih berkembang, mandiri dan dapat melihat serta
memecahkan masalahnya dengan baik.
3. Proses Bimbingan
Dalam proses
bimbingan ada 3 unsur yang saling berinteraksi untuk tercapainya tujuan
bimbingan yaitu:
·
Pembimbing adalah pihak yang
membantu untuk tercapainya tujuan bimbingan. Pembimbing adalah seseorang,
sebuah tim (sekelompok orang) atau lembaga yang berwenang dan atau memiliki
keterampilan tertentu sehubungan dengan masalah yang dihadapi.
·
Terbimbing adalah individu,
kelompok dan masyarakat yang memerlukan bimbingan, baik bimbingan yang
rehabilitatif, preventif atau supportif.
·
Fasilitas bimbingan adalah
perangkat materiil maupun immateriil yang sekiranya dapat mendukung dan
membantu proses bimbingan demi tercapainya tujuan bimbingan.
Untuk
membantu terbimbing, pembimbing selain harus memiliki keterampilan
berkomunikasi juga memerlukan perangkat ilmu lainnya seperti psikologi,
sosiologi dan ilmu hukum. Metode dan teknik-teknik
bimbingan dapat diperoleh dari ilmu psikologi dan sosiologi. Sedangkan ilmu
hukum diperlukan untuk melihat permasalahan-permasalahan yang kemungkinan
menyangkut perbuatan hukum terbimbing. Beberapa teknik bimbingan yang dapat
diadopsi dari ilmu psikologi untuk proses bimbingan misalnya teknik wawancara
dan kelompok terapi. Sedangkan sosiologi membantu pembimbing untuk memahami
kaitan inidividu dengan lingkungan sosial serta perilaku kelompok dan
masyarakat. Di dalam metode pekerjaan sosial terdapat teknik bimbingan yang
disebut dengan manipulasi lingkungan. Teknik manipulasi lingkungan menggunakan
suatu situasi sosial yang direkayasa sedemikian rupa sehingga tercipta suatu
lingkungan yang kondusif untuk dapat mendukung tercapainya tujuan bimbingan. Apabila sudah terdapat suatu lingkungan yang positif untuk terbimbing,
maka pembimbing cukup menempatkan terbimbing dalam lingkungan sosial tersebut,
misalnya memanfaatkan kegiatan-kegiatan masjid untuk remaja yang memerlukan
bimbingan. Pihak-pihak yang dapat melakukan bimbingan umumnya adalah psikolog,
tokoh-tokoh agama, pekerja sosial, ahli hukum dan sosiolog. Tetapi
tugas bimbingan dapat juga dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari beberapa profesi yang
berkaitan dengan masalah terbimbing.
Terbimbing
bukan hanya orang-orang yang bermasalah saja, tetapi juga pihak-pihak lain yang
merasa perlu untuk mengadakan langkah-langkah preventif dan supportif dalam
menghadapi kondisi yang ada.
Fasilitas
bimbingan adalah usaha untuk
memanfaatkan potensi yang ada dalam rangka
membantu tercapainya tujuan bimbingan. Fasilitas yang bersifat materiil
misalnya bantuan dana, orang-orang yang memiliki arti khusus bagi terbimbing,
lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok yang dapat memberikan lingkungan sosial
yang mendukung terbimbing dan lain-lain. Sedangkan fasilitas yang bersifat
immateriil diantaranya konsep-konsep agama yang diyakini terbimbing, metoda dan
teknik penyembuhan dan lain-lain.
B.
Perkawinan Islam
1. Pengertian Perkawinan
Secara
kodrati -- laki-laki dan perempuan -- memiliki kecenderungan terhadap lawan
jenisnya. Kecenderungan ini timbul disebabkan kondisi-kondisi biologis dan
psikologis. Kondisi biologis ditunjukkan dengan hasrat-hasrat seksual terhadap
lawan jenis. Sedangkan kondisi psikologis ditunjukkan dengan keinginan untuk
mendapatkan teman hidup dalam suka dan duka sehingga menciptakan ketenangan
bagi pasangan yang bersangkutan. Paduan antara kondisi biologis dan psikologis
ini menumbuhkan rasa cinta terhadap lawan jenis.
Manusia adalah
mahluk sosial yang memiliki aturan dan hukum dalam mengarungi berbagai aspek
kehidupan. Aturan dan hukum itu dapat bersumber dari adat-istiadat, kesepakatan
sekelompok manusia dan agama.
Perwujudan
dari pemenuhan kebutuhan biologis dan psikologis adalah dengan hidup bersama.
Tetapi keinginan untuk hidup bersama antara laki-laki dan perempuan tidak dapat
berdasarkan rasa cinta semata. Hidup bersama harus dilandasi dengan norma dan
hukum yang berlaku.
Hampir semua kesepakatan untuk hidup bersama disahkan oleh
agama dan hampir
setiap agama memiliki aturan-aturan perkawinan. Hal ini disebabkan kehidupan
bersama antara laki-laki dan perempuan bersifat sakral dan memiliki tujuan yang
mulia. Didalam UU Perkawinan RI Nomor 1 tahun 1974, pengertian perkawinan
dinyatakan dalam Pasal 1: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”
Hidup
bersama yang tidak disahkan oleh hukum tidak bisa disebut perkawinan, karena
itu tidak memiliki kepastian akan hak dan kewajiban setiap pasangan . Kondisi seperti ini kemungkinan akan
merugikan salah seorang diantaranya. Selain itu hubungan seksual yang dilakukan
tanpa ikatan perkawinan (tanpa disahkan oleh hukum perkawinan) akan dipandang
sebagai perzinahan.
Perkawinan adalah
perbuatan hukum. Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh suami dan istri dalam
perkawinan dikuatkan oleh hukum. Jadi apabila suami atau istri tidak melakukan
kewajiban sesuai hukum maka pasangannya dapat menuntutnya ke pengadilan. Dalam
Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1
tertulis: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya”. Selanjutnya dalam pasal 31 ayat 2 Undang-undang RI
Nomor 1 Tahun 1974 tertulis:”Masing-masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum.”
2. Gambaran Perkawinan Islam
Untuk memahami konsep perkawinan Islam, seorang muslim
atau muslimah tidaklah harus semahir ahli fikih. Tetapi ada beberapa hal yang
hendaknya dipahami oleh setiap orang Islam tentang hal-hal yang menyangkut
perkawinan.
Aspek
filosofi perkawinan Islam yang harus dipahami adalah arti dari ikatan perkawinan Islam. Dalam aspek hukum, setiap muslim
minimal perlu memahami bagaimana pembagian peran dan wewenang sesuai dengan
kedudukannya dalam struktur keluarga Islam. Sedangkan aspek etika menyangkut
sopan santun dan budi pekerti yang hendaknya dimiliki oleh suami istri dalam
berinteraksi satu sama lain dalam sebuah keluarga.
Arti ikatan perkawinan menurut Islam diungkapkan
dengan istilah mitsaq dengan kata sifat ghaliedza yang berarti
ikatan yang kuat.
21. Bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain
sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu
Perjanjian yang kuat. (Q.S. An Nissa (4): 21)
Al Qur’an tidak menyatakan dengan istilah aqd
untuk menyatakan ikatan suami istri, tetapi dengan istilah mitsaqan ghaliedza.
Istilah ini digunakan pula oleh Al Qur’an untuk
mengingatkan perjanjian Allah dengan Nabi, yaitu pada Qur’an Surat An Nissa 154.
154. Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka
bukit Thursina untuk (menerima) Perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka.
dan Kami perintahkan kepada mereka: "Masuklah pintu gerbang itu sambil
bersujud", dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: "Janganlah kamu
melanggar peraturan mengenai hari Sabtu", dan Kami telah mengambil dari
mereka Perjanjian yang kokoh. (Q.S. An Nissa (4):154.)
Mitsaqan ghaliedza adalah bentuk ikatan (aqd) yang lebih
khusus yaitu ikatan yang sangat kuat untuk menunjukkan ikatan janji yang sangat
penting. Apabila setiap laki-laki muslim menghayati arti mitsaqan ghaliedza dan
bahwa istri adalah amanah Allah yang harus dipertanggungjawabkan niscaya mereka
tidak akan memperlakukan istri dengan semena-mena, memberi nafkah lahir bathin,
juga membimbing dan mengarahkannya menjadi istri yang salihah. Tanggung jawab suami terhadap istri mengandung konsekuensi pahala
dan dosa, karena yang diemban adalah amanah Allah, seperti tertulis dalam hadist:
....hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah di dalam urusan
perempuan. Karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan kalimat
Allah. Kamu telah mengahalalkan kemuliaan (kehormatan) mereka dengan kalimat
Allah. Wajib bagi mereka (istri-istri)untuk tidak memasukkan ke dalam rumahmu
orang yang tidak kamu sukai. Jika mereka melanggar yang tersebut maka pukullah
mereka,tapi jangan sampai melukai. Mereka berhak mendapatkan belanja dari kamu
dan pakaian dengan cara yang ma’ruf (H.R Muslim).
Demikian
juga halnya istri, jika ia mengetahui kedudukan suami yang sebenarnya sesuai
dengan Q.S. An Nissa 21 dan pemahaman bahwa istri adalah amanah Allah niscaya
ia akan menjaga harga diri suami dan dan bersedia dibimbing suami selama suami
berada pada jalur yang telah ditentukan Allah.
21. Bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain
sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian
yang kuat (Q.S. An Nisaa (4):21).
Menurut perkawinan Islam, hubungan antara suami dan istri
ibarat pakaian dengan badan, yang satu adalah pakaian bagi yang lain. Hal ini
berarti bahwa masing-masing suami dan istri harus saling menutupi kekurangan
masing-masing dan tidak boleh menceritakan kekurangan pasangannya kecuali
kepada orang yang sangat dipercaya dengan tujuan untuk dapat membantu menyelesaikan
masalah dalam rumah tangga.
Kedudukan suami adalah
pemimpin dalam rumah tangganya dan menafkahi istrinya.
3.
Berikanlah maskawin (mahar)
kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap
lagi baik akibatnya. (Q.S. An Nissa (4):34).
Tugas, fungsi dan posisi suami ditetapkan oleh Allah sebagai orang
yang mengatur, mendidik, meluruskan dan memberi komando dalam rumah tangganya.
Jadi seorang suami bertanggungjawab atas pemenuhan materi dan kehidupan agama istrinya.
Istri selayaknya menerima kepemimpinan suami.
Walaupun
suami adalah pemimpin dalam keluarga, bukan berarti kedudukan istri lebih
rendah. Kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada laki-laki sebagai suami adalah
kelebihan tanggung jawab. Mengapa tugas kepemimpinan dalam rumah tangga
diberikan kepada laki-laki? Sebab perempuan dengan kodratnya sudah diserahi
kelebihan tanggung jawab yang lain yaitu hamil dan melahirkan. Ada keterikatan
fisik dan psikis antara janin dengan ibu ketika
si ibu mengandung, dengan demikian
kondisi jiwa dan badannya perlu dijaga, demikian juga dengan kesibukan ibu menyusui anaknya.
Alangkah beratnya jika dalam kondisi seperti itu, perempuan
juga diserahi tugas memimpin keluarga. Dalam konteks agama Islam, kewajiban
suami untuk menafkahi istri adalah suatu bentuk jaminan sosial yang diterima
perempuan, bukan
menjadikan perempuan sebagai orang yang memiliki ketergantungan ekonomi pada
suami seperti yang banyak diyakini oleh sementara orang pada masa kini.
Setiap
pasangan memiliki pola hubungan dan cara komunikasi yang khas. Tetapi secara
umum ada norma-norma tertentu yang mengatur cara berhubungan dan komunikasi
yang pantas sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini. Inilah yang dimaksud
dengan etika suami istri. Allah memerintahkan kepada suami agar memperlakukan istri
dengan cara yang patut dan bersabar. Diantara bukti kesempurnaan akhlak
seseorang dan keteguhan imannya yaitu bersikap santun dan halus kepada istrinya.
19. Hai orang-orang yang beriman,
tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka
melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaulah dengan mereka secara patut.
kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak (Q.S. An Nissa (4):19).
Bersikap baik terhadap istri diantaranya adalah tidak
menyakiti hatinya sekalipun dengan kata-kata olokan dan tidak memperlakukan istri
secara kasar tetapi tidak pula memanjakannya.
Istri
hendaknya bertingkah laku lembut kepada suaminya. Sikap lembut istri akan dapat
menentramkan suami yang umumnya selalu berurusan dengan orang luar rumah dengan
berbagai persoalan yang dapat membuat mental dan psikisnya tidak stabil. Karena
begitu pentingnya sikap lembut istri kepada suami, maka Rasulullah menetapkan kelembutan ini sebagai tata pergaulan dalam
bersuami istri. Seorang istri yang bersikap kasar pada suaminya, dapat
mematikan segala hasrat suami terhadap istrinya. Beberapa
kasus membuktikan bahwa jika
sikap lemah lembut tidak diperoleh suami dari istrinya, suami mungkin akan lari
kepada orang lain, misalnya kepada ibunya, sahabatnya atau kepada perbuatan
negatif seperti tidak betah di rumah, minuman keras dan memiliki WIL (Wanita Idaman Lain).
Perkawinan adalah
suatu proses membangun. Saling membangun pribadi pasangannya dan membangun
mentalitas anak-anaknya. Dari rumah setiap orang bertolak dan ke rumah setiap
orang pulang. Diantara ketidakjelasan norma dan kontrol sosial yang lemah di
jaman modern ini, maka dimana lagi setiap orang akan merasa tentram dan damai
selain di rumah. Untuk itu rumah dimana beberapa jiwa bernaung harus dibangun
dengan sebuah konsep yang matang.
Dengan
cita-cita untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah serta
melihat betapa banyak sekali godaan-godaan dan konflik yang terjadi dalam rumah
tangga masa kini, maka
topik mengenai perkawinan ideal menurut Islam merupakan materi yang penting
untuk dibahas. Ada baiknya apabila diadakan satu paket pendidikan mengenai
perkawinan Islam untuk setiap muslim yang akan memasuki jenjang perkawinan,
tentu saja dengan memperhatikan bahwa untuk menuju perkawinan ideal menurut
Islam selalu melalui proses pemahaman, penghayatan dan kemudian pengamalan.
C.
Bimbingan Perkawinan Dalam Islam
Perkawinan
merupakan ikatan lahir dan bathin antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan. Apabila sebuah perkawinan memerlukan bimbingan, pembimbing dapat
melihatnya dari 2 sisi sekaligus yaitu bimbingan yang diberikan kepada
seseorang (suami atau istri) dan bimbingan yang diberikan kepada kelompok
(rumah tangga) sebagai satu kesatuan. Untuk itu pembimbing dapat melihat permasalahan
dari terbimbing melalui
gejala-gejala individual serta gejala-gejala kelompok.
Secara
khusus, perkawinan Islam memiliki beberapa tujuan sebagai berikut:
1).Untuk melanjutkan keturunan. Lebih khusus lagi
bahwa dengan perkawinan diperoleh keturunan yang jelas siapa ayah, ibu, kakek
dan sebagainya sehingga jelas pula yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan
dan pendidikan anak.
2).Untuk mengikuti salah satu sunnah para Nabi dan
petunjuk Allah.
38. Dan Sesungguhnya Kami telah
mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka
isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan
sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada
kitab (yang tertentu)(Q.S. Ar Ra’d(13):38).
Islam mencela orang-orang yang hidup membujang padahal sudah
mampu untuk kawin. Karena itu di dalam perkawinan Islam, hukum nikah dapat
bersifat wajib, sunnah dan mubah sesuai dengan kondisi orang yang bersangkutan.
3). Untuk memelihara diri dari perbuatan yang dilarang
Allah, yaitu perbuatan mendekati zina dan zina.
4). Untuk menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang
antara suami-istri dan orang tua-anak. Pada akhirnya rasa cinta dan kasih itu
akan menebar pada sesama kerabat dan lebih luas lagi dirasakan pula oleh
masyarakat secara keseluruhan.
Pada
hakekatnya tujuan bimbingan perkawinan dalam Islam
memiliki persamaan dengan
tujuan bimbingan untuk individu
dan kelompok yaitu agar dapat mengembangkan kemampuan-kemampuannya secara optimal
dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Tetapi karena bimbingan
perkawinan Islam selalu terkait dengan nilai-nilai Islam maka proses bimbingan
dan tujuan bimbingan selalu didasari dengan nilai-nilai Islam.
Secara
operasional, tujuan bimbingan perkawinan Islam adalah sebagai berikut:
·
Agar setiap anggota keluarga
khususnya suami dan istri dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
syari’at Islam sehingga tercipta rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah.
·
Agar setiap anggota keluarga
khususnya suami dan istri dapat terhindar/ menghentikan diri dari
perbuatan-perbuatan yang menjurus kepada dosa.
Bimbingan
perkawinan Islam dilakukan dalam 2 tahap yaitu:
·
Bimbingan perkawinan sebelum/
menjelang perkawinan.
·
Bimbingan perkawinan dalam rumah
tangga.
Laki-laki
dan perempuan yang akan melangsungkan perkawinan perlu diberi bimbingan agar
mereka paham apa yang dimaksud dengan perkawinan Islam. Teknik bimbingan dapat
dilakukan dengan teknik wawancara, penataran, diskusi dan lain-lain.
Untuk
melangsungkan perkawinan diperlukan persiapan psikis dan materiil. Masalah akan
timbul bila seorang laki-laki sudah siap secara psikis untuk menikah tetapi
belum memiliki persiapan materiil. Dalam hal ini Islam menganjurkan agar
laki-laki berpuasa untuk mengendalikan dorongan seksualnya. Akan tetapi apabila
dengan berpuasa tetap sulit mengendalikan nafsu seksualnya maka bagaimanakah
jalan keluarnya? Disinilah diperlukan bimbingan agar laki-laki yang berhasrat
kawin tidak terjerumus pada dosa. Dalam kondisi seperti itu masyarakat Islam
yang mampu wajib kifayah untuk membantunya dan orang semacam ini halal
meminta-minta untuk menyelamatkan akhlak dan akidahnya[2].
Dalam hal ini bimbingan diperlukan untuk mengetahui apakah kondisi laki-laki
yang berhasrat kawin tetapi belum mampu menafkahi itu benar-benar dalam keadaan
yang sangat kritis? Untuk memberi bantuan terhadap orang seperti ini,
pembimbing dapat menggunakan fasilitas-fasilitas bimbingan yang ada.
Adakalanya
perempuan yang telah dilamar seseorang memerlukan bimbingan dalam
mempertimbangkan penolakan atau penerimaan lamaran tersebut. Dalam hal ini
pembimbing perlu berlaku jujur dan adil dalam memberikan
pertimbangan-pertimbangannya. Selain harus merujuk pada nilai-nilai perkawinan
Islam pembimbing pun --dalam membantu memberikan pertimbangan -- perlu
memperhitungkan aspek-aspek sosial dan
psikologis.
Problema
lain sebelum masa perkawinan adalah
keinginan untuk terus hidup melajang disebabkan ketakutan untuk menikah
sehingga orang bersangkutan mengalami stagnasi[3].
Ada beberapa
penyebab mengapa seseorang takut menikah, diantaranya:
- Pengalaman masa lalu dari
keluarga yang tidak harmonis misalnya sering melihat tindak kekerasan yang
dilakukan bapak terhadap ibunya dan sebab-sebab lain menyangkut pengalamannya
di keluarga.
- Khusus bagi wanita ada semacam
ketakutan dilukai pada malam pertama.
- Ambisi yang terlalu besar
untuk mencapai puncak karir sehingga enggan untuk melakukan
kesepakatan-kesepakatan baru dengan pasangannya.
Keinginan untuk terus hidup melajang bisa dilakukan secara
sadar maupun tidak sadar. Gejala psikologis abnormal pada faktor penyebab yang
pertama dan kedua biasanya menimbulkan keinginan yang tidak disadari untuk
terus hidup melajang. Pembimbing dalam hal ini harus melakukan terapi-terapi psikologis.
Sedangkan faktor penyebab yang ketiga, keinginan untuk terus hidup melajang
biasanya dilakukan secara sadar[4].
Untuk kasus seperti ini pembimbing melalui teknik tertentu mengarahkan orang
yang bersangkutan agar memperkuat komitmennya terhadap nilai-nilai Islam,
karena Islam melarang setiap muslim untuk terus hidup melajang.
Adakalanya
orang yang terlalu lama hidup melajang bukan disebabkan ketakutan untuk menikah
tetapi kesulitan untuk mendapatkan pasangan yang cocok. Dalam kasus ini
pembimbing dapat mengarahkannya dan memberi pemahaman baik dilihat dari aspek
agama Islam maupun dari aspek-aspek psikologis.
Pada umumnya
bimbingan yang dilakukan setelah perkawinan ditujukan agar pasangan yang
bersangkutan terhindar atau dapat mengatasi konflik-konflik yang mengarah pada
perceraian. Perceraian merupakan kondisi puncak konflik rumah tangga yang tidak
terselesaikan.
Islam
mensyari’atkan perceraian, tetapi Islam tidak menyukai perceraian dan mempersulit hal itu terjadi, seperti dalam hadist:
Yang halal yang paling dibenci
Allah ialah perceraian (H.R Abu Daud dan dinyatakan shaheh oleh Al Hakim).
Maksud Islam mensyari’atkan perceraian adalah semata-mata agar terhindar dari kerusakan yang lebih parah. Adakalanya suatu konflik rumah tangga tidak dapat terselesaikan
dan apabila dibiarkan akan menimbulkan masalah yang lebih besar. Dalam kondisi
seperti ini perceraian digunakan sebagai jalan terakhir karena kebuntuan dalam
memecahkan masalah.
Dalam UU
Perkawinan no. 1 Tahun 1974 Pasal 39 berbunyi:
1. Perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2. Untuk melakukan
perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami dan istri itu tidak akan hidup
rukun sebagai suami istri.
Dalam pasal 39 ayat 1 dapat disimpulkan pada dasarnya
perceraian sedapat mungkin dihindari (dipersukar). Sedangkan dalam ayat 2 pasal 39 bermakna bawa keputusan bercerai
dilakukan secara sadar dan tidak berdasarkan alasan-alasan emosional. Dalam syari’at Islam, sah
tidaknya talak dijatuhkan, selalu
mempertimbangkan kondisi kesadaran suami pada waktu menjatuhkan talak.
Pembimbing
perkawinan memiliki tanggung jawab moral untuk sedapat mungkin mencegah
timbulnya peceraian. Karena itu, konsultan-konsultan perkawinan hendaknya memiliki
kemampuan untuk menguraikan benang kusut rumah tangga dengan metode-metode
tertentu dilandasi dengan nilai-nilai Islami.
Di bawah ini
beberapa gejala-gejala dan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan peceraian:
Gejala-gejala
Perkawinan Kondisi-kondisi
Perkawinan Akibatnya
Bermasalah
Bermasalah
-Kesalahpahaman
-Tidak jelas peran
dan
tanggung jawab Pertengkaran
-Pengaruh buruk dari
luar Perselingkuhan Perceraian
-Masalah seksual Apatis
-Lemahnya nilai-nilai
yang
melandasi perkawinan
-Ketidaksesuaian
Setiap
pasangan memiliki cara berkomunikasi yang khas. Dalam proses komunikasi, setiap
orang mempelajari cara berkomunikasi pasangannya dan kemudian saling
menyesuaikan diri. Seringkali pertengkaran terjadi bukan disebabkan karena
masalah yang diungkapkan tetapi cara mengkomunikasikannya.
Sebelum
perkawinan dilangsungkan, sebaiknya disepakati pembagian peran dan tanggung
jawab suami dan istri sesuai dengan nilai-nilai Islam. Jika kesepakatan ini
tidak dilakukan maka peran dan tanggung jawab saling tumpang tindih dan akan
menimbulkan kekacauan dan ketidakharmonisan.
Setiap
pasangan hendaknya selalu waspada dan saling menjaga terhadap pengaruh buruk
yang datangnya dari luar, yang sekiranya memberikan dampak negatif bagi
keberlangsungan hidup rumah tangga. Pengaruh buruk itu misalnya campur tangan
pihak ketiga (keluarga, teman dan sebagainya) terhadap urusan rumah tangga. Pergaulan yang kurang baik di lingkungan suami
atau istri dapat menyebabkan kekacauan dalam rumah tangga, apabila hal itu
sangat berpengaruh terhadap perubahan perilaku keduanya dalam berumah tangga.
Masalah-masalah
seksual dalam rumah tangga adalah masalah yang sangat pribadi. Untuk beberapa
pasangan masalah seksual dianggap sedemikian penting sehingga mengakibatkan
perceraian.
Perkawinan
tidak hanya harus dibekali kesiapan fisik dan materi tetapi juga seperangkat
pemahaman dan penghayatan tentang nilai-nilai perkawinan. Jika pemahaman
tentang nilai-nilai perkawinan tidak dimiliki maka semua
pertimbangan-pertimbangan menyangkut masalah perkawinan semata-mata dilandasi
oleh emosi, rasio dan pertimbangan materi. Kondisi seperti ini potensial untuk
menimbulkan masalah yang lebih parah karena ada beberapa masalah perkawinan
memerlukan pemecahan melalui pertimbangan-pertimbangan nilai-nilai perkawinan (etika perkawinan) yaitu tentang baik dan buruknya
suatu perbuatan dalam berumah tangga.
Karakter
yang berbeda dan bertentangan antara suami dan istri dapat merupakan pemicu
terjadinya keretakan rumah tangga. Apakah kemudian perbedaan karakter pasangan
suami istri akan menjadi pemicu pertengkaran dan apakah keduanya dapat
mengatasi perbedaan tersebut, semuanya tergantung dari proses interaksi untuk
saling menyesuaikan diri dengan pasangannya.
Bimbingan
perkawinan Islam tidak hanya diperlukan oleh pasangan-pasangan yang bermasalah
tetapi juga oleh pasangan dengan kondisi perkawinan yang normal (harmonis). Hal
ini mengingat perkawinan adalah suatu lembaga yang kondisinya dapat berubah
sesuai dengan perkembangan yang terjadi pada setiap individu dalam rumah tangga
serta merupakan lembaga sosial yang peka terhadap kondisi masyarakat.
Masalah
perkawinan memiliki banyak sisi yang menyentuh aspek-aspek psikologi, ekonomi,
sosiologi dan hukum. Pembimbing perkawinan diharapkan memiliki kapasitas
seorang generalis yang mengerti dengan berbagai aspek tadi. Bimbingan dapat
pula dilakukan oleh satu tim yang terdiri dari orang-orang yang mengerti
aspek-aspek keilmuan yang berhubungan dengan masalah perkawinan. Dalam satu
kasus perkawinan yang hanya menyentuh satu aspek saja, dapat dibimbing oleh
seorang pembimbing yang mengerti tentang
permasalahan yang bersangkutan, misalnya masalah pertengkaran yang sering
terjadi dalam perkawinan karena perbedaan karakter pasangan tersebut, cukup
ditangani oleh seorang pembimbing yang mengerti psikologi. Jadi untuk melihat
apakah satu kasus perkawinan harus ditangani oleh satu tim atau oleh seorang
pembimbing saja, tergantung dari masalah perkawinan yang dihadapi.
Walaupun
bimbingan perkawinan sebaiknya dilakukan oleh orang yang paham beberapa
disiplin ilmu tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa seorang sahabat atau
kerabat terbimbing dapat melakukan bimbingan juga. Hal ini dimungkinkan karena
secara emosional mereka lebih mengenal terbimbing. Orang-orang yang bijak
(karena pemahaman agama) dapat pula memberikan bimbingan perkawinan.
35. Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal (Q.S. An Nissa (4):35).
Jika suami istri berselisih, keduanya sebaiknya mohon
bantuan kepada kerabat mereka yang dapat dipercaya atau kepada lembaga
konsultasi perkawinan yang dapat menjaga kerahasiaan masalah yang dihadapi. Suami
dan istri ibarat pakaian, harus saling melindungi dan menutupi kekurangan (aib)
masing-masing. Jika ada perselisihan diantara keduanya sebaiknya tidak
tersampaikan kepada orang lain kecuali kepada orang yang dipercaya dengan
maksud mohon bantuan dalam menyelesaikan masalah perkawinan yang dihadapi.
Adakalanya karena kondisi emosional yang tak tertahankan suami/istri mengeluh
kepada orang lain untuk sekedar melampiaskan kekecewaan dan secara tidak sadar
membuka aib pasangannya sehingga tersebar fitnah yang tidak diinginkan. Nama
baik suami adalah nama baik istri, begitu pula sebaliknya. Karena itu,
bagaimanapun kondisi sebuah perkawinan, suami dan istri harus saling menjaga.
No comments:
Post a Comment