Wednesday 8 February 2012

TEORI KONSUMSI (Analisis Kritis Tentang Konsumsi Dalam Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Islam)

Telah dimuat pada TAZKIYA Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan & Kebudayaan. Pusat Kajian Islam dan Kemasyarakatan IAIN SMHB Vol. 12 No. 2,2011


            
Tulisan ini memuat tentang beberapa teori konsumsi dalam ekonomi konvensional diantaranya adalah teori konsumsi yang dikemukakan oleh Keynes yang mengungkapkan bahwa pengeluaran konsumsi yang sekarang tergantung kepada  pendapatan bersih (disposable income)  yang sekarang, yang dihitung dalam kurun waktu jangka pendek.Teori konsumsi yang lain adalah teori konsumsi  daur hidup (Life Cycle Theory) dan teori pendapatan permanen (Permanent Income Theory).Dua hal yang dapat dipahami dari kesimpulan kedua teori tersebut adalah bahwa pengeluaran konsumsi terutama dipengaruhi oleh pendapatan disposabel sekarang dan juga dipengaruhi oleh harapan pendapatannya di masa datang.Teori pendapat permanen membahas pula tentang pengeluaran konsumsi pada barang tahan lama seperti kendaraan dan barang tahan lama lainnya.Abstrak

Ide tentang perlunya penghitungan yang terpola dalam alokasi pendapatan terhadap pengeluaran konsumsi tercantum pada Al Qur’an Surat Ar Rahman (55):152 yang menekankan tentang pentingnya neraca keadilan, menegakkan timbangan dan melarang untuk melampaui batas. Acuan tentang pengeluaran konsumsi tercantum dalam Al Qur’an Surat Al Furqaan (25): 67 yang menganjurkan agar pengeluaran konsumsi dilakukan secara pertengahan (tidak terlalu boros atau kikir). Cuplikan 2 ayat Al Qur’an tersebut memiliki relevansi dengan teori konsumsi keynes tentang pendapatan disposabel sekarang yaitu tema pokok tentang pengeluaran konsumsi.Sedangkan Al Qur’an surat Yusuf (12): 47-49 yang menganjurkan agar menyimpan gandum untuk konsumsi selama 7 tahun memiliki relevansi dengan teori daur hidup dan teori pendapatan permanen yaitu persamaan tema pokok bahwa pengeluaran konsumsi juga dipengaruhi oleh perkiraan pendapatannya di masa depan.
Selanjutnya tulisan ini membahas tentang teori konsumsi yang dikemukakan Al Gazali yang memuat ide pokok tentang fungsi konsumsi terhadap kesejahteraan masyarakat. Ia menyatakan  bahwa kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar yaitu agama (al-dien), jiwa (nafs), harta (maal) dan akal (aql). Dalam aspek ekonomi, fungsi kesejahteraan sosial disusun secara hirarkis meliputi kebutuhan (daruriat), kesenangan dan kenyamanan (hajaat) dan kemewahan (tahsinaat). Kunci pemeliharaan lima tujuan dasar terletak pada penyediaan tingkat pertama (kebutuhan atau daruriat) yaitu kebutuhan makanan, pakaian dan perumahan.
Dari teori konsumsi yang dikemukakan oleh Al Gazali nampak terdapat perbedaan paradigma antara ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam. Ekonomi konvensional membatasi diri untuk mempelajari tentang fakta apa adanya bukan yang seharusnya. Sedangkan ekonomi Islam sejak awal bertumpu pada hal-hal yang bersifat normatif seperti yang tercantum dalam Al Qur’an. Tetapi dalam proses ijtihad maka hal-hal normatif dalam Al Qur’an kemudian memiliki kaitannya dengan aspek positif keilmuan. Paradigma ini tentu saja berpengaruh pada asumsi-asumsi teori konsumsi dalam ekonomi Islam.

Kata kunci:Teori Konsumsi, Ekonomi Konvensional, Ekonomi Islam.

A.      PENDAHULUAN

Istilah Ekonomi  berasal darisebuah  kata oikonomea yang berarti pengelolaan (manajemen) sebuah rumah tangga atau negara. Pengelolaan mencakup ide-ide tentang efesiensi, hemat dan pencegahan penghamburan melalui perencanaan dan pemanfaatan sumber-sumber daya secara berhati-hati. Dengan asumsi bahwa  sumber-sumber daya sangat terbatas sedangkan kebutuhan manusia lebih besar dan tidak terbatas maka pada diperlukan perencanaan dan tindakan yang efektif melalui sebuah perencanaan sehingga sumber-sumber daya dapat dikelola efektif untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Pengelolaam sumber daya inilah yang dipelajari oleh ekonomi. Penelolaan dan penggunaan sumber daya ini mencakup aspek-aspek produksi, distribusi, dan konsumsi.
Produksi mencakup alat-alat dan proses. Alat-alat produksi adalah benda-benda yang memenuhi kebutuhan manusia secara tidak langsung, yang tidak dibutuhkan untuk konsumsi akan tetapi guna menciptakan benda-benda atau jasa-jasa yang dihasilkan, guna memenuhi kebutuhan manusia secara langsung. Di dalamnya termasuk bahan-bahan mentah, mesin-mesin dan pabrik-pabrik. Sedangkan proses produksi adalah rangkaian tahap-tahap untuk penciptaan benda-benda atau jasa-jasa yang secara langsung atau tidak langsung memenuhi kebutuhan manusia. Adapun distribusi merupakan sinonim dari pemasaran. Konsumsi adalah penggunaan akhir barang-barang serta jasa-jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia atau digunakannya jasa-jasa dan benda-benda material untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Konsumsi menyangkut pemenuhan kebutuhan dan keinginan individu-individu, akan tetapi hal pokok yang mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran oleh individu-individu untuk konsumsi adalah besar kecilnya pendapatan mereka. Hubungan antara pendapatan individu dan konsumsi yang dilakukannya dinamakan kecenderungan untuk mengkonsumsi (propensity to consume). Apabila telah diketahui pendapatannya maka akan diketahui pula kecendrungan untuk mengkonsumsi dan kemudian dapat dihitung besar konsumsinya. Beberapa teori konsumsi pada dasar membahas hal inti yang sama yaitu alokasi pendapatan kepada konsumsi, kepada tabungan serta kepada investasi. Teori-teori konsumsi itu diantaranya teori konsumsi Keynes yang mengasumsikan bahwa pengeluaran konsumsi yang sekarang tergantung kepada  pendapatannya yang sekarang. Teori daur hidup atau Life Cycle Theory (LCT) berpendapat bahwa konsumsi yang sekarang akan tergantung pada harapan atau perkiraan pendapatannya di masa datang. Dalam teori pendapatan permanen atau Permanent Income Theory (PIT) dijelaskan tentang arus aktual konsumsi atas jasa-jasa dan berang-barang komoditas tahan lama.
Dalam ekonomi Islam, teori konsumsi dikemukakan oleh Al Gazali yang membahas tentang fungsi konsumsi. Menurut Al Gazali tindakan konsumsi senantiasa didasarkan pada pencapaian sebuah kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat dengan indikator  pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar yaitu agama (al-dien), jiwa (nafs), harta (maal) dan akal (aql). Dalam aspek ekonomi fungsi kesejahteraan sosial disusun secara hirarkis meliputi kebutuhan (daruriat), kesenangan dan kenyamanan (hajaat) dan kemewahan (tahsinaat). Kunci pemeliharaan lima tujuan dasar terletak pada penyediaan tingkat pertama (kebutuhan atau daruriat) yaitu kebutuhan makanan, pakaian dan perumahan. Dengan demikian pemenuhan konsumsi senantiasa didasarkan pada prioritas dengan lebih dahulu memilih pemenuhan pada kebutuhan (daruriat). Ditegaskan oleh Al Gazali bahwa mengutamakan aspek-aspek primer dalam daruriat tidak berarti mangesampingkan sama sekali pemenuhan konsumsi untuk kenyamanan (hajaat) dan kemewahan (tahsinaat).

B.    TEORI KONSUMSI DALAM EKONOMI KONVENSIONAL DAN EKONOMI ISLAM

Manusia banyak melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan oleh manusia adalah kegiatan ekonomi. Hampir semua manusia dewasa melakukan kegiatan ekonomi, terutama karena manusia perlu untuk memenuhi kebutuhan fisiknya, yang dalam konteks lebih luas adalah untuk memenuhi kebutuhan akan kondisi sejahtera. Pelaku-pelaku kegiatan ekonomi dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah.
            Rumah tangga adalah pemilik dari berbagai faktor produksi yang tersedia dalam perekonomian. Sektor ini menyediakan tenaga kerja. Selain itu, sektor ini memiliki faktor-faktor produksi lain seperti modal, kekayaan alam, dan harta (tanah dan bangunan). Berbagai faktor produksi yang dimiliki keluarga mungkin akan ditawarkan kepada perusahaan dan perusahaan akan memberikan balas jasa berupa pendapatan untuk sektor rumah tangga. Tenaga kerja akan menerima upah, pemilik modal akan menerima bagian dari keuntungan atau bunga, dan pemilik tanah atau harta tetap lainnya akan menerima sewa.
            Mencapai pendapatan adalah identik dengan menjual jasa atau barang yang tercakup dalam jasa-jasa[1]. Tenaga kerja menjual tenaga dan keahlian sehingga dengan jasa yang telah dijualnya akan memiliki pendapatan. Demikian pula apabila perusahaan menjual barang sebagai hasil produksinya pada dasarnya konsumen membayar jasanya dalam mengubah bahan baku menjadi barang jadi yang siap dikonsumsi. Apabila seseorang mendapat sejumlah uang dari hasil penjualan sebidang tanah, maka uang tersebut bukanlah pendapatan yang dicapai oleh orang tersebut, tetapi karena pada dasarnya hal itu hanyalah sebagai pertukaran bentuk dari asetnya yang semula berbentuk benda kepada bentuk uang.
            Pendapatan yang diperoleh rumah tangga digunakan untuk dua tujuan yaitu untuk dikonsumsi dan ditabung. Konsumsi menyangkut pembelian barang dan jasa yang diperlukan. Dalam perekonomian yang masih sederhana pendapatan akan dibelanjakan untuk membeli pakaian atau barang-barang lain sebatas kebutuhan pokok. Pada tingkat perekonomian yang lebih maju pengeluaran rumah tangga menyangkut kebutuhan-kebutuhan lain seperti pendidikan dan rekreasi.
            Hal pokok yang mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran individu untuk konsumsi adalah besar kecilnya pendapatan mereka. Konsumsi yang dilakukan oleh rumah tangga bergantung pada pendapatan yang secara aktual mereka miliki untuk dibelanjakan yaitu pendapatan disposabel mereka. Disposable income atau pendapatan perseorangan bersih adalah pendapatan perseorangan yang tersedia untuk konsumsi dan investasi atau untuk tabungan, sama dengan pendapatan perseorangan dikurangi pajak perseorangan[2]. Secara khusus terdapat hubungan antara konsumsi dan pendapatan disposabel yang dinotasikan dengan Yd.
            John Maynard Keynes, seorang ahli ekonomi Inggris menjelaskan bagaimana pengeluaran konsumsi sekarang tergantung pada pendapatan sekarang. Dalam konteks teori Keynes keputusan untuk mengalokasikan pendapatan disposabel sekarang sepenuhnya bergantung pada rumah tangga, yang dihitung dalam kurun waktu jangka pendek, misalnya, upah mingguan atau gaji bulanan. Pada umumnya setiap fluktuasi pendapatan tidak akan sama persis dengan fluktuasi pengeluaran[3]. Rumah tangga mungkin menyimpan uang yang tidak dikonsumsi atau memiliki kesempatan meminjam ketika pengeluaran lebih besar dari pendapatan.
            Berdasarkan sebuah kondisi umum bahwa fluktuasi pengeluaran tidak selalu sama dengan fluktuasi pendapatan maka Franco Modigliani menjelaskan  teori daur hidup (Life Cycle Theory) dan Milton Friedman yang teorinya disebut dengan teori pendapatan permanen (Permanent Income Theory). Kedua teori ini menjelaskan beberapa perilaku yang tidak dapat dijelaskan oleh fungsi konsumsi Keynesian. Teori daur hidup dan pendapatan permanen menyimpulkan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga akan berfluktuasi hingga tingkat tertentu terhadap pendapatan disposabel sekarang dan hingga tingkat tertentu terhadap harapan pendapatan disposabel di masa datang[4].
            Dua hal yang dapat dipahami dari kesimpulan kedua teori tersebut adalah bahwa:
1)      Pengeluaran konsumsi terutama dipengaruhi oleh pendapatan disposabel sekarang.
2)      Pengeluaran konsumsi juga dipengaruhi oleh harapan pendapatannya di masa datang.
Dengan demikian teori daur hidup dan teori pendapatan permanen tidak hanya menggunakan konsep pendapatan sekarang tetapi juga menggunakan konsep pendapatan dalam kurun waktu jangka panjang.
            Teori daur hidup atau disebut juga Life Cycle Theory (LCT) menjelaskan hipotesis bahwa konsumsi yang sekarang akan bergantung kepada harapan pendapatannya di masa yang akan datang. Seseorang akan mengalami fluktuasi pendapatan dan akan memperkirakan kapan pendapatannya bertambah atau berkurang. Sebuah siklus kehidupan dapat dicontohkan sebagai berikut; Pada masa lajangnya, seorang konsumen memiliki sejumlah pendapatan. Sebagian pendapatan tersebut ditabung untuk persiapan ketika ia sudah menikah. Pada fase berikutnya ketika ia menikah dan mempunyai anak, pengeluaran akan lebih banyak. Boleh jadi ia mengambil tabungannya atau memakai fasilitas pinjaman jangka panjang dengan harapan beberapa tahun ke depan gajinya akan naik beberapa persen. Demikian juga dengan persiapan masa pensiunnya, ia harus menyediakan cukup uang untuk menghadapi kondisi ketika pendapatan jauh lebih kecil dari pengeluaran.
            Dalam seluruh siklus kehidupan, seorang konsumen berusaha mengatur arus penerimaan uangnya dan membuat pola pengeluaran yang lebih teratur. Sejauh ia melakukan dengan penuh kesadaran, konsumen tersebut akan mengatur pendapatan dan pengeluaran dalam suatu pola yang menopang arus pengeluaran konsumsi yang ia inginkan.
            Teori pendapatan permanen atau disebut juga Permanent Income Theory (PIT) menjelaskan arus aktual konsumsi atas jasa-jasa yang ada pada komoditas yang dibeli rumah tangga. Konsep ini disebut konsumsi aktual. Konsep konsumsi aktual pada pendapatan permanen dihubungkan dengan konsumsi barang tahan lama. Pengeluaran untuk konsumsi barang tahan lama sebenarnya berkaitan dengan barang modal. Barang tidak tahan lama seperti membeli sayuran, pengeluaran konsumsinya dan tindakan mengkonsumsinya terjadi dalam waktu hampir bersamaan hingga barang konsumsi tersebut habis. Hal ini berbeda dengan barang tahan lama seperti mobil yang pengeluaran dan tindakan konsumsinya dilakukan dalam waktu yang tidak bersamaan. Satu hal penting dari ciri bahan tahan lama adalah pengeluaran untuk membeli barang tidak perlu disinkronkan dengan konsumsi selama periode pelayanan yang diberikan barang tersebut. Hal ini menjelaskan perbedaan alur waktu antara konsep pengeluaran konsumsi sebagai subjek dari teori Keynesian dan konsep konsumsi aktual sebagai subjek dari teori pendapatan permanen.
            Apabila sebuah mobil sebagai barang tahan lama dibeli dengan harga Rp 150 juta pada tahun 2001, maka tidak perlu diperhitungkan bahwa konsumen telah melakukan tindakan konsumsi seharga tersebut. Apabila diperkirakan mobil tersebut akan habis dipakai selama 15 tahun, maka orang tersebut mengkonsumsi mobil tiap tahunnya sebanyak Rp 10 juta, dan menganggap sisa harga yang terdapat dalam mobil tersebut sebagai tabungan atau investasi dan aset modal. Dengan demikian, konsumsi aktual tiap tahunnya adalah Rp 10 juta.
            Perubahan penekanan dari pengeluaran konsumsi kepada konsumsi aktual mengubah pengertian dari simpanan (tabungan). Simpanan (tabungan) tidak lagi merupakan pendapatan dikurangi pengeluaran konsumsi tetapi merupakan pendapatan dikurangi nilai konsumsi aktual. Pembelian barang tak tahan lama berarti juga harus memperhitungkan simpanan (tabungan) dan hanya nilai jasa yang secara aktual dikonsumsi yang diperhitungkan sebagai konsumsi. Jadi ketika mobil yang dibeli dengan harga Rp 150 juta diperhitungkan pada tahun pertama pemakainya, maka secara aktual ia mengkonsumsi Rp 10 juta dan menyimpan Rp140 juta.
            Andaikata individu-individu dalam sebuah perekonomian menerima pendapatan maka pendapatan tersebut dapat dikeluarkan untuk konsumsi atau tidak dikonsumsi yang berarti disimpan (ditabung) atau diinvestasi. Simpanan adalah semua pendapatan disposabel yang tidak dibelanjakan untuk konsumsi (S=Yd-C)[5]. Investasi adalah pengeluaran untuk barang-barang yang tidak dikonsumsi sekarang tetapi menambah jumlah barang-barang atau alat-alat produksi[6].
            Dalam teori daur hidup terdapat asumsi bahwa seseorang hanya akan menabung apabila pendapatannya relatif melebihi kebutuhan konsumsi dan tabungan tersebut dimaksudkan untuk menunjang kehidupan masa depan. Akan tetapi tidak seorang pun mengetahui kapan ia dan tanggungannya akan meninggal sehingga tidak dapat memperkirakan jumlah uang yang harus ditabung untuk masa ketika ia tidak memiliki pendapatan sampai ia meninggal. Oleh karena itu pada umumnya setiap orang memiliki tabungan bersih. Apalagi jika terdapat rencana menyisihkan uang untuk ahli waris, maka tabungan bersih akan diusahakan tetap ada. Pada teori pendapatan permanen tabungan yang dilakukan dari waktu ke waktu tidak hanya dalam bentuk stok dan uang kontan atau aset keuangan lainnya tetapi juga meliputi akumulasi barang-barang konsumsi tahan lama.
            Dalam Islam acuan tentang alokasi pendapatan kepada konsumsi dan tabungan terdapat pada Al Qur'an, Surat Ar Rahman (55): 152, yang artinya:
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca keadilan, supaya kamu tidak melampui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu melampaui batas (Q.S. Ar Rahman (55): 152).

Yang dimaksud dengan peneracaan adalah sesuatu yang berkaitan dengan keadilan. Jika dikaitkan dengan pengeluaran konsumsi maka maksud dan tujuan dari peneracaan adalah adalah adanya keharusan untuk menjaga keseimbangan antara pendapatan dan konsumsi dalam periode tertentu[7]. Perhitungan antara pendapatan, konsumsi dan simpanan sebaiknya ditetapkan atas dasar keadilan sehingga tidak melampaui batas dengan terjebak pada sifat boros (tabzir) maupun kikir (bakhil). Salah satu pengertian dari pemborosan (tabzir) adalah menggunakan harta – dalam urusan syahwat—yang dibutuhkan tetapi di luar batas yang dibutuhkan dan merambat kepada harta lain (tabungan dan modal) untuk mencapai yang diingikannya[8]. Jadi membelanjakan harta (dalam urusan keduniawian) untuk barang yang dihalalkan melebihi jumlah yang dibutuhkan adalah pemborosan. Sedangkan kikir (bakhil) adalah orang-orang yang menumpuk hartanya sehingga membekukakn sumber-sumber penghasilan masyarakat dari pemanfaatn yang sepatutnya.
Teori Keynesan yang memuat asumsi bahwa konsumsi ditentukan oleh pendapatan disposabel kiranya memiliki relevansi dengan kaidah konsumsi dalam Islam tentang neraca keadilan. Kaidah pengeluaran konsumsi yang adil menurut Islam adalah tidak boros karena peborosan  menyebabkan uang modal dan tabungan dialokasikan untuk konsumsi, juga tidak kikir (bakhil) dimana pendapatan lebih besar dialokasikan kepada simpanan (tabungan) sehingga menjadi tidak produktif.
Ajaran Islam menganjurkan agar manusia membelanjakan harta sesuai kemampuan. Konsumsi tidak seharusnya lebih besar dari pendapatan sehingga terjadi pemborosan dan sebaliknya tidak seharusnya menekan konsumsi terlalu rendah sehingga mengarah kepada kebakhilan. Kaidah terbaik dalam pengeluaran konsumsi adalah prinsip pertengahan dan kesederhanaan dalam berbelanja seperti dinyatakan dalam Qur’an Surat Al Furqaan (25): 67
            Dan orang-orang yang jika membelanjakan harta mereka tak terlalu boros dan tak terlalu kikir, dan mereka mengambil jalan tengah diantara itu’ (Q.S. Al Furqaa (25): 67). 

            Dalam teori Keynesan pendapatan disposabel dinotasikan dengan Yd. Dengan menentukan berapa pengeluaran konsumsi sekarang dengan pendapatan disposabel maka dengan sendirinya dapat diketahui jumlah simpanan. Jika pengeluaran konsumsi boros yaitu ketika pengeluaran konsumsi lebih besar dari pendapatan sekarang maka tabungan akan berkurang untuk pengeluaran konsumsi. Tetapi jika pengeluaran konsumsi lebih kecil dari pendapatan sekarang maka terdapat pertambahan pada simpanan yang memungkinkan untuk bertambahnya investasi. Jadi tabungan adalah semua pendapatan disposabel yang tidak dibelanjakan untuk konsumsi (S= Yd--C) Pola konsumsi seperti inilah merupakan pembelanjaan harta yang pertengahan dan sederhana.
            Al Qur’an juga mengajarkan bahwa konsumsi harus disesuaikan dengan perkiraan pendapatannya di masa depan, seperti tercantum dalam Al Qur’an, surat Yusuf (12): 47-49 yang artinya:
Yusuf berkata, supaya bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kemu biarjan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang cukup sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras anggur. (Q.S. Yusuf (12): 147-149).

Dalam tafsir Ibunu Katsir menjelaskan bahwa dapat dikatakan bahwa Yusuf mampu memperkirakan kebutuhan akan gandum selama tujuh tahun[9]. Yusuf telah menimbang pendapatan yang diperoleh selama tujuh tahun untuk menghadapi pengeluaran yang akan terjadi selama tujuh tahun pula. Seperti itulah konsep dasar peneracaan dalam perekonomian Islam.
            Anjuran untuk menyimpan sebagian pendapatan seperti yang tercantum dala Al Qur’an Surat Yusuf ayat 147-149 ini relevan dengan teori daur hidup atau disebut juga Life Cycle Theory (LCT) yang menjelaskan hipotesis bahwa konsumsi yang sekarang akan bergantung kepada harapan pendapatannya di masa yang akan datang. Seseorang akan mengalami fluktuasi pendapatan dan akan memperkirakan kapan pendapatannya bertambah atau berkurang. Selain itu menyimpan barang konsumsi tahan lama seperti yang dijelaskan dala Al Qur’an surat Yusuf tersebut juga memiliki relevansi dengan Teori Pendapatan Permanen atau Permanent Income Theory (PIT) karena pengeluaran konsumsi  aktual berkaitan dengan konsumsi barang tahan lama.
            Teori konsumsi sangat berkaitan dengan fungsi utility dan fungsi konsumsi. Utility adalah adalah kemampuan suatu benda material  atau jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia[10]. Konsumsi adalah digunakannya jasa-jasa dan benda-benda material untuk memenuhi keinginan manusia. Dengan demikian tindakan mengkonsumsi berarti pengurangan guna (utility). 
            Al Gazali seorang ulama yang hidup sekitar 450-1058 H mengungkapkan teori konsumsi Islami. Pemikiran tentang fungsi konsumsi Al Gazali diawali dari sebuah pemikiran bahwa kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar yaitu agama (al-dien), jiwa (nafs), harta (maal) dan akal (aql). Dalam aspek ekonomi fungsi kesejahteraan sosial disusun secara hirarkis meliputi kebutuhan (daruriat), kesenangan dan kenyamanan (hajaat) dan kemewahan (tahsinaat). Kunci pemeliharaan lima tujuan dasar terletak pada penyediaan tingkat pertama (kebutuhan atau daruriat) yaitu kebutuhan makanan, pakaian dan perumahan. Kebutuhan dasar ini cenderung flekisbel mengikuti waktu, tempat dan sosiopsikologis. Kelompok kebutuhan kedua (kesenangan atau hajaat) terdiri dari semua kegiatan dan hal-hal yang tidak vital bagi lima fondasi tersebut, tetapi tetap diperlukan untk menghilangkan rintangan dan kesukaran dalam hidup. Kelompok ketiga mancakup kegiatan-kegiatan dan hal-hal yang lebih jauh dari sekedar kenyamanan saja; meliputi hal-hal yang melengkapi atau menghiasi hidup.
            Teori konsumsi yang dijelaskan oleh Al Gazali memberi acuan yang lebih konkrit tentang perilaku konsumsi. Pertama bahwa manusia harus memenuhi kebutuhan dasar demi pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Tetapi bukan berarti Al Gazali mengecam terhadap pemenuhan akan kenyamanan dan kemewahan karena: 
apabila manusia dan masyarakat berhenti pada pemenuhan kebutuhan yang subsisten (sadd al ramaaq) dan menjadi sangat lemah dan kemudian angka kematian meningkat, maka semua pekerjaan dan kerajinan akan berhenti dan masyarakat akan binasa. Selanjutnya agama akan hancur, karena kehidupan dunia adalah persiapan bagi kehidupan akhirat[11].

Karena itu kehidupan subsisten dimana pemenuhan keperluan manusia hanya dibatasi sampai pada tingkan kebutuhan primer (daruriat) bukanlah sebuah aturan keharusan, karena jika hal ini terjadi maka usaha produktif manusia akan merugi dan menambah kerugian spiritual manusia. Dengan demikan Al Gazali tidak hanya menyadari kecenderungan manusia dalam mengumpulkan kekayaan, tetapi juga kebutuhannya untuk persiapan masa depan yang mencakup kesejahteranaan dalam hal agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. 

C.    PENUTUP

Disposable income atau pendapatan perseorangan bersih adalah pendapatan perseorangan yang tersedia untuk konsumsi dan investasi atau untuk tabungan, sama dengan pendapatan perseorangan dikurangi pajak perseorangan. Terdapat hubungan antara konsumsi dan pendapatan disposabel . Teori Keynes tentang konsumsi menjelaskan bagaimana pengeluaran konsumsi sekarang tergantung pada pendapatan sekarang. Dalam hal ini keputusan untuk mengalokasikan pendapatan disposabel sekarang sepenuhnya bergantung pada rumah tangga, yang dihitung dalam kurun waktu jangka pendek, misalnya, upah mingguan atau gaji bulanan. Dalam Islam acuan tentang alokasi pendapatan kepada konsumsi dan tabungan terdapat pada Al Qur'an, Surat Ar Rahman (55): 152, yang artinya:
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca keadilan, supaya kamu tidak melampui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu melampaui batas (Q.S. Ar Rahman (55): 152).

Walaupun ayat ini tidak langsung menyinggung masalah pembelanjaan tetapi tema pokok tentang peneracaan dapat dihubungkan dengan alokasi yang adil terhadap pendapatan kepada konsumsi dan tabungan.        Selanjutnya tentang pengeluaran konsumsi dijelaskan dalam Al Qur’an S. Al Furqaan (25): 67
Dan orang-orang yang jika membelanjakan harta mereka tak terlalu boros dan tak terlalu kikir, dan mereka mengambil jalan tengah diantara itu’ (Q.S. Al Furqaan (25): 67). 

Acuan tentang peneracaan dan pengeluaran konsumsi dalam Islam ini kiranya memiliki relevansi dengan teori konsumsi Keynes yang berasumsi bahwa pengeluaran konsumsi dan tabungan sangat tergantung kepada pendapatan disposable sekarang atau pendapatan bersih sekarang.
Teori daur hidup atau disebut juga Life Cycle Theory (LCT) menjelaskan hipotesis bahwa konsumsi yang sekarang akan bergantung kepada harapan pendapatannya di masa yang akan datang. Seseorang akan mengalami fluktuasi pendapatan dan akan memperkirakan kapan pendapatannya bertambah atau berkurang. Al Qur’an surat Yusuf ayat 147- 149 yang menganjurkan menabung gandum untuk persediaan selam 7 tahun ke depan memuat tema pokok yang relevan dengan teori LCT. Menyimpan barang konsumsi tahan lama seperti yang dijelaskan dala Al Qur’an surat Yusuf tersebut juga memiliki relevansi dengan Teori Pendapatan Permanen atau Permanent Income Theory (PIT) karena pengeluaran konsumsi  aktual berkaitan dengan konsumsi barang tahan lama.
Al Gazali mengungkapkan pemikiran tentang teori konsumsi dalam ekonomi Islam dengan berpendapat bahwa bahwa manusia harus memenuhi kebutuhan dasar demi pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Sedangkan fungsi kesejahteraan sosial disusun secara hirarkis meliputi kebutuhan (daruriat), kesenangan dan kenyamanan (hajaat) dan kemewahan (tahsinaat). Kunci pemeliharaan lima tujuan dasar terletak pada penyediaan tingkat pertama (kebutuhan atau daruriat) yaitu kebutuhan makanan, pakaian dan perumahan. Sehingga pilihan dalam pengeluaaran konsumsi yang paling utama adalah pemenuhan kebutuhan (daururiat). Jika kesejahteraan mencapai tingkat yang lebih tinggi maka pengeluaran konsumsi dapat mencapai pada pemenuhan keinginan seperti kesenangan (hajaat) dan kemewahan (tahsinaat).
Secara keseluruhan terdapat perbedaan paradigma antara ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam. Walaupun lahir dari filsafat moral, ekonomi konvensional yang lahir di peradaban masyarakat Barat telah menyatakan diri bebas nilai dan hanya mempelajari hal-hal yang bersifat positif dan tidak normatif, sehingga membatasi diri mempelajari tentang fakta apa adanya bukan yang seharusnya. Sedangkan ekonomi Islam sejak awal bertumpu pada hal-hal yang bersifat normatif seperti yang tercantum dalam Al Qur’an. Tetapi dalam proses ijtihad maka hal-hal normatif dalam Al Qur’an kemudian memiliki kaitannya dengan aspek positif keilmuan. Paradigma ini tentu saja berpengaruh pada asumsi-asumsi teori konsumsi dalam ekonomi Islam.

No comments:

Post a Comment