Wednesday 8 February 2012

BIMBINGAN PERKAWINAN ISLAM

Telah Diterbitkan Pada Fiqh Munakahat I, Bimbingan Perkawinan dan Manajemen Rumah Tangga oleh Lembaga Penelitian IAIN SMHB 2011

A.  Bimbingan


    1. Pengertian Bimbingan

            Bimbingan (guidance) merupakan istilah keilmuan yang bersifat teknis. Konsep bimbingan biasanya banyak digunakan dalam praktek-praktek psikologi dan pendidikan sekolah. Dalam perkembangan selanjutnya konsep bimbingan tidak hanya digunakan untuk terapi-terapi individu tetapi juga digunakan untuk perbaikan suatu kelompok. Batasan mengenai bimbingan dikemukakan oleh Bimo yaitu:
     ...bimbingan itu tidak terlepas dari adanya bantuan yang diberikan kepada orang lain oleh seseorang, untuk mengembangkan kemampuan-kemampuannya secara optimal, agar individu dapat memecahkan masalahnya sendiri dan agar individu dapat mengadakan penyesuaian yang baik[1].

Dari definisi yang diberikan Bimo dapat disimpulkan bahwa:
1.    Bimbingan diberikan oleh seseorang kepada seseorang lain.
2.    Tujuan bimbingan adalah untuk mengembangkan kemampuan seseorang agar dapat menyesuaikan diri dan dapat memecahkan masalah-masalahnya.
Konsep bimbingan yang dikemukakan oleh Bimo dapat diperluas lagi, yaitu bahwa bimbingan dapat pula diberikan oleh sekelompok orang atau lembaga. Demikian juga,  yang dapat dibimbing tidak hanya individu tetapi juga kelompok dan masyarakat. Yang perlu diingat adalah bahwa gejala-gejala yang terjadi pada kelompok dan masyarakat sangat berbeda dengan gejala-gejala yang terdapat pada individu.
            Tujuan bimbingan untuk kelompok pada dasarnya memiliki kesamaan dengan tujuan bimbingan untuk individu yaitu agar dapat lebih berkembang, menyesuaikan diri dan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Kelompok yang berkembang baik dicirikan dengan integrasi kelompok yang kuat, daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan dan kemampuan dalam  memecahkan masalah-masalah kelompok. Setiap kelompok yang dibimbing akan diarahkan pada kondisi seperti tersebut. Konsep bimbingan dapat diberikan kepada semua kelompok seperti kelompok remaja, kelompok kesukuan, keluarga dan lain-lain.
  

    2. Fungsi Bimbingan

            Setiap individu, kelompok dan masyarakat memiliki kondisi yang berbeda-beda. Tetapi secara garis besar dapat dibagi kedalam 3 bagian yaitu:
·         Individu, kelompok dan masyarakat yang bermasalah.
·         Individu , kelompok dan masyarakat yang tidak bermasalah tetapi perlu tindakan antisipasi agar tidak bermasalah.
·         Individu, kelompok dan masyarakat yang tidak bermasalah dan berusaha agar dapat berkembang secara optimal dan lebih baik.
Pada dasarnya semua individu, kelompok dan masyarakat (IKM) memerlukan bimbingan dalam kondisi apapun, karena manusia dan lingkungan tak pernah berhenti berubah dan dalam setiap perubahan selalu  potensial menimbulkan masalah. Untuk menghadapi perubahan-perubahan  itulah individu, kelompok dan masyarakat (IKM) memerlukan bimbingan agar memiliki kemampuan dan kekuatan adaptasi tanpa meninggalkan nilai-nilai prinsipil yang diyakini.
            Sebuah kondisi dikatakan bermasalah apabila:
·         Kondisi tersebut menimbulkan perasaan tidak nyaman dan aman bagi individu, kelompok dan masyarakat.
·         Ketidakmampuan individu, kelompok dan masyarakat dalam menjalankan peranan-peranannya.
·         Terdapat kesenjangan dan pertentangan antara nilai-nilai ideal yang diyakini individu, kelompok dan masyarakat dengan kenyataan yang terjadi.
Bimbingan memiliki beberapa fungsi  yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing individu, kelompok dan masyarakat. Fungsi bimbingan diantaranya adalah:
·         Fungsi Rehabilitatif (fungsi perbaikan): Bimbingan yang diberikan kepada individu, kelompok dan masyarakat yang mengalami masalah agar mereka dapat memecahlan masalah dengan kemampuannya sendiri.
·         Fungsi Preventif (fungsi pencegahan): Bimbingan yang diberikan kepada individu, kelompok dan masyarakat agar mampu melakukan pencegahan dari masalah-masalah yang mungkin timbul.
·         Fungsi Supportif (fungsi pendorong): Bimbingan yang diberikan kepada individu, kelompok dan masyarakat agar dapat lebih mengembangkan kemampuannya secara optimal.
Ketiga fungsi bimbingan ini pada dasarnya memiliki satu inti pemahaman yaitu membangun kemandirian individu, kelompok dan masyarakat agar mampu menyelesaikan masalahnya. Dalam proses bimbingan, pemecahan masalah ada pada individu, kelompok dan masyarakat bukan pada pembimbing. Pembimbing hanya berfungsi sebagai pemicu potensi individu, kelompok dan masyarakat agar dapat lebih berkembang, mandiri dan dapat melihat serta memecahkan masalahnya dengan baik.

    3. Proses Bimbingan

            Dalam proses bimbingan ada 3 unsur yang saling berinteraksi untuk tercapainya tujuan bimbingan yaitu:
·         Pembimbing adalah pihak yang membantu untuk tercapainya tujuan bimbingan. Pembimbing adalah seseorang, sebuah tim (sekelompok orang) atau lembaga yang berwenang dan atau memiliki keterampilan tertentu sehubungan dengan masalah yang dihadapi.
·         Terbimbing adalah individu, kelompok dan masyarakat yang memerlukan bimbingan, baik bimbingan yang rehabilitatif, preventif atau supportif.
·         Fasilitas bimbingan adalah perangkat materiil maupun immateriil yang sekiranya dapat mendukung dan membantu proses bimbingan demi tercapainya tujuan bimbingan.
            Untuk membantu terbimbing, pembimbing selain harus memiliki keterampilan berkomunikasi juga memerlukan perangkat ilmu lainnya seperti psikologi, sosiologi dan ilmu hukum. Metode dan teknik-teknik bimbingan dapat diperoleh dari ilmu psikologi dan sosiologi. Sedangkan ilmu hukum diperlukan untuk melihat permasalahan-permasalahan yang kemungkinan menyangkut perbuatan hukum terbimbing. Beberapa teknik bimbingan yang dapat diadopsi dari ilmu psikologi untuk proses bimbingan misalnya teknik wawancara dan kelompok terapi. Sedangkan sosiologi membantu pembimbing untuk memahami kaitan inidividu dengan lingkungan sosial serta perilaku kelompok dan masyarakat. Di dalam metode pekerjaan sosial terdapat teknik bimbingan yang disebut dengan manipulasi lingkungan. Teknik manipulasi lingkungan menggunakan suatu situasi sosial yang direkayasa sedemikian rupa sehingga tercipta suatu lingkungan yang kondusif untuk dapat mendukung tercapainya tujuan bimbingan. Apabila sudah terdapat suatu lingkungan yang positif untuk terbimbing, maka pembimbing cukup menempatkan terbimbing dalam lingkungan sosial tersebut, misalnya memanfaatkan kegiatan-kegiatan masjid untuk remaja yang memerlukan bimbingan. Pihak-pihak yang dapat melakukan bimbingan umumnya adalah psikolog, tokoh-tokoh agama, pekerja sosial, ahli hukum dan sosiolog. Tetapi tugas bimbingan dapat juga dilakukan oleh sebuah tim  yang terdiri dari beberapa profesi yang berkaitan dengan masalah terbimbing.
            Terbimbing bukan hanya orang-orang yang bermasalah saja, tetapi juga pihak-pihak lain yang merasa perlu untuk mengadakan langkah-langkah preventif dan supportif dalam menghadapi kondisi yang ada.
            Fasilitas bimbingan adalah usaha untuk memanfaatkan potensi yang ada dalam rangka membantu tercapainya tujuan bimbingan. Fasilitas yang bersifat materiil misalnya bantuan dana, orang-orang yang memiliki arti khusus bagi terbimbing, lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok yang dapat memberikan lingkungan sosial yang mendukung terbimbing dan lain-lain. Sedangkan fasilitas yang bersifat immateriil diantaranya konsep-konsep agama yang diyakini terbimbing, metoda dan teknik penyembuhan dan lain-lain.

B. Perkawinan Islam

    1. Pengertian Perkawinan


            Secara kodrati -- laki-laki dan perempuan -- memiliki kecenderungan terhadap lawan jenisnya. Kecenderungan ini timbul disebabkan kondisi-kondisi biologis dan psikologis. Kondisi biologis ditunjukkan dengan hasrat-hasrat seksual terhadap lawan jenis. Sedangkan kondisi psikologis ditunjukkan dengan keinginan untuk mendapatkan teman hidup dalam suka dan duka sehingga menciptakan ketenangan bagi pasangan yang bersangkutan. Paduan antara kondisi biologis dan psikologis ini menumbuhkan rasa cinta terhadap lawan jenis.
            Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki aturan dan hukum dalam mengarungi berbagai aspek kehidupan. Aturan dan hukum itu dapat bersumber dari adat-istiadat, kesepakatan sekelompok manusia dan agama.
            Perwujudan dari pemenuhan kebutuhan biologis dan psikologis adalah dengan hidup bersama. Tetapi keinginan untuk hidup bersama antara laki-laki dan perempuan tidak dapat berdasarkan rasa cinta semata. Hidup bersama harus dilandasi dengan norma dan hukum yang berlaku.
            Hampir semua kesepakatan untuk hidup bersama disahkan oleh agama dan hampir setiap agama memiliki aturan-aturan perkawinan. Hal ini disebabkan kehidupan bersama antara laki-laki dan perempuan bersifat sakral dan memiliki tujuan yang mulia. Didalam UU Perkawinan RI Nomor 1 tahun 1974, pengertian perkawinan dinyatakan dalam Pasal 1: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”
            Hidup bersama yang tidak disahkan oleh hukum tidak bisa disebut perkawinan, karena itu tidak memiliki kepastian akan hak dan kewajiban setiap pasangan . Kondisi seperti ini kemungkinan akan merugikan salah seorang diantaranya. Selain itu hubungan seksual yang dilakukan tanpa ikatan perkawinan (tanpa disahkan oleh hukum perkawinan) akan dipandang sebagai perzinahan.
            Perkawinan adalah perbuatan hukum. Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh suami dan istri dalam perkawinan dikuatkan oleh hukum. Jadi apabila suami atau istri tidak melakukan kewajiban sesuai hukum maka pasangannya dapat menuntutnya ke pengadilan. Dalam Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1 tertulis: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”. Selanjutnya dalam pasal 31 ayat 2 Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tertulis:”Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.”

 

   2. Gambaran Perkawinan Islam


Untuk memahami konsep perkawinan Islam, seorang muslim atau muslimah tidaklah harus semahir ahli fikih. Tetapi ada beberapa hal yang hendaknya dipahami oleh setiap orang Islam tentang hal-hal yang menyangkut perkawinan.
            Aspek filosofi perkawinan Islam yang harus dipahami adalah arti dari ikatan perkawinan Islam. Dalam aspek hukum, setiap muslim minimal perlu memahami bagaimana pembagian peran dan wewenang sesuai dengan kedudukannya dalam struktur keluarga Islam. Sedangkan aspek etika menyangkut sopan santun dan budi pekerti yang hendaknya dimiliki oleh suami istri dalam berinteraksi satu sama lain dalam sebuah keluarga.
Arti ikatan perkawinan menurut Islam diungkapkan dengan istilah mitsaq dengan kata sifat ghaliedza yang berarti ikatan yang kuat.  
21. Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. (Q.S. An Nissa (4): 21)

Al Qur’an tidak menyatakan dengan istilah aqd untuk menyatakan ikatan suami istri, tetapi dengan istilah mitsaqan ghaliedza. Istilah ini digunakan pula oleh Al Qur’an untuk mengingatkan perjanjian Allah dengan Nabi, yaitu pada Qur’an Surat An Nissa 154.

154. Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) Perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. dan Kami perintahkan kepada mereka: "Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud", dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: "Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu", dan Kami telah mengambil dari mereka Perjanjian yang kokoh. (Q.S. An Nissa (4):154.)

Mitsaqan ghaliedza adalah bentuk ikatan (aqd) yang lebih khusus yaitu ikatan yang sangat kuat untuk menunjukkan ikatan janji yang sangat penting. Apabila setiap laki-laki muslim menghayati arti mitsaqan ghaliedza dan bahwa istri adalah amanah Allah yang harus dipertanggungjawabkan niscaya mereka tidak akan memperlakukan istri dengan semena-mena, memberi nafkah lahir bathin, juga membimbing dan mengarahkannya menjadi istri yang salihah. Tanggung jawab suami terhadap istri mengandung konsekuensi pahala dan dosa, karena yang diemban adalah amanah Allah, seperti tertulis dalam hadist:
....hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah di dalam urusan perempuan. Karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan kalimat Allah. Kamu telah mengahalalkan kemuliaan (kehormatan) mereka dengan kalimat Allah. Wajib bagi mereka (istri-istri)untuk tidak memasukkan ke dalam rumahmu orang yang tidak kamu sukai. Jika mereka melanggar yang tersebut maka pukullah mereka,tapi jangan sampai melukai. Mereka berhak mendapatkan belanja dari kamu dan pakaian dengan cara yang ma’ruf (H.R Muslim).

            Demikian juga halnya istri, jika ia mengetahui kedudukan suami yang sebenarnya sesuai dengan Q.S. An Nissa 21 dan pemahaman bahwa istri adalah amanah Allah niscaya ia akan menjaga harga diri suami dan dan bersedia dibimbing suami selama suami berada pada jalur yang telah ditentukan Allah.

21. Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (Q.S. An Nisaa (4):21).

Menurut perkawinan Islam, hubungan antara suami dan istri ibarat pakaian dengan badan, yang satu adalah pakaian bagi yang lain. Hal ini berarti bahwa masing-masing suami dan istri harus saling menutupi kekurangan masing-masing dan tidak boleh menceritakan kekurangan pasangannya kecuali kepada orang yang sangat dipercaya dengan tujuan untuk dapat membantu menyelesaikan masalah dalam rumah tangga.
            Kedudukan suami adalah pemimpin dalam rumah tangganya dan menafkahi istrinya.

3.    Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S. An Nissa (4):34).

Tugas, fungsi dan posisi suami ditetapkan oleh Allah sebagai orang yang mengatur, mendidik, meluruskan dan memberi komando dalam rumah tangganya. Jadi seorang suami bertanggungjawab atas pemenuhan materi dan kehidupan agama istrinya. Istri selayaknya menerima kepemimpinan suami.
            Walaupun suami adalah pemimpin dalam keluarga, bukan berarti kedudukan istri lebih rendah. Kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada laki-laki sebagai suami adalah kelebihan tanggung jawab. Mengapa tugas kepemimpinan dalam rumah tangga diberikan kepada laki-laki? Sebab perempuan dengan kodratnya sudah diserahi kelebihan tanggung jawab yang lain yaitu hamil dan melahirkan. Ada keterikatan fisik dan psikis antara janin dengan ibu ketika si ibu mengandung, dengan demikian kondisi jiwa dan badannya  perlu dijaga, demikian juga dengan kesibukan ibu menyusui anaknya. Alangkah beratnya jika dalam kondisi seperti itu, perempuan juga diserahi tugas memimpin keluarga. Dalam konteks agama Islam, kewajiban suami untuk menafkahi istri adalah suatu bentuk jaminan sosial yang diterima perempuan, bukan menjadikan perempuan sebagai orang yang memiliki ketergantungan ekonomi pada suami seperti yang banyak diyakini oleh sementara orang pada masa kini.
            Setiap pasangan memiliki pola hubungan dan cara komunikasi yang khas. Tetapi secara umum ada norma-norma tertentu yang mengatur cara berhubungan dan komunikasi yang pantas sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini. Inilah yang dimaksud dengan etika suami istri. Allah memerintahkan kepada suami agar memperlakukan istri dengan cara yang patut dan bersabar. Diantara bukti kesempurnaan akhlak seseorang dan keteguhan imannya yaitu bersikap santun dan halus kepada istrinya.

19. Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaulah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Q.S. An Nissa (4):19).

Bersikap baik terhadap istri diantaranya adalah tidak menyakiti hatinya sekalipun dengan kata-kata olokan dan tidak memperlakukan istri secara kasar tetapi tidak pula memanjakannya.
            Istri hendaknya bertingkah laku lembut kepada suaminya. Sikap lembut istri akan dapat menentramkan suami yang umumnya selalu berurusan dengan orang luar rumah dengan berbagai persoalan yang dapat membuat mental dan psikisnya tidak stabil. Karena begitu pentingnya sikap lembut istri kepada suami, maka Rasulullah menetapkan kelembutan ini sebagai tata pergaulan dalam bersuami istri. Seorang istri yang bersikap kasar pada suaminya, dapat mematikan segala hasrat suami terhadap istrinya.  Beberapa kasus membuktikan bahwa jika sikap lemah lembut tidak diperoleh suami dari istrinya, suami mungkin akan lari kepada orang lain, misalnya kepada ibunya, sahabatnya atau kepada perbuatan negatif seperti tidak betah di rumah, minuman keras dan memiliki WIL (Wanita Idaman Lain).
            Perkawinan adalah suatu proses membangun. Saling membangun pribadi pasangannya dan membangun mentalitas anak-anaknya. Dari rumah setiap orang bertolak dan ke rumah setiap orang pulang. Diantara ketidakjelasan norma dan kontrol sosial yang lemah di jaman modern ini, maka dimana lagi setiap orang akan merasa tentram dan damai selain di rumah. Untuk itu rumah dimana beberapa jiwa bernaung harus dibangun dengan sebuah konsep yang matang.
            Dengan cita-cita untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah serta melihat betapa banyak sekali godaan-godaan dan konflik yang terjadi dalam rumah tangga masa kini, maka topik mengenai perkawinan ideal menurut Islam merupakan materi yang penting untuk dibahas. Ada baiknya apabila diadakan satu paket pendidikan mengenai perkawinan Islam untuk setiap muslim yang akan memasuki jenjang perkawinan, tentu saja dengan memperhatikan bahwa untuk menuju perkawinan ideal menurut Islam selalu melalui proses pemahaman, penghayatan dan kemudian pengamalan.

C. Bimbingan Perkawinan Dalam Islam

            Perkawinan merupakan ikatan lahir dan bathin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Apabila sebuah perkawinan memerlukan bimbingan, pembimbing dapat melihatnya dari 2 sisi sekaligus yaitu bimbingan yang diberikan kepada seseorang (suami atau istri) dan bimbingan yang diberikan kepada kelompok (rumah tangga) sebagai satu kesatuan. Untuk itu pembimbing dapat melihat permasalahan dari terbimbing melalui gejala-gejala individual serta gejala-gejala kelompok.
            Secara khusus, perkawinan Islam memiliki beberapa tujuan sebagai berikut:
1).Untuk melanjutkan keturunan. Lebih khusus lagi bahwa dengan perkawinan diperoleh keturunan yang jelas siapa ayah, ibu, kakek dan sebagainya sehingga jelas pula yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pendidikan anak.
2).Untuk mengikuti salah satu sunnah para Nabi dan petunjuk Allah.

38. Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu)(Q.S. Ar Ra’d(13):38).

Islam mencela orang-orang yang hidup membujang padahal sudah mampu untuk kawin. Karena itu di dalam perkawinan Islam, hukum nikah dapat bersifat wajib, sunnah dan mubah sesuai dengan kondisi orang yang bersangkutan.
3). Untuk memelihara diri dari perbuatan yang dilarang Allah, yaitu perbuatan mendekati zina dan zina.
4). Untuk menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang antara suami-istri dan orang tua-anak. Pada akhirnya rasa cinta dan kasih itu akan menebar pada sesama kerabat dan lebih luas lagi dirasakan pula oleh masyarakat secara keseluruhan.
            Pada hakekatnya tujuan bimbingan perkawinan dalam Islam memiliki persamaan dengan tujuan bimbingan untuk individu dan kelompok yaitu agar dapat mengembangkan kemampuan-kemampuannya secara optimal dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Tetapi karena bimbingan perkawinan Islam selalu terkait dengan nilai-nilai Islam maka proses bimbingan dan tujuan bimbingan selalu didasari dengan nilai-nilai Islam.
            Secara operasional, tujuan bimbingan perkawinan Islam adalah sebagai berikut:
·         Agar setiap anggota keluarga khususnya suami dan istri dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan syari’at Islam sehingga tercipta rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
·         Agar setiap anggota keluarga khususnya suami dan istri dapat terhindar/ menghentikan diri dari perbuatan-perbuatan yang menjurus kepada dosa.
            Bimbingan perkawinan Islam dilakukan dalam 2 tahap yaitu:
·         Bimbingan perkawinan sebelum/ menjelang perkawinan.
·         Bimbingan perkawinan dalam rumah tangga.
            Laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan perkawinan perlu diberi bimbingan agar mereka paham apa yang dimaksud dengan perkawinan Islam. Teknik bimbingan dapat dilakukan dengan teknik wawancara, penataran, diskusi dan lain-lain.
            Untuk melangsungkan perkawinan diperlukan persiapan psikis dan materiil. Masalah akan timbul bila seorang laki-laki sudah siap secara psikis untuk menikah tetapi belum memiliki persiapan materiil. Dalam hal ini Islam menganjurkan agar laki-laki berpuasa untuk mengendalikan dorongan seksualnya. Akan tetapi apabila dengan berpuasa tetap sulit mengendalikan nafsu seksualnya maka bagaimanakah jalan keluarnya? Disinilah diperlukan bimbingan agar laki-laki yang berhasrat kawin tidak terjerumus pada dosa. Dalam kondisi seperti itu masyarakat Islam yang mampu wajib kifayah untuk membantunya dan orang semacam ini halal meminta-minta untuk menyelamatkan akhlak dan akidahnya[2]. Dalam hal ini bimbingan diperlukan untuk mengetahui apakah kondisi laki-laki yang berhasrat kawin tetapi belum mampu menafkahi itu benar-benar dalam keadaan yang sangat kritis? Untuk memberi bantuan terhadap orang seperti ini, pembimbing dapat menggunakan fasilitas-fasilitas bimbingan yang ada.
            Adakalanya perempuan yang telah dilamar seseorang memerlukan bimbingan dalam mempertimbangkan penolakan atau penerimaan lamaran tersebut. Dalam hal ini pembimbing perlu berlaku jujur dan adil dalam memberikan pertimbangan-pertimbangannya. Selain harus merujuk pada nilai-nilai perkawinan Islam pembimbing pun --dalam membantu memberikan pertimbangan -- perlu memperhitungkan  aspek-aspek sosial dan psikologis.
            Problema lain sebelum masa perkawinan adalah keinginan untuk terus hidup melajang disebabkan ketakutan untuk menikah sehingga orang bersangkutan mengalami stagnasi[3]. Ada beberapa penyebab mengapa seseorang takut menikah, diantaranya:
  1. Pengalaman masa lalu dari keluarga yang tidak harmonis misalnya sering melihat tindak kekerasan yang dilakukan bapak terhadap ibunya dan sebab-sebab lain menyangkut pengalamannya di keluarga.
  2. Khusus bagi wanita ada semacam ketakutan dilukai pada malam pertama.
  3. Ambisi yang terlalu besar untuk mencapai puncak karir sehingga enggan untuk melakukan kesepakatan-kesepakatan baru dengan pasangannya.
Keinginan untuk terus hidup melajang bisa dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Gejala psikologis abnormal pada faktor penyebab yang pertama dan kedua biasanya menimbulkan keinginan yang tidak disadari untuk terus hidup melajang. Pembimbing dalam hal ini harus melakukan terapi-terapi psikologis. Sedangkan faktor penyebab yang ketiga, keinginan untuk terus hidup melajang biasanya dilakukan secara sadar[4]. Untuk kasus seperti ini pembimbing melalui teknik tertentu mengarahkan orang yang bersangkutan agar memperkuat komitmennya terhadap nilai-nilai Islam, karena Islam melarang setiap muslim untuk terus hidup melajang.
            Adakalanya orang yang terlalu lama hidup melajang bukan disebabkan ketakutan untuk menikah tetapi kesulitan untuk mendapatkan pasangan yang cocok. Dalam kasus ini pembimbing dapat mengarahkannya dan memberi pemahaman baik dilihat dari aspek agama Islam maupun dari aspek-aspek psikologis.
            Pada umumnya bimbingan yang dilakukan setelah perkawinan ditujukan agar pasangan yang bersangkutan terhindar atau dapat mengatasi konflik-konflik yang mengarah pada perceraian. Perceraian merupakan kondisi puncak konflik rumah tangga yang tidak terselesaikan.
            Islam mensyari’atkan perceraian, tetapi Islam tidak menyukai  perceraian dan mempersulit hal itu terjadi, seperti dalam hadist:
Yang halal yang paling dibenci Allah ialah perceraian (H.R Abu Daud dan dinyatakan shaheh oleh Al Hakim).

Maksud Islam mensyari’atkan perceraian adalah semata-mata agar terhindar dari kerusakan yang lebih parah. Adakalanya suatu konflik rumah tangga tidak dapat terselesaikan dan apabila dibiarkan akan menimbulkan masalah yang lebih besar. Dalam kondisi seperti ini perceraian digunakan sebagai jalan terakhir karena kebuntuan dalam memecahkan masalah.
            Dalam UU Perkawinan no. 1 Tahun 1974 Pasal 39 berbunyi:
1.      Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2.      Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami dan istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.

Dalam pasal 39 ayat 1 dapat disimpulkan pada dasarnya perceraian sedapat mungkin dihindari (dipersukar). Sedangkan dalam ayat 2  pasal 39 bermakna bawa keputusan bercerai dilakukan secara sadar dan tidak berdasarkan alasan-alasan emosional. Dalam syari’at Islam, sah tidaknya talak dijatuhkan, selalu mempertimbangkan kondisi kesadaran suami pada waktu menjatuhkan talak.
            Pembimbing perkawinan memiliki tanggung jawab moral untuk sedapat mungkin mencegah timbulnya peceraian. Karena itu, konsultan-konsultan perkawinan hendaknya memiliki kemampuan untuk menguraikan benang kusut rumah tangga dengan metode-metode tertentu dilandasi dengan nilai-nilai Islami.
            Di bawah ini beberapa gejala-gejala dan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan peceraian:
Gejala-gejala Perkawinan           Kondisi-kondisi Perkawinan      Akibatnya
Bermasalah                                   Bermasalah 
-Kesalahpahaman                                                           
-Tidak jelas peran dan                                                                    
  tanggung jawab                              Pertengkaran 
-Pengaruh buruk dari luar                 Perselingkuhan                      Perceraian
-Masalah seksual                              Apatis
-Lemahnya nilai-nilai yang
  melandasi perkawinan
-Ketidaksesuaian
 
            Setiap pasangan memiliki cara berkomunikasi yang khas. Dalam proses komunikasi, setiap orang mempelajari cara berkomunikasi pasangannya dan kemudian saling menyesuaikan diri. Seringkali pertengkaran terjadi bukan disebabkan karena masalah yang diungkapkan tetapi cara mengkomunikasikannya.
            Sebelum perkawinan dilangsungkan, sebaiknya disepakati pembagian peran dan tanggung jawab suami dan istri sesuai dengan nilai-nilai Islam. Jika kesepakatan ini tidak dilakukan maka peran dan tanggung jawab saling tumpang tindih dan akan menimbulkan kekacauan dan ketidakharmonisan.
            Setiap pasangan hendaknya selalu waspada dan saling menjaga terhadap pengaruh buruk yang datangnya dari luar, yang sekiranya memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan hidup rumah tangga. Pengaruh buruk itu misalnya campur tangan pihak ketiga (keluarga, teman dan sebagainya) terhadap urusan rumah tangga. Pergaulan yang kurang baik di lingkungan suami atau istri dapat menyebabkan kekacauan dalam rumah tangga, apabila hal itu sangat berpengaruh terhadap perubahan perilaku keduanya dalam berumah tangga.
            Masalah-masalah seksual dalam rumah tangga adalah masalah yang sangat pribadi. Untuk beberapa pasangan masalah seksual dianggap sedemikian penting sehingga mengakibatkan perceraian.
            Perkawinan tidak hanya harus dibekali kesiapan fisik dan materi tetapi juga seperangkat pemahaman dan penghayatan tentang nilai-nilai perkawinan. Jika pemahaman tentang nilai-nilai perkawinan tidak dimiliki maka semua pertimbangan-pertimbangan menyangkut masalah perkawinan semata-mata dilandasi oleh emosi, rasio dan pertimbangan materi. Kondisi seperti ini potensial untuk menimbulkan masalah yang lebih parah karena ada beberapa masalah perkawinan memerlukan pemecahan melalui pertimbangan-pertimbangan nilai-nilai perkawinan (etika perkawinan) yaitu tentang baik dan buruknya suatu perbuatan dalam berumah tangga.
            Karakter yang berbeda dan bertentangan antara suami dan istri dapat merupakan pemicu terjadinya keretakan rumah tangga. Apakah kemudian perbedaan karakter pasangan suami istri akan menjadi pemicu pertengkaran dan apakah keduanya dapat mengatasi perbedaan tersebut, semuanya tergantung dari proses interaksi untuk saling menyesuaikan diri dengan pasangannya.
            Bimbingan perkawinan Islam tidak hanya diperlukan oleh pasangan-pasangan yang bermasalah tetapi juga oleh pasangan dengan kondisi perkawinan yang normal (harmonis). Hal ini mengingat perkawinan adalah suatu lembaga yang kondisinya dapat berubah sesuai dengan perkembangan yang terjadi pada setiap individu dalam rumah tangga serta merupakan lembaga sosial yang peka terhadap kondisi masyarakat.
            Masalah perkawinan memiliki banyak sisi yang menyentuh aspek-aspek psikologi, ekonomi, sosiologi dan hukum. Pembimbing perkawinan diharapkan memiliki kapasitas seorang generalis yang mengerti dengan berbagai aspek tadi. Bimbingan dapat pula dilakukan oleh satu tim yang terdiri dari orang-orang yang mengerti aspek-aspek keilmuan yang berhubungan dengan masalah perkawinan. Dalam satu kasus perkawinan yang hanya menyentuh satu aspek saja, dapat dibimbing oleh seorang pembimbing  yang mengerti tentang permasalahan yang bersangkutan, misalnya masalah pertengkaran yang sering terjadi dalam perkawinan karena perbedaan karakter pasangan tersebut, cukup ditangani oleh seorang pembimbing yang mengerti psikologi. Jadi untuk melihat apakah satu kasus perkawinan harus ditangani oleh satu tim atau oleh seorang pembimbing saja, tergantung dari masalah perkawinan yang dihadapi.
            Walaupun bimbingan perkawinan sebaiknya dilakukan oleh orang yang paham beberapa disiplin ilmu tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa seorang sahabat atau kerabat terbimbing dapat melakukan bimbingan juga. Hal ini dimungkinkan karena secara emosional mereka lebih mengenal terbimbing. Orang-orang yang bijak (karena pemahaman agama) dapat pula memberikan bimbingan perkawinan.

35. Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. An Nissa (4):35).

Jika suami istri berselisih, keduanya sebaiknya mohon bantuan kepada kerabat mereka yang dapat dipercaya atau kepada lembaga konsultasi perkawinan yang dapat menjaga kerahasiaan masalah yang dihadapi. Suami dan istri ibarat pakaian, harus saling melindungi dan menutupi kekurangan (aib) masing-masing. Jika ada perselisihan diantara keduanya sebaiknya tidak tersampaikan kepada orang lain kecuali kepada orang yang dipercaya dengan maksud mohon bantuan dalam menyelesaikan masalah perkawinan yang dihadapi. Adakalanya karena kondisi emosional yang tak tertahankan suami/istri mengeluh kepada orang lain untuk sekedar melampiaskan kekecewaan dan secara tidak sadar membuka aib pasangannya sehingga tersebar fitnah yang tidak diinginkan. Nama baik suami adalah nama baik istri, begitu pula sebaliknya. Karena itu, bagaimanapun kondisi sebuah perkawinan, suami dan istri harus saling menjaga.

No comments:

Post a Comment