A. Kondisi
Individu Dalam Mempersiapkan Perkawinan
1. Kematangan Fisiologis
Secara fisiologis seseorang dapat dikatakan siap
melangsungkan perkawinan apabila orang tersebut sudah dapat melakukan fungsi
reproduksi (membuahkan keturunan). Untuk perempuan biasanya ditandai dengan menarche
(haidh yang pertama kali). Selain itu terdapat beberapa perubahan dalam pertumbuhan fisik perempuan, misalnya
pertumbuhan payudara dan tumbuhnya bulu di sekitar ketiak dan kemaluan. Pertumbuhan
ini berlangsung secara bertahap yang menandakan seorang anak tumbuh menjadi
perempuan dewasa. Bagi laki-laki mereka siap melakukan fungsi reproduksi
apabila ditandai dengan polutio yaitu keluarnya air mani pada waktu
tidur (mimpi basah). Seringkali keluarnya air mani disertai dengan mimpi. Jadi
seorang perempuan yang telah mengalami haid dan seorang laki-laki yang telah
mengalami polutio merupakan kondisi fisik yang telah matang secara
seksual untuk melakukan perkawinan. Artinya apabila mereka mengadakan hubungan
seksual maka kemungkinan akan terjadi kehamilan.
Biasanya menarche dialami oleh perempuan pada
usia sekitar 11-16 tahun. Cepat atau lambat seorang gadis mengalami menarche
ditentukan oleh konstitusi fisik individual (kesehatan, gizi dan sebagainya),
selain itu juga dipengaruhi oleh faktor ras, suku bangsa dan cara hidup. Polutio
(keluarnya air mani) pertama kali dialami oleh laki-laki pada umur 11-15
tahun. Tanda-tanda lainnya yang menunjukkan bahwa seorang anak telah menjadi
laki-laki dewasa adalah tumbuhnya bulu disekitar ketiak dan kemaluan serta
perubahan suara yang membesar.
Selain matang secara fisiologis, kesehatan fisik
secara umum merupakan salah satu syarat bila seseorang hendak melangsungkan
perkawianan. Kesehatan fisik yang terganggu secara terus menerus kemungkinan
akan mengganggu seseorang untuk menjalankan peran-perannya sebagai sorang suami
atau istri. Penyakit yang perlu diwaspadai dalam kehidupan perkawinan adalah
penyakit yang ditularkan melalui hubungan kelamin atau STD (Sexually
Transmitted Diseases) seperti sifilis gonorhoe dan AIDS.
Salah satu tujuan perkawinan adalah memperoleh
keturunan. Bagi
beberapa pasangan memperoleh keturunan mungkin bukan tujuan mutlak sebuah
perkawinan. Tanpa adanya anak, perkawinan
dapat berjalan langgeng dan bahagia. Dalam kondisi serupa, pasangan lain mungkin menganggap tanpa anak perkawinan
mereka akan bermasalah. Jadi apakah kemampuan memperoleh
keturunan akan menjadi masalah atau tidak, tergantung dari masing-masing
pasangan dalam memahami perkawinan. Kemampuan memperoleh keturunan juga
dipengaruhi oleh kondisi kesehatan masing-masing pasangan. Kemampuan melakukan
hubungan seksual juga dipengaruhi oleh kondisi fisik dan psikis seseorang.
Pasangan yang hendak
melangsungkan perkawinan sebaiknya terlebih dahulu memeriksakan kondisi
kesehatannya agar segala sesuatu yang mengganggu kesehatan fisik dapat dihindari atau diantisipasi. Kematangan
fisiologis bukanlah satu-satunya syarat agar seseorang
dapat melangsungkan perkawinan. Kondisi psikologis dan sosial ekonomi harus
pula menjadi pertimbangan . Seorang gadis yang berusia 12 tahun dan sudah haidh
bukanlah usia yang ideal untuk melangsungkan perkawinan, karena walaupun sudah
matang secara fisiologis, kondisi psikologisnya belum memungkinkan untuk melangsungkan perkawinan.
Dalam Undang-Undang Perkawianan nomor 1 tahun 74 pasal
9 ayat 1 dinyatakan bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan apabila laki-laki
sudah berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun. Selanjutnya dalam pasal
9 ayat 2 dinyatakan jika perkawinan terpaksa harus dilakukan kurang dari umur
yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Perkawinan maka kedua orang tua pihak
laki-laki dan perempuan harus mengajukan dispensasi kepada pengadilan atan
pejabat lain yang ditunjuk.
Di Indonesia pada umumnya perkawinan dilakukan minimal
pada umur 20 tahun. Hal ini disebabkan pada umur 20 tahun anak yang
bersangkutan telah menyelesaikan pendidikan SMU (Sekolah Menengah Umum). Bahkan
banyak pula yang menunda perkawinan hingga umur 25 tahun ketika seorang anak
telah menyelesaikan pendidikan S1.
Pada kasus-kasus tertentu seringkali orang tua tidak
mengizinkan anaknya untuk menikah sebelum selesai pendidikan SMU atau S1.
Mereka mempertimbangkan kesiapan anak dalam aspek sosial ekonomi (belum memiliki
penghasilan). Beberapa pasangan yang ingin segera menikah, kondisi seperti ini seringkali menimbulkan masalah. Alasan
mereka ingin menikah mungkin karena libido yang memuncak, tidak ingin
kehilangan pasangannya atau alasan-alasan lainnya. Karena orang tua bersikeras
melarang maka beberapa pelanggaran mungkin dilakukan seperti hubungan seks dan
hamil di luar
nikah. Sarlito Wirawan Sarwono seorang psikolog mengusulkan jika perkawinan
memang harus dilaksanakan karena kondisi-kondisi tertentu yang tidak dapat
dihindari maka sebaiknya orang tua mendukung perkawinan tersebut tetapi dalam
hal ini KB (Keluarga Berencana) memegang peranan penting[1].
Dengan alat kontrasepsi maka pasangan yang belum mapan secara ekonomi dan
sedang menyelesaikan studinya dapat menunda kehamilan.
2. Kematangan Psikologis
Kematangan fisiologis relatif lebih cepat berkembang
dibandingkan kematangan psikologis. Seorang remaja lebih cepat mencapai
kematangan fisiologis dan seksualnya dibanding kematangan psikologisnya. Masa
remaja disebut juga masa transisi karena secara fisik mereka sudah dewasa
tetapi secara psikologis mereka belum mencapai kedewasaan yang penuh.
Kematangan psikologis umumnya dicapai pada umur 21 tahun yang sering disebut
dengan masa dewasa awal. Pada usia ini kemungkinan secara fisiologi dan
psikologis seseorang sudah boleh/ siap menikah. Pada dasarnya umur bukanlah
patokan mutlak untuk menunjukkan kematangan psikologis. Allport menentukan
indikator yang dijadikan patokan untuk menilai bahwa seseorang sudah menjadi
pribadi yang dewasa yaitu:
- Pemekaran
diri sendiri (extension of self) yang ditandai dengan kemampuan
seseorang untuk menganggap orang lain atau hal lain sebagai bagian dari
dirinya sendiri. Salah satu tandanya adalah timbulnya kemampuan untuk
mencintai orang lain dan alam sekitarnya.
- Kemampuan
untuk melihat diri sendiri secara obyektif (self objectification)
yang ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri
sendiri. Ia mampu melepaskan diri dari dirinya sendiri dan meninjau
dirinya sebagai orang luar. Ia mampu mempertahankan hubungan yang positif
dangan dirinya sendri dan obyek-obyek yang disenangi.
- Memiliki
filasafat hidup (weltanschauung, philosophy of life). Walaupun
individu harus dapat bersikap obyektif serta mampu menikmati kehidupannya,
ia harus mampu memiliki seperangkat sistem nilai yang mendasari sikap dan perilakunya
sehingga ia mampu memberi arti dan tujuan dari apa yang dikerjakannya.
Religi merupakan salah satu hal penting dalam hal ini[2].
Sebelum seseorang
siap melangsungkan perkawinan, sebaiknya ia sudah mencapai kematangan
psikologisnya (dewasa). Kemampuan untuk mencintai orang lain (extension of
self) merupakan suatu kondisi yang harus dicapai individu dewasa. Dalam
perkawinan, individu
harus mampu mencintai dan mengekspresikan rasa cintanya kepada suami/ istri dan
anak-anaknya. Pemahaman bahwa ada faktor luar yang menjadi bagian dirinya dan
menciptakan keterikatan psikologis tertentu (saling bergantung ,saling
melengkapi tanggung jawab dan sebagainya) merupakan salah satu syarat mutlak
agar sebuah perkawinan dapat berjalan langgeng.
Perkawinan hendaknya dipahami dan disadari sebagai sebuah kehidupan bersama. Artinya pasangan yang
melakukan perkawinan menyadari bahwa mereka adalah sebuah tim dan akan menciptakan sebuah sistem (sistem keluarga).
Layaknya sebuah tim, masing-masing dari mereka bukan hanya harus mampu saling
bekerja sama dan saling melengkapi tetapi juga memiliki kemampuan untuk
mengoreksi diri sendiri dan mampu menerima kritik dari pasangannya. Inilah yang
disebut dengan self objectification. Individu yang tidak mampu melihat
dirinya sendiri secara obyektif akan menjadi pribadi yang egois dan sulit
bekerja sama dengan pasangannya. Kondisi seperti ini rawan menimbulkan konflik.
Salah satu indikator bahwa seseorang sudah cukup
dewasa adalah apabila ia memiliki pandangan hidup (falsafah hidup). Ia memiliki
seperangkat sistem nilai yang dipakai untuk menilai baik buruknya sebuah
realitas. Selain itu sistem nilai ini akan dijadikan patokan perilaku, apa yang
seharusnya dan sebaiknya ia lakukan serta apa yang seharusnya dihindari dan
tidak boleh dilakukan. Selain dapat mengontrol emosi dan memakai logikanya,
perilaku manusia dewasa didasari oleh falsafah hidupnya.
Salah satu syarat agar perkawinan berjalan langgeng adalah
kuatnya falsafah hidup yang mendasari perkawinan tersebut. Konsep perkawinan
Islam sudah menetapkan secara jelas tentang etika dan hukum-hukum dalam hidup
berumah tangga. Pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan hendaknya
menyadari bahwa mereka akan memasuki wilayah baru yang memiliki rambu-rambu
khusus agar sistem yang mereka bentuk bersama (baca: keluarga) dapat berjalan
sesuai yang dikehendaki. Rambu-rambu khusus perkawinan itu diantaranya adalah
hak dan kewajiban suami istri, akhlak dalam berumah tangga dan pengelolaan (manajemen) rumah tangga.
3. Kematangan Sosial Ekonomi
Manusia diciptakan dengan naluri hidup berkelompok . Tidak ada manusia yang mampu hidup sendiri tanpa bergantung
pada orang lain. Karena itu dimanapun manusia hidup selalu memiliki
kecenderungan untuk membentuk kelompok. Kelompok manusia itu disebut dengan
kelompok sosial (masyarakat). Untuk keteraturan dari kelompok sosial diperlukan
seperangkat norma yang mengatur ketertiban sosial. Fungsi norma-norma sosial
diantaranya adalah mengatur perilaku individu dalam berinteraksi dengan
individu yang lainnya.
Dalam setiap kelompok sosial setiap individu memiliki
kedudukan dan peranan. Kedudukan (status) adalah tempat
atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial sehubungan dengan
individu-individu lainnya dalam kelompok tersebut[3].
Misalnya seorang laki-laki dalam kelompok keluarga adalah seorang ayah maka
status ayah dari laki-laki tadi selalu dikaitkan dengan individu lain dalam
kelompok keluarga tersebut yaitu anak-anaknya.
Peranan (role) adalah aspek dinamis dari
kedudukan (status)[4].
Peranan merupakan kegiatan-kegiatan dan interaksi yang dilakukan individu dalam
kaitannya dengan status yang dimiliki atau sikap dan tingkah laku yang harus
dikenakan kepada siapa saja yang menduduki status itu. Masyarakat menetapkan
norma-norma untuk mengatur peranan dan status. Artinya masyarakat telah
menentukan hal-hal apa saja yang perlu dilakukan (diperankan) seseorang sesuai
dengan statusnya. Sikap dan perilaku seorang guru tentu saja harus mencerminkan
statusnya sebgai seorang guru. Jika guru tersebut gagal berperan sesuai dengan
status yang disandangnya maka akan ada sangsi pada tingkat tertentu misalnya
sangsi pengucilan atau rasa malu sampai pada sangsi hukum yang jelas menyangkut
perbuatan pidana.
Teori perkembangan sosio-kognitif menghubungkan antara
tingkat kedewasaan sesorang dengan penalaran moral. Menurut Kohlberg penalaran
moral dibagi dalam tiga tingkat yaitu: pre conventional, conventional dan
post conventioanal. Tingkat pre conventional. Adalah tingkat
kebanyakan anak usia dibawah 9 tahun, beberapa remaja dan kebanyakan perilaku
kriminal. Individu pada tingkat pre conventional belum sampai pada
tingkat pemahaman yang sesungguhnya mengenai kepatuhan terhadap konvensi atau
aturan masyarakat. Tingkat conventional adalah tingkat kebanyakan remaja
dan orang dewasa. Istilah conventional berarti sesuai dan mematuhi
aturan masyarakat. Individu pada tingkat ini sudah mampu menginternalisasi
(menjiwai) aturan-aturan masyarakat[5].
Jadi sesuai dengan teori perkembangan sosio-kognitif
dapat disimpulkan bahwa individu dapat dikatakan dewasa secara sosial apabila
ia telah mampu menjiwai dan mematuhi aturan masyarakat. Dengan demikian status
yang dimiliki individu akan diperankan dengan baik sesuai norma masyarakat.
Individu-individu yang hendak melangsungkan perkawinan
harus matang secara sosial. Artinya masyarakat menganggap individu tersebut
tidak hanya dewasa dari segi umur tetapi juga dewasa dari aspek sosial karena
mampu mematuhi
norma masyarakat dan dapat berperan sebagai anggota masyarakat yang
baik.Orang-orang yang memiliki masalah dalam aspek-aspek sosialnya akan sulit
untuk melangsungkan perkawinan, misalnya orang yang idiot (kurang mampu
memahami norma sosial), pelaku tindak kriminal dan pekerja seks komersial
(PSK). Mereka yang tidak matang secara sosial ini mungkin akan mendapat masalah
dengan status dan peran yang akan disandangnya dalam rumah tangga.
Individu yang akan melangsungkan perkawinan harus menyiapkan dirinya
dalam aspek ekonomi. Pihak laki-laki yang nanti akan menjadi kepala keluarga
dan bertugas memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga hendaknya memiliki pekerjaan
dan penghasilan yang tetap. Suami yang tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan
tetap sangat potensial menimbulkan masalah dalam rumah tangga. Pada masa
sekarang ini banyak perempuan yang juga memiliki penghasilan tetap sehingga
mereka dapat ikut serta mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.
Idealnya pasangan yang akan melangsungkan perkawinan
telah matang dalam aspek fisiologis, psikologis dan sosial ekonominya. Kesiapan
atau kematangan dalam beberapa aspek ini tidak tumbuh secara bersamaan dan kondisi seperti ini kadangkala
menimbulkan masalah dalam kasus-kasus tertentu. Perkawinan remaja (umumnya karena hamil di luar
nikah) potensial menimbulkan konflik karena pasangan belum matang secara
psikologis dan sosial ekonomi. Pencapaian jenjang
pendidikan yang lebih tinggi dan
membutuhkan waktu lebih lama kadangkala juga menimbulkan masalah. Mahasiswa
yang sudah matang secara fisiologis, matang secara psikologis dan sudah dewasa
secara sosial mungkin saja mendapat hambatan ketika mereka berhasrat menikah
karena belum mandiri secara ekonomi.
B.
Pemahaman Konsep Perkawinan Islam
1. Pemahaman Tentang Tujuan Perkawinan Islam
Manusia memiliki
motivasi yang melatarbelakangi perilakunya dan memiliki tujuan atau target yang
hendak dicapai. Demikian juga halnya dengan perkawinan yang dilakukan setiap
pasangan. Setiap pasangan mungkin memiliki motivasi dan tujuan yang berbeda
dalam melakukan perkawinan. Islam menganggap penting arti sebuah perkawinan
sehingga segala sesuatu tentang kehidupan rumah tangga diatur dan diarahkan
sedemikian rupa sehingga terbentuklah kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah.
Apa yang memotivasi seseorang sehingga ada keinginan
untuk melangsungkan perkawinan? Manusia dianugrahi oleh Allah naluri untuk
cenderung terhadap lawan jenisnya.
z`Îiã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# ÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# ÆÏB É=yd©%!$# ÏpÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 Ï9ºs ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# ÇÊÍÈ
14. Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang
baik (surga) (Q.S. Ali Imran(3):14).
Ketertarikan secara seksual antara laki-laki dan
perempuan adalah sesuatu yang kodrati. Ketertarikan seksual membuat laki-laki dan
perempuan saling mendekati dan ingin lebih
intim. Keintiman antar lawan jenis ini pada akhirnya merupakan sarana untuk
pemenuhan kebutuhan biologis manusia melalui hubungan seksual. Selain untuk
pemenuhan kebutuhan biologis, hubungan seksual juga merupakan sarana agar
manusia memiliki keturunan.
Kehidupan manusia dilingkupi dengan seperangkat norma/
aturan . Tanpa norma manusia tidak dapat membentuk komunitas atau kelompok
sosial yang tertib dan teratur. Setiap perilaku individu dalam masyarakat harus
legal (sesuai aturan sosial) atau telah dilegitimasi (disahkan) oleh norma.
Di dalam syari’at Islam, perkawinan adalah sebuah
lembaga yang melegitimasi hubungan seksual antar lawan jenis (suami istri).
Hubungan seksual tanpa perkawinan adalah perzinahan dan melanggar syari’at
Islam. Karena itu salah satu tujuan perkawinan Islam adalah mensahkan hubungan
seksual sebagai sesuatu yang halal dilakukan. Tujuan perkawinan Islam yang lain
adalah untuk mendapatkan keturunan. Anak-anak yang dilahirkan dari sebuah
perkawinan yang sah akan memiliki asal-usul keturunan yang jelas sehingga
terdapat kejelasan hubungan orangtua-anak.
Perkawinan adalah perbuatan hukum. Di dalam
perkawinan terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi suami istri. Hak dan
kewajiban itu merupakan peranan yang harus dijalankan oleh masing-masing pihak
termasuk masalah kebendaan (harta). Dengan perkawinan terbentuklah sebuah
kelompok sosial baru yang legal, yang didalamnya terdapat unsur kerja sama (ta’awun). Secara lebih
ringkas tujuan perkawinan adalah:
·
Legalisasi hubungan seksual
·
Legalisasi kerja sama (ta’awun)
·
Legalisasi keanakan (keturunan)
2. Pemahaman Tentang Hukum Perkawinan Islam
Setiap pasangan
yang akan melangsungkan perkawinan hendaknya memiliki pemahaman tentang hukum
perkawinan Islam, agar perkawinan maupun masalah-masalah yang yang dihadapi
dalam perkawinan dapat dapat dijalankan dan diselesaikan sesuai dengan syari’at
Islam.
Perkawinan adalah
suatu perbuatan hukum. Dengan perkawinan setiap orang memiliki status baru
(sebagai suami istri) dan menuntut dijalankannya peran-peran sesuai statusnya
tersebut. Sebagai suatu perbuatan hukum, maka jika suami atau istri tidak
menjalankan perannya ia dapat dituntut secara hukum.
Tentang
hukum perkawinan itu sendiri para ulama memiliki perbedaan pendapat sesuai
penafsiran atas teks-teks Al Qur’an yang berhubungan dengan perkawinan.
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz
wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù
$tB
z>$sÛ
Nä3s9
z`ÏiB
Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB
y]»n=èOur
yì»t/âur
(
÷bÎ*sù óOçFøÿÅz
wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr&
$tB
ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs
#oT÷r& wr&
(#qä9qãès?
ÇÌÈ
3. Dan jika kamu takut tidak akan
dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (Q.S. An Nissa(4):3).
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.Ï$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3t uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóã ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOÎ=tæ ÇÌËÈ
32. Dan kawinkanlah orang-orang yang
sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui (Q.S.An Nuur (24):32).
Para ahli dhohir yang diprakarsai oleh
Daud Dhohiri berpendapat bahwa nikah itu hukumnya wajib dengan alasan arti dari
teks Qur’an menunjukkan adanya tholab amar (tuntutan untuk
dilaksanakan). Jumhur ulama berpendapat bahwa nikah itu hukumnya mandub
(disunnahkan) dengan alasan tidak semua amar mempunyai arti wajib dan
dalam hal ini perkawinan merupakan perintah pada tingkat anjuran. Sedangkan
bagi pengikut dan para ulama malikiyah berpendapat bahwa hukum nikah itu bisa
berubah-ubah menurut keadaannya. Nikah itu bisa wajib hukumnya jika seseorang
telah mampu memenuhi beban nikah dan ia merasa khawatir tidak mampu
mengendalikan dorongan seksualnya. Nikah itu bisa haram hukumnya jika ia tidak
mampu memenuhi beban nikah sedangkan ia akan sengsara dan menyengsarakan orang
lain jika ia melakukan perkawinan. Nikah itu menjadi sunnah hukumnya jika
seseorang sudah memiliki kemampuan memikul beban nikah dan ia masih sanggup
memelihara kehormatannya. Nikah dapat menjadi makruh hukumnya apabila seseorang
hanya mampu memikul sebagian saja dari beban nikah, sedangkan ia masih mampu
mengendalikan dorongan seksualnya. Menjadi mubah hukumnya apabila seseorang
sudah mampu memikul seluruh beban nikah sedangkan hasrat seksual belum
membahayakan dirinya.
Beban
nikah itu mencakup kemampuan materi, fisik dan psikis yang benar-benar
dipersiapkan untuk mengarungi bahtera perkawinan.
Sebelum
perkawinan dilaksanakan terlebih dahulu diadakan peminangan (lamaran) atau khitbah.
Khitbah disyariatkan dalam Islam. Penekanan aplikasi khitbah dari
nash-nash ternyata tidak jelas sehingga para mujtahid melakukan penafsiran[7].
Selain itu
terdapat rukun dan syarat pernikahan yang harus dipenuhi dalam perkawinan.
Rukun perkawinan adalah sebagai berikut:
1. Al-‘Aqidain (pihak-pihak yang melakukan akad)
terdiri dari
a.
Wali
b.
Mempelai pria.
2. Ma’qud alaih (obyek yang diakadkan) terdiri dari
a.
Mempelai wanita
b.
Mahar (mas kawin)
3. Shighat (pernyataan serah terima) terdiri dari
a.
Ijab (pernyataan menyerahkan)
b.
Qabul (pernyataan
menerima)
4. Syahadah (saksi-saksi)
Syarat-syarat perkawinan merupakan syarat yang harus
dipenuhi dalam setiap rukun tersebut. Adapun syarat-sayarat nikah adalah
sebagai berikut:
1). Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh wali ialah:
a.
Beragama Islam
b.
Laki-laki
c.
Sudah dewasa
d.
Berakal (waras akalnya)
e.
Adil (tidak fasik)
f.
Tidak sedang dalam ihram
g.
Tidak sedang dalam pengampuan
2). Syarat yang harus dipenuhi oelah mempelai pria ialah:
a.
Beragama Islam
b.
Jelas kepriaannya
c.
Pria itu tertentu (si fulan)
d.
Pria itu halal bagi mempelai
wanita
e.
Mengetahui bakal istrinya
f.
Tidak dipaksa (tidak dalam ikrab)
g.
Tidak mempunyai istri yang
haram dimadu dengan wanita yang akan dikawini
h.
Tidak sedang dalam ihram
i.
Tidak mempunyai empat orang istri
3). Syarat yang harus dipenuhi oleh mempelai wanita ialah:
a.
Beragama Islam (muslimah)
b.
Jelas kewanitaannya (tidak
banci)
c.
Wanita tertentu (si fulanah)
d.
Wanita itu halal bagi calon
suami
e.
Tidak dalam keadaan dipaksa dan
memberi persetujuannya
f.
Tidak sedang dalam ihram
4). Syarat mahar yang harus dipenuhi ialah:
a.
Harus berupa sesuatu yang dapat
dinilai dengan uang (bernilai ekonomis) baik berupa uang ataupun jasa
b.
Diberikan pada waktu akad
nikah, sekalipun dengan cara hutang/ tempo
c.
Tidak disandarkan pada syarat
(waktu dan tempat) yang tidak mungkin terjadi
d.
Diberikan oleh mempelai pria/
kuasanya dan menjadi hak mempelai wanita.
5). Syarat-sayarat yang harus dipenuhi dalam sighat ialah:
a.
Ijab harus memenuhi syarat sebagai berikut,
·
Harus dengan kata “nakaha/
jawwaja” atau terjemahannya.
·
Dari wali atau wakilnya
·
Tidak mempunyai batas waktu/
berjangka (mu’aqqat)
·
Jelas maksudnya (tidak mengandung
pengertian lain)
·
Tanpa ta’lik (bersyarat)
b . Qabul harus
memenuhi syarat:
·
Bersambung langsung dengan ijab
(segera)
· Harus
sesuai (isi dan maksudnya) dengan ijab
· Diucapkan
oleh calon suami/ wakilnya
· Tanpa
ta’lik (bersyarat)
· Harus
dijelaskan nama calon istri
· Harus
tidak batas (ketentuan) waktu (mu’aqqat)
·
Tidak menggunakan kata (ungkapan)
sindiran (harus jelas maksudnya).
6). Saksi (harus dua orang) syarat-syaratnya:
·
Harus beragama Islam
·
Sudah dewasa (baligh) dan
berakal sehat
·
Dapat mendengar dan melihat (sehat
panca indera)
·
Harus adil dan mempunyai maru’ah
(bermoral)
·
Bukan wali yang melakukan akad (shighat)
· Mengerti
istilah ijab dan kabul
3.Pemahaman Tentang Bagaimana Islam Mengatasi Perkawinan Yang Bermasalah
Manusia
merupakan individu-individu yang masing-masing memiliki karakter yang
berbeda-beda. Sikap, sifat dan kebiasaan individu dalam menghadapi lingkungan
sosialnya juga berbeda-beda. Selain itu manusia bukanlah mahluk yang stagnan
tetapi ia senantiasa berubah dan berkembang. Itulah sebabnya setiap kelompok
yang dibentuk oleh sekumpulan individu-individu mengalami perkembangan dan
perubahan. Adakalanya perubahan itu mengarah kepada kondisi yang lebih baik
seperti integrasi dan solidaritas yang kuat, tetapi ada kemungkinan pula
kelompok mengarah pada kondisi disintegrasi dan konflik. Demikian pula halnya
dengan kehidupan rumah tangga. Dengan perkawinan terbentuklah kelompok keluarga
yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Sebagai sebuah kelompok yang
terdiri dari beberapa individu kemungkinan terjadi konflik selalu ada, apalagi
keluarga merupakan kelompok yang mudah terpengaruh oleh lingkungan sosialnya.
Dalam kehidupan perkawinan setiap pasangan
tentu memiliki keinginan untuk menciptakan perkawinan yang harmonis. Tetapi
adakalanya pasangan menghadapi situasi yang sulit dikendalikan sehingga timbul
perselisihan. Keadaan suatu perkawinan yang mengalami perselisihan dan sulit
didamaikan disebut syiqoq . Berkaitan dengan syiqoq ini Al Qur’an
menyatakan bahwa penyelesaian perselisihan hendaknya dibantu oleh kerabat dari
kedua belah pihak.
wur (#öq¨YyJtGs? $tB @Òsù ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3Ò÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 (#qè=t«óur ©!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ¨bÎ) ©!$# c%2 Èe@ä3Î/ >äó_x« $VJÎ=tã ÇÌËÈ
32. Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan
Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena)
bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para
wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada
Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala
sesuatu (Q.S. An Nisaa (4): 32).
Salah satu masalah perkawinan yang
seringkali dibicarakan adalah poligami. Perkawinan bukan semata-mata kontrak
sosial dan ekonomi antara seorang laki-laki dan perempuan bukan pula
semata-mata legalitas hubungan seksual. Selain bahwa perkawinan itu memiliki
tujuan yang mulia, dua orang yang mengikatkan diri dalam tali perkawinan
diliputi perasaan cinta satu sama lain. Perwujudan cinta itu bukan hanya berupa
perasaan ingin berbagi, kebutuhan akan kebersamaan, hubungan seksual dan ikatan
emosional lainnya, tetapi juga ego dalam diri individu bahwa hanya dialah yang
dicintai pasangannya. Karena itu setiap individu (laki-laki dan perempuan)
dalam kaitannya dengan dengan perasaan cinta sangat tidak menyukai
perselingkuhan dan tidak ingin diduakan. Setiap suami tidak ingin istrinya memiliki
suami lain (poliandri) demikian juga setiap istri tidak ingin suaminya memiliki
istri lain (poligini atau lebih dikenal dengan poligami).
Poliandri jelas dilarang Islam, tetapi mengapa Islam memberi “peluang “ untuk
berpoligami?
Pembahasan tentang poligami disini tidak
untuk menjelaskan kedudukan hukum poligami tetapi lebih kepada pemaparan dalam
konteks sosialnya. Melihat latar belakang psikologis yang sama tentang perasaan
laki-laki dan perempuan (bahwa mereka tidak ingin diduakan) maka poligami
hendaklah dipahami bukan sebagai fasilitas istimewa yang diberikan kepada
laki-laki. Poligami hendaknya dipahami
justru sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sebuah masalah dalam
perkawinan dan bukan malah menimbulkan masalah baru. Hikmah poligami dapat
dirasakan apabila poligami tersebut ditempatkan sebagai salah satu solusi untuk
beberapa masalah seperti:
Pertama apabila
istri mandul atau apabila tidak dapat memenuhi kebutuhan seksual laki-laki.
Dalam beberapa kasus adapula pasangan yang menganggap masalah keturunan
bukanlah tujuan utama perkawnan. Sehingga bagi mereka tidak memiliki keturunan
bukanlah suatu masalah. Pada kasus seperti ini maka poligami tidak diperlukan.
Karena faktor kesehatan, seorang istri
mungkin tidak dapat memenuhi kebutuhan seksual suami. Kondisi seperti ini
potensial menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan semakin rumit. Pada kasus
seperti ini poligami dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Mungkin pula terjadi seorang laki-laki yang hiperseks, sehingga tidak dapat
menunggu ketika istrinya haidh atau nifas, atau istri tidak dapat memenuhi
kebutuhan suami yang hiperseks.
Kedua,
apabila terjadi jumlah perempuan yang jauh lebih besar daripada laki-laki, yang
pada kondisi seperti itu diindikasikan akan timbul masalah sosial baru yang
mengganggu stabilitas osial masyarakat. Fakta sosial seperti ini mungkin saja
terjadi pada negara yang telah mengalami masa perang berkepanjangan sehingga
banyak laki-laki yang meninggal dan banyak janda yang ditinggal suami serta
para gadis yang sulit mendapat jodoh. Dalam kasus seperti ini poligami
dilakukan demi kepentingan kolektif (kepentingan masyarakat).
Ketiga,
terdapat suatu kebijakan dalam suatu negara muslim untuk menambah jumlah
penduduk. Hal ini dilakukan apabila dengan perkawinan monogami dan kebijakan
tidak adanya pembatasan kelahiran tidak juga memenuhi target pertambahan
penduduk.
Pada beberapa kasus yang terjadi di masyarakat
kita, poligami seringkali bukan dijadikan suatu solusi untuk menyelasaikan
masalah tetapi justru menimbulkan masalah baru sehingga tidak terlihat adanya
hikmah dibalik poligami. Poligami yang salah kaprah seringkali menjerat
laki-laki pada tanggung jawab material dan batiniah yang lebih besar sehingga
mempersulit diri mereka sendiri. Poligami dapat pula menjebak seseorang
sehingga ia mendzholimi pasangannya. Beberapa kasus pembunuhan justru
dilatarbelakangi oleh kasus poligami seperti istri tua membunuh istri muda atau
suami membunuh salah seorang istrinya karena lepas kontrol ketika dituduh tidak
adil. Dalam beberapa kasus seringkali poligami diawali dengan perselingkuhan.
Jadi sejak awal poligami tidak ditujukan untuk menyelesaikan masalah dalam
rumah tangga.
Hendaknya disadari bahwa poligami dalam
wacana syari’at Islam bukanlah merupakan fasilitas istimewa yang diberikan
kepada laki-laki, tetapi lebih ditujukan sebagai salah satu cara untuk
menyelesaikan masalah dalam rumah tangga bukan untuk menimbulkan masalah baru.
No comments:
Post a Comment