Tulisan ini memuat tentang beberapa teori konsumsi dalam
ekonomi konvensional diantaranya adalah teori konsumsi yang dikemukakan oleh
Keynes yang mengungkapkan bahwa pengeluaran konsumsi yang sekarang tergantung
kepada pendapatan bersih (disposable
income) yang sekarang, yang dihitung
dalam kurun waktu jangka pendek.Teori konsumsi yang lain adalah teori konsumsi daur hidup (Life Cycle Theory) dan teori
pendapatan permanen (Permanent Income Theory).Dua hal yang dapat dipahami dari
kesimpulan kedua teori tersebut adalah bahwa pengeluaran konsumsi terutama
dipengaruhi oleh pendapatan disposabel sekarang dan juga dipengaruhi oleh
harapan pendapatannya di masa datang.Teori pendapat permanen membahas pula
tentang pengeluaran konsumsi pada barang tahan lama seperti kendaraan dan
barang tahan lama lainnya.Abstrak
Ide tentang perlunya penghitungan yang terpola dalam alokasi pendapatan
terhadap pengeluaran konsumsi tercantum pada Al Qur’an Surat Ar Rahman (55):152
yang menekankan tentang pentingnya neraca keadilan, menegakkan timbangan dan
melarang untuk melampaui batas. Acuan tentang pengeluaran konsumsi tercantum
dalam Al Qur’an Surat Al Furqaan (25): 67 yang menganjurkan agar pengeluaran
konsumsi dilakukan secara pertengahan (tidak terlalu boros atau kikir).
Cuplikan 2 ayat Al Qur’an tersebut memiliki relevansi dengan teori konsumsi
keynes tentang pendapatan disposabel sekarang yaitu tema pokok tentang pengeluaran
konsumsi.Sedangkan Al Qur’an surat Yusuf (12): 47-49 yang menganjurkan agar
menyimpan gandum untuk konsumsi selama 7 tahun memiliki relevansi dengan teori
daur hidup dan teori pendapatan permanen yaitu persamaan tema pokok bahwa
pengeluaran konsumsi juga dipengaruhi oleh perkiraan pendapatannya di masa
depan.
Selanjutnya
tulisan ini membahas tentang teori konsumsi yang dikemukakan Al Gazali yang
memuat ide pokok tentang fungsi konsumsi terhadap kesejahteraan masyarakat. Ia
menyatakan bahwa kesejahteraan
(maslahah) dari suatu masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan
lima tujuan dasar yaitu agama (al-dien), jiwa (nafs), harta (maal) dan akal
(aql). Dalam aspek ekonomi, fungsi kesejahteraan sosial disusun secara hirarkis
meliputi kebutuhan (daruriat), kesenangan dan kenyamanan (hajaat) dan kemewahan
(tahsinaat). Kunci pemeliharaan lima tujuan dasar terletak pada penyediaan
tingkat pertama (kebutuhan atau daruriat) yaitu kebutuhan makanan, pakaian dan
perumahan.
Dari
teori konsumsi yang dikemukakan oleh Al Gazali nampak terdapat perbedaan
paradigma antara ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam. Ekonomi
konvensional membatasi diri untuk mempelajari tentang fakta apa adanya bukan
yang seharusnya. Sedangkan ekonomi Islam sejak awal bertumpu pada hal-hal yang
bersifat normatif seperti yang tercantum dalam Al Qur’an. Tetapi dalam proses
ijtihad maka hal-hal normatif dalam Al Qur’an kemudian memiliki kaitannya
dengan aspek positif keilmuan. Paradigma ini tentu saja berpengaruh pada
asumsi-asumsi teori konsumsi dalam ekonomi Islam.
Kata
kunci:Teori Konsumsi,
Ekonomi Konvensional, Ekonomi Islam.
A.
PENDAHULUAN
Istilah Ekonomi berasal
darisebuah kata oikonomea yang
berarti pengelolaan (manajemen) sebuah rumah tangga atau negara. Pengelolaan
mencakup ide-ide tentang efesiensi, hemat dan pencegahan penghamburan melalui
perencanaan dan pemanfaatan sumber-sumber daya secara berhati-hati. Dengan
asumsi bahwa sumber-sumber daya sangat
terbatas sedangkan kebutuhan manusia lebih besar dan tidak terbatas maka pada
diperlukan perencanaan dan tindakan yang efektif melalui sebuah perencanaan
sehingga sumber-sumber daya dapat dikelola efektif untuk pemenuhan kebutuhan
manusia. Pengelolaam sumber daya inilah yang dipelajari oleh ekonomi.
Penelolaan dan penggunaan sumber daya ini mencakup aspek-aspek produksi,
distribusi, dan konsumsi.
Produksi mencakup alat-alat dan proses. Alat-alat produksi adalah
benda-benda yang memenuhi kebutuhan manusia secara tidak langsung, yang tidak
dibutuhkan untuk konsumsi akan tetapi guna menciptakan benda-benda atau
jasa-jasa yang dihasilkan, guna memenuhi kebutuhan manusia secara langsung. Di
dalamnya termasuk bahan-bahan mentah, mesin-mesin dan pabrik-pabrik. Sedangkan
proses produksi adalah rangkaian tahap-tahap untuk penciptaan benda-benda atau
jasa-jasa yang secara langsung atau tidak langsung memenuhi kebutuhan manusia.
Adapun distribusi merupakan sinonim dari pemasaran. Konsumsi adalah penggunaan
akhir barang-barang serta jasa-jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia atau
digunakannya jasa-jasa dan benda-benda material untuk memenuhi kebutuhan
manusia.
Konsumsi menyangkut pemenuhan kebutuhan dan keinginan individu-individu,
akan tetapi hal pokok yang mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran oleh
individu-individu untuk konsumsi adalah besar kecilnya pendapatan mereka.
Hubungan antara pendapatan individu dan konsumsi yang dilakukannya dinamakan
kecenderungan untuk mengkonsumsi (propensity to consume). Apabila telah
diketahui pendapatannya maka akan diketahui pula kecendrungan untuk
mengkonsumsi dan kemudian dapat dihitung besar konsumsinya. Beberapa teori
konsumsi pada dasar membahas hal inti yang sama yaitu alokasi pendapatan kepada
konsumsi, kepada tabungan serta kepada investasi. Teori-teori konsumsi itu
diantaranya teori konsumsi Keynes yang mengasumsikan bahwa pengeluaran konsumsi
yang sekarang tergantung kepada
pendapatannya yang sekarang. Teori daur hidup atau Life Cycle Theory
(LCT) berpendapat bahwa konsumsi yang sekarang akan tergantung pada
harapan atau perkiraan pendapatannya di masa datang. Dalam teori pendapatan
permanen atau Permanent Income Theory (PIT) dijelaskan tentang arus aktual
konsumsi atas jasa-jasa dan berang-barang komoditas tahan lama.
Dalam ekonomi Islam, teori konsumsi dikemukakan oleh Al Gazali yang
membahas tentang fungsi konsumsi. Menurut Al Gazali tindakan konsumsi
senantiasa didasarkan pada pencapaian sebuah kesejahteraan (maslahah)
dari suatu masyarakat dengan indikator pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar
yaitu agama (al-dien), jiwa (nafs), harta (maal) dan akal (aql).
Dalam aspek ekonomi fungsi kesejahteraan sosial disusun secara hirarkis
meliputi kebutuhan (daruriat), kesenangan dan kenyamanan (hajaat)
dan kemewahan (tahsinaat). Kunci pemeliharaan lima tujuan dasar terletak
pada penyediaan tingkat pertama (kebutuhan atau daruriat) yaitu kebutuhan
makanan, pakaian dan perumahan. Dengan demikian pemenuhan konsumsi senantiasa
didasarkan pada prioritas dengan lebih dahulu memilih pemenuhan pada kebutuhan
(daruriat). Ditegaskan oleh Al Gazali bahwa mengutamakan aspek-aspek
primer dalam daruriat tidak berarti mangesampingkan sama sekali
pemenuhan konsumsi untuk kenyamanan (hajaat) dan kemewahan (tahsinaat).
B.
TEORI
KONSUMSI DALAM EKONOMI KONVENSIONAL DAN EKONOMI ISLAM
Manusia banyak melakukan kegiatan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan oleh
manusia adalah kegiatan ekonomi. Hampir semua manusia dewasa melakukan kegiatan
ekonomi, terutama karena manusia perlu untuk memenuhi kebutuhan fisiknya, yang
dalam konteks lebih luas adalah untuk memenuhi kebutuhan akan kondisi
sejahtera. Pelaku-pelaku kegiatan ekonomi dibedakan menjadi tiga golongan,
yaitu rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah.
Rumah tangga adalah
pemilik dari berbagai faktor produksi yang tersedia dalam perekonomian. Sektor
ini menyediakan tenaga kerja. Selain itu, sektor ini memiliki faktor-faktor
produksi lain seperti modal, kekayaan alam, dan harta (tanah dan bangunan).
Berbagai faktor produksi yang dimiliki keluarga mungkin akan ditawarkan kepada
perusahaan dan perusahaan akan memberikan balas jasa berupa pendapatan untuk
sektor rumah tangga. Tenaga kerja akan menerima upah, pemilik modal akan
menerima bagian dari keuntungan atau bunga, dan pemilik tanah atau harta tetap
lainnya akan menerima sewa.
Mencapai pendapatan
adalah identik dengan menjual jasa atau barang yang tercakup dalam jasa-jasa[1].
Tenaga kerja menjual tenaga dan keahlian sehingga dengan jasa yang telah
dijualnya akan memiliki pendapatan. Demikian pula apabila perusahaan menjual
barang sebagai hasil produksinya pada dasarnya konsumen membayar jasanya dalam
mengubah bahan baku menjadi barang jadi yang siap dikonsumsi. Apabila seseorang mendapat sejumlah uang dari hasil penjualan sebidang
tanah, maka uang tersebut bukanlah pendapatan yang dicapai oleh orang tersebut,
tetapi karena pada dasarnya hal itu hanyalah sebagai pertukaran bentuk dari
asetnya yang semula berbentuk benda kepada bentuk uang.
Pendapatan yang diperoleh rumah tangga digunakan untuk dua tujuan
yaitu untuk dikonsumsi dan ditabung. Konsumsi menyangkut pembelian barang dan
jasa yang diperlukan. Dalam perekonomian yang masih sederhana pendapatan akan
dibelanjakan untuk membeli pakaian atau barang-barang lain sebatas kebutuhan
pokok. Pada tingkat perekonomian yang lebih maju pengeluaran rumah tangga
menyangkut kebutuhan-kebutuhan lain seperti pendidikan dan rekreasi.
Hal pokok yang
mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran individu untuk konsumsi adalah besar
kecilnya pendapatan mereka. Konsumsi yang dilakukan oleh rumah tangga
bergantung pada pendapatan yang secara aktual mereka miliki untuk dibelanjakan
yaitu pendapatan disposabel mereka. Disposable income atau pendapatan
perseorangan bersih adalah pendapatan perseorangan yang tersedia untuk konsumsi
dan investasi atau untuk tabungan, sama dengan pendapatan perseorangan
dikurangi pajak perseorangan[2]. Secara khusus terdapat
hubungan antara konsumsi dan pendapatan disposabel yang dinotasikan dengan Yd.
John Maynard
Keynes, seorang ahli ekonomi Inggris menjelaskan bagaimana pengeluaran konsumsi
sekarang tergantung pada pendapatan sekarang. Dalam konteks teori Keynes
keputusan untuk mengalokasikan pendapatan disposabel sekarang sepenuhnya
bergantung pada rumah tangga, yang dihitung dalam kurun waktu jangka pendek,
misalnya, upah mingguan atau gaji bulanan. Pada umumnya setiap fluktuasi
pendapatan tidak akan sama persis dengan fluktuasi pengeluaran[3].
Rumah tangga mungkin menyimpan uang yang tidak dikonsumsi atau memiliki
kesempatan meminjam ketika pengeluaran lebih besar dari pendapatan.
Berdasarkan sebuah
kondisi umum bahwa fluktuasi pengeluaran tidak selalu sama dengan fluktuasi
pendapatan maka Franco Modigliani menjelaskan
teori daur hidup (Life Cycle Theory) dan Milton Friedman yang
teorinya disebut dengan teori pendapatan permanen (Permanent Income Theory).
Kedua teori ini menjelaskan beberapa perilaku yang tidak dapat dijelaskan oleh
fungsi konsumsi Keynesian. Teori daur hidup dan pendapatan permanen
menyimpulkan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga akan berfluktuasi hingga
tingkat tertentu terhadap pendapatan disposabel sekarang dan hingga tingkat
tertentu terhadap harapan pendapatan disposabel di masa datang[4].
Dua hal yang dapat
dipahami dari kesimpulan kedua teori tersebut adalah bahwa:
1)
Pengeluaran konsumsi terutama
dipengaruhi oleh pendapatan disposabel sekarang.
2)
Pengeluaran konsumsi juga
dipengaruhi oleh harapan pendapatannya di masa datang.
Dengan demikian teori daur hidup dan teori pendapatan permanen tidak
hanya menggunakan konsep pendapatan sekarang tetapi juga menggunakan konsep
pendapatan dalam kurun waktu jangka panjang.
Teori daur hidup
atau disebut juga Life Cycle Theory (LCT) menjelaskan hipotesis
bahwa konsumsi yang sekarang akan bergantung kepada harapan pendapatannya di
masa yang akan datang. Seseorang akan mengalami fluktuasi pendapatan dan akan
memperkirakan kapan pendapatannya bertambah atau berkurang. Sebuah siklus
kehidupan dapat dicontohkan sebagai berikut; Pada masa lajangnya, seorang konsumen memiliki sejumlah pendapatan. Sebagian pendapatan tersebut
ditabung untuk persiapan ketika ia sudah menikah. Pada
fase berikutnya ketika ia menikah dan mempunyai anak, pengeluaran akan lebih
banyak. Boleh jadi ia mengambil tabungannya atau memakai fasilitas pinjaman
jangka panjang dengan harapan beberapa tahun ke depan gajinya akan naik
beberapa persen. Demikian juga dengan
persiapan masa pensiunnya, ia harus menyediakan cukup
uang untuk menghadapi kondisi ketika pendapatan jauh lebih kecil dari
pengeluaran.
Dalam seluruh
siklus kehidupan, seorang konsumen berusaha mengatur arus penerimaan uangnya dan membuat pola
pengeluaran yang lebih teratur. Sejauh ia melakukan dengan penuh kesadaran,
konsumen tersebut akan mengatur pendapatan dan pengeluaran dalam suatu pola
yang menopang arus pengeluaran konsumsi yang ia inginkan.
Teori pendapatan
permanen atau disebut juga Permanent Income Theory (PIT)
menjelaskan arus aktual konsumsi atas jasa-jasa yang ada pada komoditas yang
dibeli rumah tangga. Konsep ini disebut konsumsi aktual. Konsep konsumsi aktual
pada pendapatan permanen dihubungkan dengan konsumsi barang tahan lama.
Pengeluaran untuk konsumsi barang tahan lama sebenarnya berkaitan dengan barang
modal. Barang tidak tahan lama seperti membeli sayuran, pengeluaran konsumsinya
dan tindakan mengkonsumsinya terjadi dalam waktu hampir bersamaan hingga barang
konsumsi tersebut habis. Hal ini berbeda dengan barang tahan lama seperti mobil
yang pengeluaran dan tindakan konsumsinya dilakukan dalam waktu yang tidak
bersamaan. Satu hal penting dari ciri bahan tahan lama adalah pengeluaran untuk
membeli barang tidak perlu disinkronkan dengan konsumsi selama periode
pelayanan yang diberikan barang tersebut. Hal ini menjelaskan perbedaan alur
waktu antara konsep pengeluaran konsumsi sebagai subjek dari teori Keynesian
dan konsep konsumsi aktual sebagai subjek dari teori pendapatan permanen.
Apabila sebuah
mobil sebagai barang tahan lama dibeli dengan harga Rp 150 juta pada tahun
2001, maka tidak perlu diperhitungkan bahwa konsumen telah melakukan tindakan
konsumsi seharga tersebut. Apabila diperkirakan mobil tersebut akan habis
dipakai selama 15 tahun, maka orang tersebut mengkonsumsi mobil tiap tahunnya
sebanyak Rp 10 juta, dan menganggap sisa harga yang terdapat dalam mobil
tersebut sebagai tabungan atau investasi dan aset modal. Dengan demikian,
konsumsi aktual tiap tahunnya adalah Rp 10 juta.
Perubahan penekanan
dari pengeluaran konsumsi kepada konsumsi aktual mengubah pengertian dari
simpanan (tabungan). Simpanan (tabungan) tidak lagi merupakan pendapatan
dikurangi pengeluaran konsumsi tetapi merupakan pendapatan dikurangi nilai
konsumsi aktual. Pembelian barang tak tahan lama berarti juga harus
memperhitungkan simpanan (tabungan) dan hanya nilai jasa yang secara aktual
dikonsumsi yang diperhitungkan sebagai konsumsi. Jadi ketika mobil yang dibeli
dengan harga Rp 150 juta diperhitungkan pada tahun pertama pemakainya, maka
secara aktual ia mengkonsumsi Rp 10 juta dan menyimpan Rp140 juta.
Andaikata
individu-individu dalam sebuah perekonomian menerima pendapatan maka pendapatan
tersebut dapat dikeluarkan untuk konsumsi atau tidak dikonsumsi yang berarti
disimpan (ditabung) atau diinvestasi. Simpanan adalah semua pendapatan
disposabel yang tidak dibelanjakan untuk konsumsi (S=Yd-C)[5].
Investasi adalah pengeluaran untuk barang-barang yang tidak dikonsumsi sekarang
tetapi menambah jumlah barang-barang atau alat-alat produksi[6].
Dalam teori daur
hidup terdapat asumsi bahwa seseorang hanya akan menabung apabila pendapatannya
relatif melebihi kebutuhan konsumsi dan tabungan tersebut dimaksudkan untuk
menunjang kehidupan masa depan. Akan tetapi tidak seorang pun mengetahui kapan
ia dan tanggungannya akan meninggal sehingga tidak dapat memperkirakan jumlah
uang yang harus ditabung untuk masa ketika ia tidak memiliki pendapatan sampai
ia meninggal. Oleh karena itu pada umumnya setiap orang memiliki tabungan
bersih. Apalagi jika terdapat rencana menyisihkan uang untuk ahli waris, maka
tabungan bersih akan diusahakan tetap ada. Pada
teori pendapatan permanen tabungan yang dilakukan dari waktu ke waktu tidak
hanya dalam bentuk stok dan uang kontan atau aset keuangan lainnya tetapi juga
meliputi akumulasi barang-barang konsumsi tahan lama.
Dalam
Islam acuan tentang alokasi pendapatan kepada konsumsi dan tabungan terdapat
pada Al Qur'an, Surat Ar Rahman (55): 152, yang artinya:
Dan Allah telah
meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca keadilan, supaya kamu tidak
melampui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil
dan janganlah kamu melampaui batas (Q.S. Ar Rahman (55): 152).
Yang dimaksud dengan peneracaan adalah sesuatu
yang berkaitan dengan keadilan. Jika dikaitkan dengan pengeluaran konsumsi maka
maksud dan tujuan dari peneracaan adalah adalah adanya keharusan untuk menjaga
keseimbangan antara pendapatan dan konsumsi dalam periode tertentu[7].
Perhitungan antara pendapatan, konsumsi dan simpanan sebaiknya ditetapkan atas
dasar keadilan sehingga tidak melampaui batas dengan terjebak pada sifat boros
(tabzir) maupun kikir (bakhil). Salah satu pengertian dari pemborosan (tabzir)
adalah menggunakan harta – dalam urusan syahwat—yang dibutuhkan tetapi di luar
batas yang dibutuhkan dan merambat kepada harta lain (tabungan dan modal) untuk
mencapai yang diingikannya[8].
Jadi membelanjakan harta (dalam urusan keduniawian) untuk barang yang dihalalkan
melebihi jumlah yang dibutuhkan adalah pemborosan. Sedangkan kikir (bakhil)
adalah orang-orang yang menumpuk hartanya sehingga membekukakn sumber-sumber
penghasilan masyarakat dari pemanfaatn yang sepatutnya.
Teori Keynesan yang memuat
asumsi bahwa konsumsi ditentukan oleh pendapatan disposabel kiranya memiliki
relevansi dengan kaidah konsumsi dalam Islam tentang neraca keadilan. Kaidah
pengeluaran konsumsi yang adil menurut Islam adalah tidak boros karena
peborosan menyebabkan uang modal dan tabungan
dialokasikan untuk konsumsi, juga tidak kikir (bakhil) dimana pendapatan lebih
besar dialokasikan kepada simpanan (tabungan) sehingga menjadi tidak produktif.
Ajaran Islam menganjurkan
agar manusia membelanjakan harta sesuai kemampuan. Konsumsi tidak seharusnya
lebih besar dari pendapatan sehingga terjadi pemborosan dan sebaliknya tidak
seharusnya menekan konsumsi terlalu rendah sehingga mengarah kepada kebakhilan.
Kaidah terbaik dalam pengeluaran konsumsi adalah prinsip pertengahan dan
kesederhanaan dalam berbelanja seperti dinyatakan dalam Qur’an Surat Al Furqaan
(25): 67
Dan orang-orang yang jika membelanjakan harta mereka tak
terlalu boros dan tak terlalu kikir, dan mereka mengambil jalan tengah diantara
itu’ (Q.S. Al Furqaa (25): 67).
Dalam
teori Keynesan pendapatan disposabel dinotasikan dengan Yd. Dengan menentukan
berapa pengeluaran konsumsi sekarang dengan pendapatan disposabel maka dengan
sendirinya dapat diketahui jumlah simpanan. Jika pengeluaran konsumsi boros
yaitu ketika pengeluaran konsumsi lebih besar dari pendapatan sekarang maka
tabungan akan berkurang untuk pengeluaran konsumsi. Tetapi jika pengeluaran
konsumsi lebih kecil dari pendapatan sekarang maka terdapat pertambahan pada
simpanan yang memungkinkan untuk bertambahnya investasi. Jadi tabungan adalah
semua pendapatan disposabel yang tidak dibelanjakan untuk konsumsi (S= Yd--C)
Pola konsumsi seperti inilah merupakan pembelanjaan harta yang pertengahan dan
sederhana.
Al
Qur’an juga mengajarkan bahwa konsumsi harus disesuaikan dengan perkiraan
pendapatannya di masa depan, seperti tercantum dalam Al Qur’an, surat Yusuf
(12): 47-49 yang artinya:
Yusuf berkata, supaya
bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai
hendaklah kemu biarjan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian
sesudah itu akan datang tujuh tahun yang cukup sulit, yang menghabiskan apa
yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit
gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya
manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras anggur.
(Q.S. Yusuf (12): 147-149).
Dalam tafsir Ibunu Katsir menjelaskan bahwa dapat
dikatakan bahwa Yusuf mampu memperkirakan kebutuhan akan gandum selama tujuh
tahun[9].
Yusuf telah menimbang pendapatan yang diperoleh selama tujuh tahun untuk
menghadapi pengeluaran yang akan terjadi selama tujuh tahun pula. Seperti
itulah konsep dasar peneracaan dalam perekonomian Islam.
Anjuran
untuk menyimpan sebagian pendapatan seperti yang tercantum dala Al Qur’an Surat
Yusuf ayat 147-149 ini relevan dengan teori daur hidup atau disebut juga Life
Cycle Theory (LCT) yang menjelaskan hipotesis bahwa konsumsi yang
sekarang akan bergantung kepada harapan pendapatannya di masa yang akan datang.
Seseorang akan mengalami fluktuasi pendapatan dan akan
memperkirakan kapan pendapatannya bertambah atau berkurang. Selain itu menyimpan barang konsumsi tahan lama
seperti yang dijelaskan dala Al Qur’an surat Yusuf tersebut juga memiliki
relevansi dengan Teori Pendapatan Permanen atau Permanent Income Theory
(PIT) karena pengeluaran konsumsi
aktual berkaitan dengan konsumsi barang tahan lama.
Teori
konsumsi sangat berkaitan dengan fungsi utility dan fungsi konsumsi. Utility
adalah adalah kemampuan suatu benda material
atau jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia[10].
Konsumsi adalah digunakannya jasa-jasa dan benda-benda material untuk memenuhi
keinginan manusia. Dengan demikian tindakan mengkonsumsi berarti pengurangan
guna (utility).
Al
Gazali seorang ulama yang hidup sekitar 450-1058 H mengungkapkan teori konsumsi
Islami. Pemikiran tentang fungsi konsumsi Al Gazali diawali dari sebuah
pemikiran bahwa kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat
tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar yaitu agama (al-dien),
jiwa (nafs), harta (maal) dan akal (aql). Dalam aspek
ekonomi fungsi kesejahteraan sosial disusun secara hirarkis meliputi kebutuhan
(daruriat), kesenangan dan kenyamanan (hajaat) dan kemewahan (tahsinaat).
Kunci pemeliharaan lima tujuan dasar terletak pada penyediaan tingkat pertama
(kebutuhan atau daruriat) yaitu kebutuhan makanan, pakaian dan
perumahan. Kebutuhan dasar ini cenderung flekisbel mengikuti waktu, tempat dan
sosiopsikologis. Kelompok kebutuhan kedua (kesenangan atau hajaat)
terdiri dari semua kegiatan dan hal-hal yang tidak vital bagi lima fondasi
tersebut, tetapi tetap diperlukan untk menghilangkan rintangan dan kesukaran
dalam hidup. Kelompok ketiga mancakup kegiatan-kegiatan dan hal-hal yang lebih
jauh dari sekedar kenyamanan saja; meliputi hal-hal yang melengkapi atau
menghiasi hidup.
Teori
konsumsi yang dijelaskan oleh Al Gazali memberi acuan yang lebih konkrit
tentang perilaku konsumsi. Pertama bahwa manusia harus memenuhi kebutuhan dasar
demi pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Tetapi bukan berarti
Al Gazali mengecam terhadap pemenuhan akan kenyamanan dan kemewahan karena:
apabila manusia dan
masyarakat berhenti pada pemenuhan kebutuhan yang subsisten (sadd al ramaaq)
dan menjadi sangat lemah dan kemudian angka kematian meningkat, maka semua
pekerjaan dan kerajinan akan berhenti dan masyarakat akan binasa. Selanjutnya
agama akan hancur, karena kehidupan dunia adalah persiapan bagi kehidupan
akhirat[11].
Karena itu kehidupan subsisten dimana pemenuhan
keperluan manusia hanya dibatasi sampai pada tingkan kebutuhan primer
(daruriat) bukanlah sebuah aturan keharusan, karena jika hal ini terjadi maka
usaha produktif manusia akan merugi dan menambah kerugian spiritual manusia.
Dengan demikan Al Gazali tidak hanya menyadari kecenderungan manusia dalam
mengumpulkan kekayaan, tetapi juga kebutuhannya untuk persiapan masa depan yang
mencakup kesejahteranaan dalam hal agama, jiwa, keturunan, harta dan akal.
C.
PENUTUP
Disposable
income atau pendapatan perseorangan bersih adalah
pendapatan perseorangan yang tersedia untuk konsumsi dan investasi atau untuk
tabungan, sama dengan pendapatan perseorangan dikurangi pajak perseorangan. Terdapat hubungan antara konsumsi dan pendapatan
disposabel . Teori Keynes tentang
konsumsi menjelaskan bagaimana pengeluaran konsumsi
sekarang tergantung pada pendapatan sekarang. Dalam hal ini
keputusan untuk mengalokasikan pendapatan disposabel sekarang sepenuhnya bergantung pada rumah tangga, yang dihitung dalam kurun
waktu jangka pendek, misalnya, upah mingguan atau gaji bulanan. Dalam Islam
acuan tentang alokasi pendapatan kepada konsumsi dan tabungan terdapat pada Al
Qur'an, Surat Ar Rahman (55): 152, yang artinya:
Dan Allah telah
meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca keadilan, supaya kamu tidak
melampui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil
dan janganlah kamu melampaui batas (Q.S. Ar Rahman (55): 152).
Walaupun ayat ini tidak langsung menyinggung
masalah pembelanjaan tetapi tema pokok tentang peneracaan dapat dihubungkan
dengan alokasi yang adil terhadap pendapatan kepada konsumsi dan tabungan. Selanjutnya tentang pengeluaran konsumsi
dijelaskan dalam Al Qur’an S. Al Furqaan (25): 67
Dan orang-orang yang jika
membelanjakan harta mereka tak terlalu boros dan tak terlalu kikir, dan mereka
mengambil jalan tengah diantara itu’ (Q.S. Al Furqaan (25): 67).
Acuan tentang peneracaan dan pengeluaran konsumsi
dalam Islam ini kiranya memiliki relevansi dengan teori konsumsi Keynes yang
berasumsi bahwa pengeluaran konsumsi dan tabungan sangat tergantung kepada
pendapatan disposable sekarang atau pendapatan bersih sekarang.
Teori daur hidup atau
disebut juga Life Cycle Theory (LCT) menjelaskan hipotesis bahwa
konsumsi yang sekarang akan bergantung kepada harapan pendapatannya di masa
yang akan datang. Seseorang akan mengalami fluktuasi
pendapatan dan akan memperkirakan kapan pendapatannya bertambah atau berkurang. Al Qur’an surat Yusuf ayat 147- 149 yang
menganjurkan menabung gandum untuk persediaan selam 7 tahun ke depan memuat
tema pokok yang relevan dengan teori LCT. Menyimpan barang konsumsi
tahan lama seperti yang dijelaskan dala Al Qur’an surat Yusuf tersebut juga
memiliki relevansi dengan Teori Pendapatan Permanen atau Permanent Income
Theory (PIT) karena pengeluaran konsumsi
aktual berkaitan dengan konsumsi barang tahan lama.
Al Gazali mengungkapkan
pemikiran tentang teori konsumsi dalam ekonomi Islam dengan berpendapat bahwa
bahwa manusia harus memenuhi kebutuhan dasar demi pemeliharaan agama, jiwa,
keturunan, harta dan akal. Sedangkan fungsi kesejahteraan sosial disusun secara
hirarkis meliputi kebutuhan (daruriat), kesenangan dan kenyamanan (hajaat)
dan kemewahan (tahsinaat). Kunci pemeliharaan lima tujuan dasar terletak
pada penyediaan tingkat pertama (kebutuhan atau daruriat) yaitu
kebutuhan makanan, pakaian dan perumahan. Sehingga pilihan dalam pengeluaaran
konsumsi yang paling utama adalah pemenuhan kebutuhan (daururiat). Jika
kesejahteraan mencapai tingkat yang lebih tinggi maka pengeluaran konsumsi
dapat mencapai pada pemenuhan keinginan seperti kesenangan (hajaat) dan
kemewahan (tahsinaat).
Secara keseluruhan
terdapat perbedaan paradigma antara ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam.
Walaupun lahir dari filsafat moral, ekonomi konvensional yang lahir di
peradaban masyarakat Barat telah menyatakan diri bebas nilai dan hanya
mempelajari hal-hal yang bersifat positif dan tidak normatif, sehingga
membatasi diri mempelajari tentang fakta apa adanya bukan yang seharusnya.
Sedangkan ekonomi Islam sejak awal bertumpu pada hal-hal yang bersifat normatif
seperti yang tercantum dalam Al Qur’an. Tetapi dalam proses ijtihad maka
hal-hal normatif dalam Al Qur’an kemudian memiliki kaitannya dengan aspek
positif keilmuan. Paradigma ini tentu saja berpengaruh pada asumsi-asumsi teori
konsumsi dalam ekonomi Islam.
No comments:
Post a Comment