Tuesday 9 March 2010

NORMA DAN ETIKA HUKUM BISNIS DALAM ISLAM

A.Pendahuluan
Dalam kegiatan ekonomi, khususnya dalam praktek bisnis masalah etika seringkali terlupakan. Hal ini disebabkan karena orientasi mengejar keuntungan dalam persaingan yang ketat merupakan prioritas yang lebih diutamakan. Bahkan ada asumsi yang keliru bahwa bisnis dengan terlalu memperhitungkan etika akan menghambat laju kemajuan bisnis itu sendiri. Tetapi pada era tahun 80 an masalah etika terkait dengan bisnis muncul kembali sebagai wacana yang hangat diperbincangkan. Buku-buku yang membahas tentang kaitan bisnis dengan etika dan spiritualisme menjadi populer dan banyak dibaca oleh kalangan praktisi bisnis . Buku-buku tersebut pada umumnya membahas tentang motivasi, perilaku-perilaku bisnis yang dilihat dari aspek nilai baik dan buruk, memberdayakan emosi-emosi positif dan segala sesuatu yang mencakup masalah praktis yang berkaitan dengan etika. Adapun tentang apa itu etika dalam pembahasan yang lebih ilmiah (etika sebagai bagian dari ilmu yang sistematis dan metodis ) tidak banyak dibicarakan. Hal ini bisa dimaklumi karena kajian keilmuan tentang etika merupakan wilayah yang selayaknya digarap para akademisi (ilmuwan) sedangkan para praktisi bisnis hanya membutuhkan petunjuk-petunjuk praktis dalam rangka memperbaiki atau memperbaharui perilaku bisnisnya. Melihat begitu besar minat para praktisi bisnis untuk mengkaji ulang perilaku bisnisnya maka pembahasan tentang etika sebagai sebuah obyek kajian keilmuan merupakan sebuah tuntutan yang cukup mendesak.
Istilah etika berasal dari bahasa Yunani Kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti yaitu tempat tinggal yang biasa; padang rumput; kandang; kebiasaan, adat, akhlak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah kebiasaan. Arti yang terakhir inilah yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah etika. Istilah dan makna etika seringkali dikaitkan dengan istilah moral. Adapun istilah moral berasal dari kata Latin yaitu kata mos yang merupakan bentuk jamak dari mores yang berarti juga adat istiadat. Jadi etimologi kata “etika” sama dengan etimologi kata “moral” . Dalam terminologi, etika memiliki tiga pengertian: Pertama, etika adalah norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika merupakan asas atau nilai moral. Ketiga, etika merupakan ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika disini sama artinya dengan filsafat moral .
Sebagai sebuah filsafat moral, etika tidak membatasi diri pada gejala-gejala konkret seperti ilmu-ilmu lainnya (non empiris). Jika ilmu-ilmu lain membatasi diri pada hal-hal yang bersifat empiris dan pada pengalaman-pengalaman inderawi, maka etika tidak berhenti pada taraf yang konkret yang secara faktual dilakukan tetapi ia bertanya tentang yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan, tentang apa yang baik dan buruk. Walaupun etika bersifat non empiris tetapi ia tetap dapat disebut sebagai sebuah ilmu karena memiliki metode kritis dan sistematis dalam mengamati perilaku manusia. Pengetahuan tentang etika cukup penting agar orang dapat mencapai kematangan etis.
Walaupun dengan mempelajari etika orang dapat mencapai kematangan etis, tetapi etika bukan merupakan suatu ajaran. Etika tidak berwenang untuk menetapkan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak, tetapi berusaha untuk mengerti mengapa, atau atas dasar apa seseorang harus hidup menurut norma-norma tertentu . Dalam kehidupan praktis etika atau moral ada pada wilayah batin yang menumbuhkan kesadaran moral seperti kesadaran akan bersikap jujur dan adil. Jika kemudian seseorang tidak berlaku jujur atau adil, etika tidak dapat memberi sanksi apapun. Pemberian sanksi atas perilaku tertentu merupakan wewenang hukum.
Hukum merupakan salah satu norma dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat memiliki banyak norma yang berfungsi untuk membangun dan mempertahankan stabilitas sistem masyarakat itu sendiri. Pada mulanya norma-norma tersebut dibuat secara tidak sengaja tetapi kemudian dibuat secara sadar, norma jual beli dengan perantara, yang pada mulanya perantara tersebut tidak mendapat bagian keuntungan, lama kelamaan dibuatlah aturan tentang imbalan yang dapat diterima oleh perantara. Sebuah aturan yang mampu berfungsi dan dinilai baik dalam masyarakat cenderung akan dipertahankan.
Norma berarti alat tukang kayu atau tukang batu yang berupa segitiga, dan pada perkembangannya, memiliki pengertian sebagai ukuran, garis pengarah, atau aturan bagi pertimbangan dan penilaian . Norma memiliki pengertian juga sebagai aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan dan pengendali tingkah laku atau aturan, ukuran, kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai atau membandingkan sesuatu .
Norma-norma yang ada dalam masyarakat memiliki kekuatan mengikat yang berbeda-beda . Ciri utama dari norma ini adalah bahwa pelanggaran terhadap norma akan dikenai sanksi. Sanksi itu dapat berupa sekedar sanksi dari pribadi seperti perasaan berdosa, sanksi sosial seperti rasa malu, sampai kepada pemidanaan.
Norma terdiri dari norma khusus dan norma umum . Norma khusus merupakan norma yang hanya berlaku pada situasi tertentu saja, misalnya dalam sebuah permainan. Sedangkan norma umum terdiri dari tiga macam yaitu:
1. Norma sopan santun . Norma ini menyangkut sikap lahiriah (perilaku yang nampak) manusia dan sangat relatif karena menyangkut sesuatu yang dianggap pantas dan tidak pantas oleh sebuah kelompok atau masyarakat. Berbicara dengan suara yang keras dan nyaring dengan orang yang diangap lebih tua dalam suatu masyarakat mungkin dianggap tidak pantas dan memalukan tetapi di masyarakat yang berbeda hal seperti itu barangkali dianggap hal biasa.
2. Norma hukum adalah norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Hukum tidak dipakai untuk menilai baik buruknya seseorang melainkan untuk ketertiban umum. Dalam hal ini hukum pada umumnya berbentuk undang-undang tertulis dengan sanksi yang jelas jika ada pelanggaran.
3. Norma moral adalah tolok ukur yang digunakan masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang dari segala aspek seperti sistem nilainya, kepribadiannya dan perilakunya.
Moral yang memiliki makna sama dengan etika, memiliki kaitan erat dengan hukum. Moral atau etika yang membahas tentang baik dan buruk sikap dan perilaku manusia memang sudah selayaknya merupakan sumber pertimbangan dalam menciptakan hukum. Hukum membutuhkan moral. Hukum tidak memiliki arti bagi manusia jika tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa moralitas hukum akan kosong. Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya. Karena itu hukum harus senantiasa diukur dengan norma moral. Dalam kekaisaran Roma sudah terdapat pepatah quid leges sine moribus ? Apa artinya undang-undang jika tidak dijiwai oleh moralitas? Thomas Aquinas berpendapat bahwa hukum yang bertentangan dengan moral akan kehilangan kekuatannya .

B. Etika Hukum Ekonomi Dan Bisnis Islam
Ekonomi merupakan kegiatan yang menunjukkan usaha individu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya melalui produksi (menghasilkan barang dan jasa), distribusi dan sirkulasi (memasarkan) dan konsumsi (pemenuhan kebutuhan itu sendiri). Bentuk lebih khusus dari ekonomi adalah bisnis. Bisnis diartikan sebagai kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan usaha (perusahaan) secara teratur dan terus menerus, yaitu berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa maupun fasilitas-fasilitas untuk diperjualbelikan atau disewakan dengan tujuan untuk mendapat keuntungan . Tetapi berbicara masalah hukum ekonomi dan bisnis, bukanlah membahas ekonomi itu sendiri, tetapi membahas masalah kaidah-kaidah atau hukum yang mengatur kegiatan ekonomi dan bisnis. Jadi hal ini termasuk wilayah hukum.
Sebelum berbicara masalah hukum ekonomi dan bisnis ada baiknya untuk kembali memahami apa itu kaidah hukum. Kaidah hukum memiliki pengertian sebagai berikut :
1. Kaidah hukum ditujukan kepada pelaku yang konkret, yaitu si pelaku pelanggaran yang nyata-nyata berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia tetapi untuk kepentingan masyarakat.
2. Isi kaidah hukum ditujukan kepada sikap lahiriah manusia. Jadi kaidah hukum mengutamakan perbuatan/ sikap lahiriah, bukan batiniah.
3. Masyarakat secara resmi diberi kekuasaan untuk memberikan sanksi atau menjatuhkan hukuman melalui pengadilan sebagai wakilnya.
4. Kaidah hukum membebani kewajiban kepada manusia dan juga memberikan hak.
HMN Poerwosutjipto menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma , yang oleh penguasa negara atau penguasa masyarakat yang berwenang menetapkan hukum, dinyatakan atau dianggap sebagai peraturan yang mengikat sebagian atau seluruh anggota masyarakat, dengan tujuan untuk mengadakan suatu tatanan yang dikehendaki oleh penguasa tersebut .
Jadi jelaslah yang dimaksud dengan hukum ekonomi disini adalah kaidah hukum yang ditetapkan oleh sumber hukum untuk mengatur kegiatan ekonomi, bukan hipotesa ilmiah dari logika ilmu ekonomi seperti hukum ekonomi yang menyangkut hukum penawaran dan permintaan (jika harga turun maka permintaan akan meningkat dan penawaran mengalami penurunan).
Kembali pada pernyataan bahwa moral atau etika, memiliki kaitan erat dengan hukum. Moral atau etika yang membahas tentang baik dan buruk sikap dan perilaku manusia memang sudah selayaknya merupakan sumber pertimbangan dalam menciptakan hukum. Hukum membutuhkan moral. Hukum tidak memiliki arti bagi manusia jika tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa moralitas hukum akan kosong. Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya. Karena itu hukum harus senantiasa diukur dengan norma moral. Pernyataan ini berlaku bagi semua pembentukan hukum yang menyangkut bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Khususnya tentang pembentukan hukum ekonomi, pertimbangan etika ini tidak dapat ditinggalkan.
Pada dasarnya dalam lingkup ilmu pengetahuan praktis, ekonomi memiliki hubungan yang erat dengan etika yang berbicara tentang baik dan buruk perbuatan manusia. Kegiatan produksi, konsumsi dan sirkulasi( distribusi) menyentuh persoalan kesejahteraan umum dan keadilan serta keselarasan. Dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini banyak orang melupakan bahwa kegiatan ekonomi tidak hanya menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup individu tetapi juga secara luas untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Cita-cita ini tentu tidak banyak mendapat perhatian dalam masyarakat modern, dimana prestasi individu lebih dihargai dibandingkan dengan nilai keselarasan. Praktek ekonomi sekarang tidak lagi mengusahakan suatu tatanan yang harmonis melainkan ditentukan oleh motif untuk mengembangkan kapital sampai pada batas yang tidak dapat diramalkan .
Seperti halnya semua bidang keilmuan, ekonomi pada awalnya didasarkan pada pemikiran filosofis etis tentang kehidupan bersama dalam masyarakat, tak terkecuali kapitalisme yang sangat menjunjung tinggi kebebasan individu. Adam Smith (1723-1790) yang merupakan pemikir utama yang menjadi dasar berdirinya sistem ekonomi kapitalis mempertahankan gagasannya bahwa kebebasan kreatif manusia merupakan kodrat manusia. Ia mencoba mengerti bahwa kebebasan sebagai inti hukum kodrat manusia, dan karena itu dapat dilihat sebagai hukum yang mengatur masyarakat bebas. Demikianlah bahwa pemikiran filosofis etis ini kemudian menciptakan hukum pasar bebas dalam sistem ekonomi kapitalis, sekalipun Smith mengatakan bahwa jika individu diberi kebebasan dalam melakukan kegiatan ekonomi maka kekuatan kreatif manusia ini akan mendorong kemajuan dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat karena pada dasarnya manusia memiliki simpati terhadap invidividu. Smith memiliki asumsi bahwa ekonomi berakar pada kodrat alamiah manusia untuk menciptakan masyarakat bersahabat (the friendlysociety) yang makmur berdasarkan hubungan simpati antara manusia.
Pada perkembangan selanjutnya sistem ekonomi kapitalis ini mendapat reaksi dari sosialisme. Aliran filsafat ekonomi sosialisme menjunjung tinggi kolektivisme atau rasa kebersamaan. Pemikiran ini pada dasarnya merupakan reaksi dari sistem hukum kapitalisme yang dinilai menimbulkan ketidakadilan karena hanya menguntungkan pemilik modal. Filsafat ekonomi sosialisme ini pada akhirnya menumbuhkan kebijakan hukum yang menurut John Stuart Mill (1806-1873) menunjuk pada kegiatan untuk menolong orang-orang yang tidak beruntung dan tertindas dengan sedikit bantuan dari pemerintah. Dalam masyarakat yang menganut sistem hukum sosialis hal menonjol yang ditemukan adalah kolektivisme (kebersamaan). Untuk mewujudkan rasa kebersamaan tersebut alokasi produksi dan cara pendistribusian semua sumber-sumber ekonomi diatur oleh negara.
Etika yang mendasari sistem ekonomi sekuler (kapitalis dan sosialis) dihasilkan dari olah fikir manusia akan martabat dan nilai-nilai kemanusiaan yang mengejewantah dalam pemahaman akan keadilan dan kesejahteraan dan keselarasan masyarakat. Adapun ekonomi Islam sejak awal merupakan ilmu ekonomi yang bersifat teologis. Dengan demikian pembahasan tentang ekonomi dan bisnis Islam mau tidak mau harus diawali dengan mengutamakan nilai-nilai kemauan hukum Pencipta manusia (Allah). Jadi usaha membangun ekonomi Islam diawali dengan penafsiran-penafsiran ayat-ayat Al Qur’an (untuk memahami kemauan Sang Pencipta atas manusia) kemudian melalui Sunnah yang ditunjukkan dalam kehidupan sosial Nabi Muhammad (baik ketika hidup di Makkah maupun di Madinah) yang merupakan implementasi dari Al Qur’an.
Adakalanya Al Qur’an langsung menetapkan hukum atas sebuah perilaku ekonomi, misalnya mengharamkan riba . Pada ayat-ayat Al Qur’an yang lain kadangkala hanya membimbing sikap manusia agar memiliki akhlak (etika) dalam melakukan kegiatan ekonomi. Pada akhirnya penafsiran ayat-ayat Al Qur’an yang menyangkut etika ekonomi kemudian diterjemahkan dalam kaidah-kaidah hukum. Penerjemahan etika ekonomi Islam kepada kaidah hukum ekonomi Islam menemukan keleluasaannya karena kerangka hukum Islam memungkinkan kaum muslimin menerjemahkan dengan memperhatikan konteks ruang (kondisi sosial) dan waktu (pada saat kapan hukum diberlakukan). Maka penerjemahan ayat-ayat Al Qur’an dan Sunnah dilakukan melaui proses ijma dan ijtihad atau qiyas serta prinsip-prinsip hukum lainnya seperti istihan, istislah, serta istishab .
Salah satu etika ekonomi Islam yang dapat menjadi dasar bagi norma atau kaidah hukum ekonomi dan bisnis Islam adalah tentang konsep istikhlaf yang menumbuhkan kesadaran bahwa harta semata-mata titipan Allah. Allah berfirman: Al Hadid (57):7
                
7. Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar (Q.S. 57:7).

Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Hak milik pada hakikatnya adalah pada Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. karena itu tidaklah boleh kikir dan boros.
Dalam kitab Al kasysyaf dijelaskan bahwa kata “mustakhlafina” (kamu menguasainya) memiliki makna bahwa harta bukan milik manusia, sedangkan manusia hanyalah wakil Allah dengan demikian terikat oleh kemauan Allah . Dalam penafsiran yang lebih luas dikatakan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan mutlak dalam membelanjakan harta ataupun dalam berusaha. Semua kegiatan ekonomi (produksi, konsumsi, sirkulasi atau distribusi) harus merujuk kepada kemauan Allah. Sebenarnya ayat ini juga merupakan landasan bagi usaha penetapan norma hukum ekonomi Islam yang tidak diatur secara jelas dan detail oleh Al Qur’an dan Sunnah.
Dalam ekonomi sekuler masalah pilihan untuk melakukan kegiatan ekonomi dalam produksi, sirkulasi (distribusi) maupun konsumsi sangat tergantung pada masing-masing individu. Sedangkan etika hukum ekonomi dan bisnis Islam mengacu pada asumsi etis bahwa kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi dialokasikan sedemikian rupa sehingga tidak seorangpun akan dinilai baik jika menjadikan orang lain lebih buruk . Dengan demikian produksi dan konsumsi yang dinilai haram oleh Al Qur’an dan Sunnah tidak mungkin dilakukan dalam sistem ekonomi Islam.
Ekonomi dan bisnis Islam sangat mementingkan etika (akhlak) dalam segala bentuk kegiatannya. Kepentingan ekonomi Islam kepada etika (akhlak) ini melebihi sistem ekonomi lainnya yang bersifat sekuler. Tentu saja bahwa sistem ekonomi sekuler pun memiliki landasan filsafat etika. Tetapi dalam prakteknya seringkali pandangan etika ini dilupakan dan lebih memfokuskan kepada usaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya (seperti ekonomi kapitalis) sehingga terjebak dalam kebebasan ekonomi yang dikendalikan pasar tanpa campur tangan pemerintah dan potensial menimbulkan monopoli. Pada sistem ekonomi sosialis dan komunis dimana sumber-sumber ekonomi dikendalikan sepenuhnya oleh negara bahkan kemudian membatasi kebebasan individu dalam berusaha dan meningkatkan taraf hidupnya. Ekonomi Islam menetapkan dasar-dasar etis secara lebih terinci dalam bidang produksi, sirkulasi dan konsumsi .
Etika ekonomi Islam yang mendasari bidang produksi diantaranya adalah:
1. Bahwa Allah menciptakan alam dan seisinya ini agar dimanfaatkan oleh manusia (Q.S. Ibrahim (14 ):32-34).
2. Bahwa Allah menjamin rejeki bagi orang yang bekerja (Q.S. Al Mulk (67): 15).
3. Bahwa bekerja dan kegiatan ekonomi adalah ibadah dan jihad.
4. Bahwa bekerja itu wajib dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, untuk kemaslahatan keluarga, untuk kemaslahatan masyarakat, untuk kemanfaatan seluruh mahluk hidup
Etika ekonomi Islam yang mendasari bidang konsumsi diantaranya adalah:
1. Bahwa Allah menyuruh untuk membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir (Q.S. Al A’raf (7) :32). Membelanjakan harta memiliki dua sasaran yaitu untuk fi sabilillah serta untuk diri dan keluarga.
2. Bahwa Islam memerangi pemborosan atau tindak mubazir (Q.S. Al Israa’ (17): 26-27).
3. Islam menganjurkan untuk bersikap sederhana dalam membelanjakan uang (Q.S. Yusuf (12 ): 47-48).
Etika yang mendasari bidang sirkulasi adalah:
1. Larangan memperdagangkan barang-barang haram (Q. S Al Muthaffifin (83): 2-3).
2. Benar, menepati amanat dan jujur atau setia (Q.S. Al Mukmin (40): 8).
3. Bersikap adil dan tidak melakukan riba (Q.S. Al Hud (11): 18 dan Q.S. Al Baqarah (2): 279).
4. Kasih sayang dan larangan terhadap monopoli (Q.S. Al Anbiya (21): 107).
5. Menumbuhkan toleransi, persaudaraan dan sedekah (Q.S. Al Baqarah (2): 280).
6. Orientasi keakhiratan dengan tidak lupa mengingat Allah (Q.S. Al Jumu’ah (62): 9-11) dan memiliki sikap dengan meluruskan niat, melaksanakan fardhu kifayah, memperhatikan pasar akhirat (Q.S. an Nur (24): 36-37 ), terus berzikir, tidak rakus, menghindari syubhat (Q.S. Al Baqarah (2): 172) dan selalu melakukan introspeksi.

C. Hubungan Bisnis Dengan Akidah
Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ekonomi Islam bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah dan menggunakan sarana yang tidak terlepas dari syari’at Allah . Inilah sebuah pernyataan yang menunjuk pada akidah Islam. Dengan pernyataan akidah ini jelas bahwa semua aktivitas setiap muslim dalam semua bidang (politik, ekonomi, sosial, budaya) tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir kepada Tuhan (Allah). Oleh karena itu setiap aktivitas muslim pada dasarnya memiliki nilai ibadah dan bersifat sakral.
Dalam aktivitas ekonomi seperti produksi, sirkulasi (distribusi) serta konsumsi selalu terkait dengan pernyataan akidah ini. Ekonomi dalam pandangan Islam bukanlah tujuan tetapi sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, merupakan penunjang dan pelayan bagi akidah. Bisnis yang merupakan bagian dari kegiatan ekonomi dalam kerangka sistem ekonomi Islam juga secara otomatis menjiwai akidah Islam ini.
Dari pernyataan akidah (semua bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah dan menggunakan sarana sesuai dengan syari’at Allah) kemudian melahirkan sikap istikhlaf. Konsep istikhlaf yang merujuk kepada Q.S Al Hadid (57) :7 ini memiliki maksud bahwa makna “menguasai” artinya manusia bukan pemilik harta secara mutlak tetapi wakil Allah yang bertugas sebagai pemelihara atau pengawas harta itu. Sebagai wakil Allah maka dalam penggunaan harta itu manusia terikat dengan kemauan Allah.
Dari konsep istikhlaf ini timbul sikap dhamir dalam diri setiap pelaku bisnis. Dhamir adalah suatu “perasaan selalu ada yang mengawasi”. Dengan dhamir seorang muslim tidak akan mengambil barang yang bukan miliknya dan tidak memakan barang yang bukan haknya. Keyakinan muslim akan dhamir ini dan bahwa ia akan dihisab di akhirat nanti adalah hal terpenting dalam memulai bisnis.
Demikianlah ekonomi Islam, khususnya bisnis Islam yang berorientasi ketuhanan (akidah) pada akhirnya akan menumbuhkan sikap istikhlaf dan dhamir. Perangkat pembentukan sikap muslim dalam melakukan kegiatan ekonomi dan bisnis akan menjamin bahwa kegiatan ekonomi Islam akan berjalan dalam koridor keadilan dan keseimbangan dalam arti kata dalam melakukan transaksi semua pihak diperlakukan secara adil tidak ada yang dirugikan atau lebih diuntungkan jika terjadi resiko-resiko dalam usaha tersebut.
Jika kegiatan bisnis dilakukan dengan berlandaskan akidah maka timbul keyakinan bahwa segala yang dilakukan di dunia akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti dan oleh karena itu adalah suatu keharusan untuk hanya kepada Allah tempat pengambilan hukum tersebut. Sesungguhnya pemikiran “halal dan haram” adalah pemikiran yang selalu menyertai akal dan hati kecil setiap muslim dengan keyakinan bahwa pada hari kiamat kelak ia akan ditanya oleh Allah tentang hartanya .
Pembahasan masalah bisnis pada umumnya diawali dengan pembentukan sikap para pelaku bisnis. Maka hal ini sangat relevan dengan pembahasan ekonomi dan bisnis Islam yang lebih menekankan kepada keterikatan seseorang dengan Tuhannya serta mengakui ke-Esa-an dan kekuasaanNya (akidah) dan sikap-sikap positif dalam melakukan kegiatan bisnisnya (etika, akhlak) serta menjalankan kegiatan bisnisnya bukan semata-mata pemenuhan kebutuhan pribadi tetapi dalam rangka pengabdianya kepada Tuhan (ibadah). Di bawah ini salah satu ucapan yang dapat memotivasi para pelaku bisnis muslim untuk dapat meluruskan dan memperbaharui sikapnya dalam berbisnis:
Menyembah Tuhan sebagai tujuan hidup ini memiliki resultan yang erat dengan pencapaian bisnis yang sehat. Sederhana atau mengguritanya bisnis yang anda miliki, tak akan berarti apa-apa, bila ternyata hasil bisnis itu tidak membuahkan penyembahan atau ibadah kepada Nya. Anda akan menjadi hina di mata Allah jika bisnis yang anda jalankan tidak mendasarkan pada pakem-pakem yang sudah digariskan oleh Nya. Anda tidak akan masuk ke dalam orang-orang yang beruntung, jika hati anda buta dan tuli, tidak menyadari bahwa semua yang anda miliki berasal dari- Nya .

D. Norma Hukum Ekonomi dan Bisnis Islam
Saat ini banyak praktek ekonomi atau lembaga ekonomi yang memakai istilah syari’ah dalam menyebutkan jenis kegiatan atau lembaga ekonominya seperti bank syari’ah, asuransi syari’ah dan sebagainya. Syari’ah secara etimologis berarti “jalan tempat keluarnya air untuk diminum”. Kata ini kemudian dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan lurus yang harus diturut. Menurut Manna’ Al Qathan, syari’ah berarti segala ketentuan Allah yang disyari’atkan bagi hamba-hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak maupun muamalah . Dalam perkembangan selanjutnya kata syari’ah digunakan untuk menunjukkan hukum-hukum Islam, baik yang ditetapkan langsung oleh Al Qur’an dan Sunnah maupun yang telah dicampur oleh pemikiran manusia . Produk-produk pemikiran itulah yang disebut dengan fiqh.
Mengapa harus ada campur tangan manusia dalam merumuskan syari’at Islam? Hukum Allah dalam Al Qur’an terbagi dalam dua bagian yaitu yang terang (muhkam) dan yang mutasyabih (samar). Hukum mutasyabih yang ditemukan oleh ummat Islam di zaman Rasulallah telah dijelaskan lewat Sunnah. Namun penjelasan nabi tersebut terkait dengan dimensi kultur, situasi, kondisi, waktu dan tempat saat itu sehingga penjelasan Sunnah tersebut harus dilanjutkan melalui pengkajian dan penelitian .
Perkembangan ekonomi Islam baik dalam wacana maupun dalam praktek terus berkembang. Praktek-praktek ekonomi terus berkembang lebih kompleks dan beragam. Pada tahap inilah sangat diperlukan agar praktek ekonomi tetap sesuai dengan syari’at Islam.
Dalam wacana kelimuan di dunia akademik kini lebih banyak diperkenalkan istilah ekonomi Islam daripada istilah fiqh muamalah dan lebih banyak memakai istilah hukum Islam dibanding istilah syari’at Islam. Pengistilahan yang banyak terpengaruh oleh bahasa keilmuan Barat ini sekaligus menunjukkan keharusan pengkajian ulang fiqh muamalah kedalam bentuk ekonomi Islam kontemporer. Secara implisit perbedaan istilah yang dikaitkan dengan dimensi waktu ini memberi kesan bahwa diperlukan banyak usaha agar syari’at Islam tetap aktual dan praktek ekonomi tetap dalam bingkai syari’at.
Akan halnya ekonomi Islam, dalil-dalil nomatif yang tercantum dalam Al Qur’an dan Sunnah ternyata mengandung aspek-aspek positif. Hal ini bukan berarti bahwa aspek-aspek positif dan normatif tidak dapat dibedakan sama sekali. Pada awalnya aturan mengenai perilaku ekonomi yang islami ditetapkan oleh Al Qur’an. Jadi secara etik al Qur’an mengatur perilaku ekonomi dalam bidang produksi, konsumsi, sirkulasi (distribusi).
Setelah Al Qur’an, Sunnah merupakan aturan kedua yang mengatur perilaku manusia. Sunnah adalah praktek-praktek yang dicontohkan oleh Rasulallah saw, serta ucapan-ucapannya (hadist). Keterangan-keterangan dalam sunnah memiliki formasi yang lebih operasional yang merupakan bentuk praktek dari konsep-konsep Al Qur’an. Sunnah menguraikan bagaimana tata cara zakat, bentuk kerja sama ekonomi, perdagangan, pembelanjaan harta dan sebagainya. Dalam konteks waktu, sunnah menjelaskan perilaku ekonomi masa lampau. Dengan kerangka hukum Islam yang dapat menjangkau semua dimensi waktu terdapat istilah-istilah ijma dan qiyas.
Ijma merupakan sumber hukum Islam yang ketiga yang merupakan konsensus dari mayarakat dan ulama (cendekiawan). Ijma adalah salah satu prinsip hukum baru yang timbul sebagai akibat melakukan penalaran dalam menghadapi masyarakat luas dengan cepat dari masyarakat Islam dini sampai generasi berikutnya.
Ijma tidak hanya dimaksudkan untuk melihat kebenaran masa kini dan masa yang akan datang, tetapi juga untuk membina kebenaran masa lampau. Ijma lah yang menentukan apakah Sunnah nabi itu dan bagaimana penafsiran surah Al Qur’an yang benar. Pada masa tertentu ijma memiliki kesahihan dan daya fungsional tinggi karena merupakan faktor paling ampuh dalam memecahkan praktek-praktek kehidupan kaum muslimin melalui potensinya dalam berasimilasi, mengubah dan menolak.
Arti penting ijma dalam hukum Islam hampir tidak dapat diragukan nilainya. Melalui saran-saran ijma bukan saja pertentangan dalam banyak hal dapat dihilangklan melainkan juga kesiapan dalam menghadapi situasi-situasi baru dengan proses analogi. Dengan demikian ijma bersifat mempersatukan agar kaum muslimin terhindar dari kesesatan (bid’ah). Namun tidak dapat dihindari bahwa terdapat persoalan-persolan kecil yang tidak dapat disepakati, tetapi para ahli agama Islam menafsirkan ini sebagai rahmat yang datangnya dari Allah. Ijma memiliki arti penting bagi masyaakat muslim dalam dunia modern. Oleh karena itu ijma merupakan sumber hukum Islam terutama untuk memperoleh seperangkat asas-asas dalam menjalankan ijtihad.
Secara teknis ijtihad berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan syari’at . Ijtihad merupakan proses penafsiran dan penafsirn kembali ayat-ayat yang diwahyukan dan sebagian pada deduksi analogis dan penalaran. Kehidupan dari zaman ke zaman selalu berubah dengan masalah-masalah yang lebih kompleks. Dengan proses ijtihad, hukum Islam berkembang mengikuti perubahan. Usaha ijtihad dalam hal ini amat diperlukan untuk menciptakan model-model dan teori-teori yang dapat menjawab persoalan aktual tetapi dengan tetap menyelaraskan diri pada Al Qur’an dan Sunnah.
Proses ijtihad memerlukan diberikannya prioritas masing-masing hukum sesuai dengan statusnya. Dalam memecahkan suatu persoalan hukum mujtahid pertama-tama harus mencari keterangan dalam Al Qur’an dan Sunnah. Jika jawabannya tidak terdapat di dalamnya barulah ia menempuh ijma (konsensus) masyarakat dan akhirnya harus melakukan ijtihad. Syarat penting yang harus dimiliki dalam melakukan ijtihad adalah kemampuan dan pengetahuan yang baik tentang perintah-perintah dalam Al Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ijtihad merupakan usaha memecahkan masalah kontemporer dengan tidak meninggalkan ketentuan Al Q ur’an, Sunnah dan ijma.
Qiyas merupakan usaha untuk mengembalikan atau mempersamakan suatu kejadian yang tidak ada ketentuan nash, dengan kejadian lain yang sudah ada ketentuan hukum dalam nash, karena ada illat (sebab) yang bisa diidentifikasi. Qiyas sangat diperlukan ketika perubahan banyak terjadi pada setiap zaman, seperti apakah bunga bank sama dengan riba dan sebagainya.
Dengan kerangka hukum yang lengkap Islam membuktikan dirinya sebagai agama yang bukan hanya berkutat di tataran normatif. Al Qur’an dan sunnah adalah nilai-nilai absolut yang melampaui dimensi waktu. Ijma merupakan upaya penafsiran Al Qur’an dan Sunnah dalam bentuk konsensus yang disepakati tentang suatu hukum. Adapun ijtihad dan qiyas merupakan bentuk operasional yang terikat dengan konteks waktu dan ruang yang berubah, dengan tetap berpijak pada nilai absolut (Al Qur’an dan Sunnah). Justru dengan ijtihad dan qiyas Islam memiliki kerangka hukum yang lentur (elastis) sehingga sangat responsif terhadap gejala masyarakat yang berubah-ubah.
Pada wilayah ijtihad dan qiyas diperlukan pengamatan atas gejala-gejala yang timbul dalam masyarakat (termasuk gejala ekonomi). Sehingga pada tahap ini ekonomi Islam ada pada tataran positif. Walaupun demikian, bukan berarti Al Qur’an dan Sunnah semuanya bersifat normatif. Ada beberapa ayat dalam Al Qur’an yang memberi petunjuk-petunjuk praktis dan jelas misalnya pembayaran utang piutang. Bentuk petunjuk praktis ini dapat dibedakan dengan pernyataan normatif dalam Al Qur’an, misalnya tentang sikap pertengahan dalam membelanjakan harta, konsep keadilan dalam perdagangan dan sebagainya yang semuanya memerlukan penjelasan lebih operasioanl dalam sunnah dan selanjutnya ijma, ijtihad dan qiyas. Itulah sebabnya tidak mungkin mempermasalahkan dan memilah-milah ekonomi Islam sebagai ekonomi positif atau normatif. Ekonomi Islam mencakup aspek normatif-positif secara keseluruhan.
Praktek ekonomi yang berkembang kini semakin luas dan beragam. Karena itu diperlukan aturan-aturan hukum yang baru dan diperbaharui agar dapat mengatasi masalah-masalah ekonomi yang memerlukan penanganan hukum. Hukum akan kehilangan eksistensi dan fungsinya jika tidak mampu mengatasi masalah yang terjadi di masyarakat. Melalui kerangka hukum Islam (sumber-sumber hukum Islam dan metode penetapannya) yang elastis, sebenarnya hukum Islam selamanya tak akan mengalami hal itu. Tetapi jika hukum Islam hanya berhenti pada tingkat wacana dan tidak mendapat pengesahan dari pemerintah, ia tetap tidak akan memiliki kemampuan mengikat yang pada akhirnya hukum Islam tetap kurang memiliki eksistensinya dan fungsinya di masyarakat.
Berbagai masalah dibahas dalam bingkai hukum Islam dari analisa tekstual dan kontekstual Al Qur’an dan Sunnah (hadist), ijma, ijtihad, qiyas maupun dengan pertimbangan kemaslahatan ummat sampai kepada penetapan hukumnya. Tetapi sanksi yang dikenakan berdasarkan penetapan hukum tersebut tidak akan memiliki kemampuan mengikat jika tidak disahkan oleh pemerintah sebagai hukum yang berlaku. Pada akhirnya tetaplah hanya berupa sebuah wacana dan sekalipun telah menghasilkan penetapan hukum (halal, haram atau sanksi-sanksi tertentu) hal itu hanya dianggap sebagai sebuah pilihan bagi para pelaku bisnis yang semuanya tergantung pada tingkat keterikatan dan konsistensi setiap pribadi muslim terhadap hukum Islam.
Dari akhir tahun 80-an hingga sekarang, penataan di bidang usaha ekonomi syair’ah di Indonesia terus dilakukan. Kegiatan usaha yang dilakukan di bidang ekonomi syari’ah diantaranya bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah dan bisnis syari’ah . Yang menjadi masalah adalah belum tersedianya kompilasi hukum ekonomi syari’ah sehingga belum ada rujukan untuk memutuskan perkara. Urgensi pembentukan kompilasi hukum ekonomi syari’ah juga karena fiqh muamalah ini sangat beragam dan lebih terbuka bagi ijtihad. Hal ini dapat menimbulkan berbagai pendapat .
Berbeda dengan perbankan syari’ah dan asuransi syari’ah yang sudah tersosialisasi dengan baik, usaha bisnis syari’ah belum banyak dikenal oleh masyarakat. Karena itu apabila ada wirausaha yang berusaha untuk berbisnis secara islami rujukannya baru terbatas pada fiqh muamalah. Yang menjadi masalah adalah apabila ada usaha-usaha atau kasus-kasus bisnis yang lebih kompleks, yang secara hukum membutuhkan penafsiran melalui ijtihad dan qiyas. Lingkungan bisnis seperti inilah yang tidak mendukung pelaku bisnis untuk konsisten dengan etika atau moralitas bisnis yang diyakini.
Lahirnya Undang-undang no 3 tahun 2006 yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama memiliki wewenang untuk mengadili sengketa ekonomi syari’ah merupakan kemajuan satu tahap dalam aplikasi hukum Islam di Indonesia. Yang menjadi masalah selanjutnya adalah rujukan para hakim dalam memutuskan perkara ekonomi syari’ah belum tersedia dalam bentuk kompilasi hukum ekonomi syari’ah sebagaimana terdapat pada hukum perkawinan, warisan, waqaf, wasiat dan hibah. Selama ini penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga keuangan syari’ah mengacu pada ketentuan KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari BW (Burgerlijk Wetboek) yaitu kitab undang-undang hukum sipil Belanda yang dikonkordinasi keberlakuannya di tanah jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854. Dalam kenyataan yang demikian berarti konsep perikatan dalam hukum Islam tidak lagi berfungsi dalam praktek dan formalitas hukum di masyarakat. Jika terjadi perselisihan maka pihak yang bersengketa dapat memilih penyelesaiannya melalui lembaga Pengadilan Negeri atau lembaga arbitrase syari’ah.
Tuntutan terbentuknya Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah bukan hanya disebabkan Pengadilan Agama kini berwenang menangani kasus-kasus hukum ekonomi syari’ah tetapi lebih dari itu masyarakat sudah sangat membutuhkan kepastian hukum dalam kontrak bisnis syari’ah. Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dapat merujuk kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam yang pernah dibuat pada zaman kekhalifahan Turki Usmani yang tentu saja disesuaikan dengan aktivitas ekonomi di zaman modern ini .
Ada banyak hal yang perlu diperhatikan dan diperhitungkan dalam pembentukan kompilasi hukum ekonomi syari’ah dan praktek bisnis syari’ah di lapangan. Kejayaan ekonomi Islam pada zaman Rasulallah, Khulafaur Rasyidin, Bani Umayah dan Bani Abassiyah telah memberikan inspirasi kepada beberapa Negara muslim kontemporer untuk meniru sistem tersebut. Proses peniruan ini tidak selamanya berjalan mulus karena sistem yang ditiru adalah sistem yang komplet (kaffah), sedangkan yang meniru melakukannya dengan parsial .
Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah harus menggunakan ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh dan falsaha hukum Islam. Disiplin ilmu fiqh ini adalah metodologi yurisprudensi Islam yang mutlak diperlukan mujtahid. Para ulama, pakar dan praktisi ekonomi syari’ah merumuskan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah tersebut dengan berijtihad secara kolektif (ijtihad jama’iy).
Sebenarnya kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara konstitusional, masih sangat lemah dan keberadaannya hanya sebagai instruksi Presiden. Karena itu para ahli hukum Islam perlu merumuskan Kodifikasi Hukum Ekonomi Syari’ah (Islam) dalam sebuah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam .

E. Kesimpulan
Tulisan ini mengawali pembahasannya dari dasar etik hukum ekonomi dan bisnis Islam yang semuanya bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah. Etika hukum ini kemudian diterjemahkan dalam norma-norma hukum ekonomi dan bisnis Islam yang berisi tentang kaidah-kaidah yang mengatur praktek ekonomi Islam. Tetapi pembahasan tentang etika dan norma hukum dalam tingkat wacana belumlah cukup untuk dapat menetapkan eksistensi dan fungsi hukum ekonomi Islam di tengah masyarakat muslim. Karena itu pembentukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah atau bahkan dalam bentuk kodifikasi hukum ekonomi Islam atau Hukum Perdata Islam merupakan suatu keniscayaan. Dalam konteks praktek ekonomi Islam di Indonesia, hal ini nampaknya perlu diusahakan lebih lanjut karena sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam.
Tulisan ini juga dimaksudkan sebagai suatu salah usaha merekontruksi hukum ekonomi Islam secara keseluruhan dengan berusaha menemukan relevansi antara etika hukum ekonomi Islam dengan konsep-konsep hukum ekonomi Islam dan penetapan hukum ekonomi tersebut dalam sebuah kitab undang-undang yang dapat dijadikan acuan dalam melakukan praktek ekonomi dan bisnis Islam. Dengan demikian hukum yang berlandaskan moralitas Islam dan dapat menunjukkan eksistensi serta fungsinya dalam masyarakat benar-benar tergambarkan dalam setting ilmu dan praktek ekonomi Islam.

1 comment: