A.
Latar Belakang Masalah
Dalam banyak
budaya dan masyarakat, perempuan seringkali menduduki posisi kedua setelah
laki-laki. Budaya patriarki dimana laki-laki memiliki peran dan power yang
lebih besar dan lebih kuat dibanding perempuan telah melahirkan ketidak
setaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Perempuan
tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikonstruksikan secara sosial. Anggapan
bahwa perempuan itu irrasional dan emosional, sehingga perempuan tidak bisa
tampil memimpin, dan berakibat pada munculnya sikap yang menempatkan perempuan
pada posisi yang tidak penting. Perempuan diidentikkan dengan jenid-jenis
pekerjaan tertentu. Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah
bahwa semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah
dan menjadi subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai kaum laki-laki.
Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang menganggap bahwa pekerjaan domestik
(rumah tangga) dan reproduksi adalah pekerjaan perempuan dan dianggap sebagai
pekerjaan yang lebih rendah dan tidak pantas dilakukan oleh laki-laki.[1]karena
secara sosial budaya laki-laki dikonstruksikan sebagai kaum yang kuat, maka
laki-laki sejak kecil biasanya terbiasa atau berlatih untuk menjadi kuat, dan
perempuan yang sudah terlanjur mempunyai label lemah lembut, maka perlakuan
orang tua mendidik anak seolah-olah memang mengarahkan untuk terbentuknya
perempaun yang lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan.[2]
Karena
adanya mitos dan anggapan bahwa kaum perempuan bersifat memelihara, rajin, dan
tidak akan menjadi kepala rumah tangga, maka akibatnya semua pekerjaan domestik
menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Sementara laki-laki yang dianggap lebih
kuat dan lebih memiliki kemampuan, bertanggung jawab untuk mencari nafkah untuk
kebutuhan keluarga. Akibatnya, banyak perempuan yang secara ekonomi hidupnya
sangat bergantung kepada laki-laki, hal ini lah yang menjadi salah faktor
banyaknya kekerasan rumah tangga terhadap kaum perempuan dan banyaknya kaum
perempuan yang kemudian mengalami depresi, bahkan mencoba mengakhiri hidupnya,
ketika ditinggalkan oleh suami baik karena cerai maupun ditinggal mati.
Perempuan-perempuan
yang diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya, yang sering disebut dengan
istilah janda, seringkali kehilangan
kepercayaan diri dan kehilangan semangat hidup. Apalagi jika mereka masih
memiliki anak kecil yang masih membutuhkan banyak biaya hidup. Perempuan janda
yang selama hidupnya menggantungkan kebutuhan ekonominya seratus persen kepada
suami akan sangat kebingungan, dan tidak jarang mengalami depresi ketika harus
kehilangan suaminya yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga dalam
mencari nafkah. Apalagi jika sebelumnya kehidupan ekonomi mereka juga tergolong
dalam kategori miskin yang tidak memiliki harta warisan yang bisa dijadikan
sandaran buat kebutuhan ekonomi mereka sehari-hari.
Para janda,
terutama janda miskin, seringkali dianggap sebagai kaum marginal yang kurang
mendapatkan perhatian baik dari pemerintah maupun dari masyarakat sekitar. Meskipun
berbagai kajian dan penelitian berkaitan dengan perempuan menjadi wilayah
kajian yang mapan dan sangat profesional, lengkap dengan berbagai asosiasi
kajian perempuan di tingkat nasional dan internasional yang menjadi bagian
dunia akademis dan pengaruh feminis tetap kuat dalam banyak disiplin, dan
kuliah-kuliah tentang perempuan dan gender tampaknya terus berkembang sejak
tahun 1990-an[3], namun
demikian realitas di lapangan menunjukan sebaliknya. Janda-janda miskin masih
menjadi kaum marginal yang masih belum mendapatkan posisi yang layak baik
secara sosial, budaya, politik maupun ekonomi.
Dalam
konteks masyarakat Banten, banyak janda di daerah yang kehidupan ekonominya
sangat memprihatinkan dan tidak
mendapatkan perhatian yang memadai baik dari pemerintah pusat dan daerah,
maupun dari masyarakat sekitar. Untuk bisa survive dan bisa memenuhi kebutuhan
hidupnya, banyak dari para janda ini yang melakukan pekerjaan serabutan baik
sebagai pembantu rumah tangga dengan upah yang sangat minim, buruh pabrik,
maupun berjualan ala kadarnya. Hanya sebagian kecil yang karena memiliki
warisan banyak dari mantan suaminya dan memiliki kemampuan berdagang atau
bisnis lainnya bisa mengelola keuangan dengan baik.
Kesadaran
para janda bahwa tidak ada orang yang bisa menjamin hidupnya, sementara mereka
harus tetap survive, memberikan semangat kepada mereka untuk bisa mencari
nafkah dan mengelola kebutuhan ekonomi mereka dengan kerja keras dan maksimal.
Sebagian dari mereka ada yang berhasil hingga bisa menyekolahkan anak-anaknya
sampai ke jenjang perguruan tinggi, sebagian lagi ada yang terpaksa hanya bisa
menyekolahkan anaknya sampai tingkat SD atau SMP. Kebutuhan hidup yang semakin
kompleks mengharuskan mereka bekerja keras agar bisa mandiri secara ekonomi.
Berdasarkan
penjelasn di atas, mengkaji tentang kehidupan dan kemandirian ekonomi para
janda di Banten menjadi subjek yang menarik untuk dikaji karena beberapa
alasan. Pertama, para janda adalah kelompok marginal yang selama ini diabaikan
oleh pemerintah dan masyarakat, namun demikian mereka mampu survive menghidupi
dan memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa bergantung kepada belas kasih orang lain,
bahkan sebagian ada yang sukses dalam berbisnis. Kedua, kekuatan mental dan
motivasi untuk bisa survive dan bisa menggantikan peran suami dalam mencari
nafkah sekaligus menjadi ibu rumah tangga memberi dorongan kuat bagi mereka
untuk bisa tampil ke depan dalam mendorong dan memberi semangat kepada
anak-anak mereka dalam menjalani kehidupan. Ketiga, minimnya peluang kerja
dengan upah yang layak di berbagai bidang pekerjaan tidak memupus harapan dan
dorongan kuat para janda di Banten untuk membuka peluang-peluang kerja baru
bagi mereka untuk bisa mengelola kebutuhan rumah tangga dan memiliki
kemandirian ekonomi demi keberlangsungan hidup dan pendidikan anak-anak mereka.
B.
Rumusan Masalah
Kondisi
kehidupan sosial dan ekonomi para janda seringkali membuat kita miris dan
prihatin. Namun demikian, ditengah kompleksitas masalah hidup, baik secara
sosial budaya maupun ekonomi, mereka
masih tetap eksis dan mampu survive, bahkan sebagian mereka kemudian bisa
sukses mendidik anak-anaknya dan berhasil membawa kehidupan mereka menjadi
lebih baik. Banyak hal yang bisa kita kaji dan kita pelajari dari kehidupan
para janda dan bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka
sehari-hari. Untuk mengetahui kondisi sosial dan kehidupan ekonomi para janda
miskin di Banten, penelitian ini akan mencoba mengkaji “Bagaimana kondisi kehidupan
sosial dan kemandirian ekonomi para janda di Banten?”.
Adapun
pertanyaan yang akan menjadi fokus penelitian ini adalah:
1. Bagaiaman kondisi kehidupan para janda di Banten?
2. Bagaimana para janda mengelola kebutuhan hidup dan
kemandirian ekonomi mereka?
3. Motivasi apa yang membuat mereka semangat dalam menjalani
hidup dan memenuhi kebutuhan ekonomi mereka?
4. Apa kendala dan tantangan para janda dalam menjalani
hidup dan mengelola kebutuhan ekonomi mereka?
C. Metode Penelitian
Dalam penelitian
ini, peneliti akan menggunakan dua metode penelitian, yakni metode survey dan
metode ethnografi yang bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan
pendekatan berspektif gender. Metode survey digunakan untuk mensurvey atau
mendata para janda yang ada di daerah Serang Banten untuk kemudian
diidentifikasi dan diklasifikasikan berdasarkan kategorisasi yang akan peneliti
buat nanti. Sementara itu, ethnografi, menurut James P. Spradley, merupakan
pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama etnografi ini adalah
untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli,
sebagaimana dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski, bahwa tujuan etnografi
adalah ‘memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan,
untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya”.[4] Selanjutnya, Spradley berpendapat bahwa
etnografi bermakna untuk membangun suatu pengertian yang sistemik mengenai
semua kebudayaan manusia dari perspektif orang yang telah mempelajari
kebudayaan itu.[5]
Oleh karena itu, peneliti akan mencoba menggunakan ethnografi ini sebagai
metode penelitian dalam meneliti kehidupan sosial dan kemandirian ekonomi para
janda di Banten.
Dalam buku Teori-Teori Feminis Kontemporer dikatakan
bahwa studi etnografi, selain dapat berperan sebagai studi kasus dalam kerangka
umum pendekatan komparatif dalam studi hubungan gender yang hierarkis,
etnografi juga memberikan kesempatan untuk melakukan refleksi berdasarkan
konsep-konsep budaya yang melaluinya kita mengalami dan berusaha memahami
ketidaksetaraan gender.[6]
Populasi
yang digunakan adalah seluruh janda yang
ada di daerah Serang Banten secara umum. Dari populasi tersebut, tehnik
pengambilan sampel di ambil dengan cara Stratified
Random Sampling dan sampel
di ambil dari beberapa janda di beberapa tempat di wilayah Serang Banten.
Selanjutnya data yang terkumpul akan dianalisis dengan teknik analisis induktif
sehingga menghasilkan suatu laporan yang reliable. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan menggunakan
teknik Kajian Pustaka, Observasi dan Wawancara.
D.
Pembahasan dan Analisis
1.
Kerangka Konseptual
Pengalaman
perempuan sangatlah beragam; perempuan berada dalam posisi yang berbeda dalam
hubungan sosial yang kompleks, dan bentuk aktifitas kehidupan sosial, budaya,
politik dan ekonomi mereka tergantung pada lingkungan dan sistem budaya di mana
mereka tinggal.
Para ahli
antropologi dan sejarah sudah menemukan bahwa sebagian besar komunitas atau
masyarakat sepanjang sejarah membedakan antara peran sosial laki-laki dan
perempuan. Meskipun ada beragama variasi peran antara laki-laki dan perempuan
di masing-masing daerah dalam budaya masyarakat yang berbeda, ada beberapa
contoh dari sebuah masyarakat di mana perempuan memiliki pengaruh yang lebih
besar dna lebih berkuasa ketimbang laki-laki. Namun demikian, perempuan
dimanapun utamanya bertugas atau bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara
anak-anak dan menjaga rumah, sementara aktifitas politik, ekonomi, dan militer
cenderung menjadi pekerjaan atau tugas dari laki-laki. Tidak ada dimanapun di dunia
laki-laki yang bertugas dan bertanggung jawab memelihara dan menjaga anak.
Namun demikian, perbedaan tugas dan tanggung jawab antara laki-laki dan
perempuan dalam sebuah masyarakat tidak berarti bahwa perempuan tidak setara
dengan laki-laki.
Dominasi
laki-laki dalam sebuah masyarakat biasanya disebut sebagai masyarakat yang
menganut system patriarki.[7]
Dalam budaya patriarki, perempuan selalu menduduki posisi subordinasi di mana
perempuan hanya bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan domestic rumah tangga
mereka, sementara laki-laki bisa melakukan dan menguasai berbagai aktifitas
sosial, politik, dan ekonomi. Dalam konteks masyarakat Indonesia, sebagain
besar atau mungkin seluruhnya menganut system patriarki ini. Dalam budaya
patriarki, banyak ketidak setaraan gender yang terjadi dalam berbagai aspek
kehidupan, dan perempuan selalu menjadi korban dari ketidaksetaraan gender
akibat system budaya yang yang sudah dikonstruk oleh masyarakat sejak dahulu
kala. Salah satu korban dari system budaya seperti ini adalah para janda yang
ketika kehilangan suaminya tidak bisa melakukan aktifitas ekonomi dan politik
karena tidak pernah diberi kesempatan untuk melakukan aktifitas tersebut
sebelumnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, janda
diartikan sebagai wanita yang tidak bersuami lagi, baik karena cerai maupun
karena ditinggal mati oleh suaminya. [8]Janda
adalah bagian dari komunitas wanita yang
mempunyai struktur dan kondisi tertentu, akibat dari perpisahan hubungan suami
istri yang membentuk struktur tersendiri dengan berbagai konsekuensi dan
eksistensinya.[9] Dalam
Al-Qur’an, kata janda disebut dengan istilah tsayyib yang berasal dari kata “tsaaba,
yatsuubu, tsaiba, yang berarti kembali dan istilah ayama yang berarti perempuan yang tidak memiliki pasangan. Kata tsayyib berarti wanita yang telah
menikah, kemudian ia pada status kesendiriannya karena berpisah dengan suaminya
setelah dikumpuli, baik berpisah karena perceraiain maupun karena ditinggal
mati.[10]
Dalam penelitian
ini, konsep janda yang peneliti maksud adalah perempuan-perempuan yang sudah
menikah, tapi kemudian hidup terpisah dari suaminya, baik karena perceraiain
maupun kematian. Sedangkan kehidupan sosial yang peneliti maksud dalam
penelitian ini adalah segala aktifitas sosial keagamaan yang dijalani dan
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari
para janda. Sedangkan konsep mengenai kemandirian ekonomi adalah segala
bentuk aktifitas perekonomian yang dilakukan oleh para janda di Banten dalam
memenuhi kebutuhan keluarganya.
2.
Kondisi
kehidupan para janda di Serang Banten
Kelemahan wanita dalam kehidupan sosial umumnya dipengaruhi oleh struktur
dan tatanan sosial serta culture
masyarakat yang seringkali memposisikan wanita pada kondisi ketergantungan,
baik dari sisi kesempatan, pembagian kerja, alokasi waktu dalam mengurus anak
dan keperluan domestik, serta struktur
fisik.Dalam konteks budaya masyarakat Indonesia secara umum, tidak terkecuali
Banten, budaya patriarki turut
melemahkan posisi wanita dalam banyak hal. Sehingga, ketika mereka ditinggalkan
atau diceraikan oleh suami, mereka seperti kehilangan pegangan baik secara
finansial maupun secara sosial dan psikologis. Kondisi semacam ini, menurut
Munir, utamanya disebabkan oleh struktur sosial yang terbentuk menjadi sebuah budaya
yang membuat perempuan, khususnya janda, sebagai
kelompok yang lemah yang terus membutuhkan perlindungan dan dukungan dari orang
lain baik secara ekonomi, sosial, dan psikologis.[11]
Berdasarkan data lapangan, dari 30 janda di Serang Banten yang dijadikan
sampel dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan bahwa secara ekonomi, 70%
atau sekitar 21 orang masuk dalam kategori janda miskin, 20% atau sekitar 6
orang janda masuk dalam kategori cukup, dan sisanya 10% atau sekitar 3 orang
janda masuk dalam kategori janda kaya atau janda sukses.
Ukuran kekayaan dan kesuksesan seseorang secara ekonomi bisa dilihat dari
kondisi rumah, perabotan di dalam rumah (furniture), kepemilikan tanah, sawah,
kebun , kendaraan dan sejenisnya, jenis pekerjaan, tingkat keberhasilan
menyekolahkan anak, serta yang terpenting adalah kondisi kebutuhan rumah tangga
(pengeluaran per bulan) serta pendapatan mereka per bulan.
Selanjutnya, dari sisi pekerjaaan, dari 30 janda yang dijadikan sampel, 7
orang janda tidak memiliki usaha tetap (kerja serabutan), 5 orang janda pedagang
keliling, 5 orang pembantu rumah tangga. 4 orang janda PNS, 3 orang janda
pemilik lahan pertanian dan pedagang, 2 orang janda pembuat kue, dan 4 orang
janda buruh pabrik. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa hanya 23,33 %
perempuan janda yang memiliki pekerjaan yang layak (PNS dan pemilik lahan
pertanian sekaligus sebagai pedagang). Berarti masih ada 76,67 % janda yang
masih belum mendapatkan pekerjaan yang baik dan dengan penghasilan yang layak.
Meskipun sebagian besar mereka harus bekerja keras untuk mencukupi
kebutuhan keluarga, mereka tidak melupakan pendidikan bagi anak-anak mereka,
baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Untuk pendidikan agama, sebagian
mereka mengajar langsung anak-anak mereka terutama belajar membaca al-Qur’an dan
shalat, sebagian lagi ada yang menitipkan kepada ustadz, kyai, atau tetangga
mereka untuk diajarkan ngaji setiap ba’da shalat magrib, sebagian lagi
mengirimkan anak-anak mereka ke pondok pesantren, baik pesantren yang dekat
dengan rumah mereka, atau di tempat lain. Sedangkan untuk pendidikan umum,
rata-rata hanya menyekolahkan anak-anak mereka sampai ke tingkat SD atau SLTP,
sebagian sampai tingkat SLTA, dan sebagian kecil sampai ke tingkat Sarjana.
Para janda yang bisa menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi umumnya
para janda yang memiliki warisan yang cukup banyak dari mendiang suaminya baik
itu tanah, sawah, kebun, dan jenis harta lainnya, serta ada juga yang
melanjutkan usaha suaminya berjualan kain di pasar atau membuka warung. Sebagian
janda sukses ini berhasil mengelola keuangan keluarganya yang diwariskan oleh
suaminya sehingga bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan
tinggi, bahkan ada yang sudah menjadi PNS setelah mereka lulus.
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa kaum janda, terutama janda miskin,
membutuhkan dukungan baik dari keluarga, masyarakat, dan pemerintah baik secara
finansial maupun secara sosial danpsikologis agar mereka terus termotivasi
untuk tetap tegar menjalani hidup dan memberikan pendidikan dankehidupan yang
layak bagi masa depan anak-anaknya.
3.
Cara
Janda mengelola kebutuhan hidup dan kemandirian ekonomi
Seorang perempuan yang ketika masih bersama suaminya menggantungkan seluruh
kebutuhan ekonomi keluarganya, akan menjadi prustasi, putus asa, bingung dan
depresi tentang masa depan nya dan anak-anaknya. Mereka kebingungan apa yang
harus mereka lakukan agar anak-anaknya tetap bisa makan dan sekolah. Seorang
janda yang sekalipun dia mendapatkan warisan melimpah dari mantan suaminya,
namun ketika selama suaminya masih ada tidak pernah ikut terlibat,tidak pernah
membantu suaminya mencari nafkah, bahkan tidak pernah dan tidak mau tahu urusan
ekonomi keluarganya, pasti akan mengalami kebingungan ketika tiba-tiba suaminya
meninggalkannya karena cerai maupun meninggal dunia. Sehingga, ketika urusan
pemakaman dan pengurusan jenazah suaminya sudah selesai, mereka akan berusaha
mencari jalan dan solusi untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Sebagian
besar dari para janda tidak memiliki life skills dan pengalaman dalam bidang
bisnis, usaha, dan perdagangan. Berbagai pilihan pekerjaan harus mereka pilih
dan harus mereka kerjakan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dari hasil wawancara dengan beberapa janda yang jadi infroman dalam
penelitian ini, sebagian memilih untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga di
kota atau di rumah orang kaya yang ada di sekitar kampungnya dengan gaji ala
kadarnya. Ibu E, misalnya, kebutuhan ekonomi keluarganya utamanya ditopang oleh
penghasilan dari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di tetangganya yang
berada walaupun dengan gaji yang sangat jauh dari cukup. Berhutang kebutuhan makanan
pokok ke warung-warung menjadi solusi terbaik ketika dirumah tidak ada lagi
persediaan beras dan lauk pauk, dan dibayar ketika mereka mendapatkan gaji yang
seringkali tidak cukup untuk membayar hutang-hutangnya. Dia juga pernah menjadi
pembantu rumah tangga di rumah seseorang di Jakarta dan di Serang selama
beberapa tahun, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk pulang kampung karena
khawatir dengan anak-anaknya.[12]
Selanjutnya, beberapa janda lain yang juga tidak memiliki life skills,
pengalaman kerja dan dagang, dan tidak memiliki ijazah yang layak untuk bisa
bekerja di pabrik, memilih berjualan keliling dengan modal seadanya. Ada yang
berjualan sayur dan ikan, jualan kue, jualan peralatan dapur, dan lain
sebagainya. Mereka berkeliling setiap hari dari rumah ke rumah menjajakan
dagangannya. Tidak jarang mereka juga harus kepanasan dan kehujanan, dan pulang
dengan dagangan yang masih banyak karena kurang pembeli. Seringkali mereka
harus gulung tikar karena kekurangan modal, sementara kebutuhan makan dan jajan
anak-anak harus terus dipenuhi. Tapi mereka tidak pernah pasrah dengan keadaan.
Beberapa dari mereka bahkan ada yang sudah berusia di atas 5o tahun. Kondisi
ini dialami oleh beberpaa janda di Serang Banten seperti Ibu M (60 th) dan ibu
R (50 th) di Ciomas, Ibu Mn dan Ibu
J di Sempu, dan Ibu Lk (55 th) di
Kebaharan.
Selanjutnya, bertani dan melanjutkan usaha mantan suami, juga menjadi
pilihan seorang janda untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan suaminya. Ibu Fth
(58th) dan Ibu Str(64th) dua orang janda kaya dan terpandang di daerah Ciomas,
misalnya, meskipun memiliki banyak anak, karena memiliki warisan yang lumayan
banyak dari mendiang suaminya, dan mereka mau belajar dan bekerja keras, mereka
mampu mengelola ekonominya dengan baik, sehingga bisa menyekolahkan sebagian
besar anak-anaknya hingga ke tingkat Sarjana, dan sebagian sudah bekerja
sebagai PNS dan di tempat lain yang cukup bagus.[13]
Ada juga sebagian janda yang bekerja sebagai petani penggarap, yang menerima
upah setelah panen dari pemilik lahan. Kondisi ini dialami oleh Ibu Rhyt (35
th) dan Ibu Nn (34 th) di desa Citundun, Padarincang.[14]
Ada juga para janda yang bekerja serabutan dan tidak tetap. Mereka bekerja
jika ada yang mengundang untuk masak di acara-acara hajatan, atau kalau ada
yang menyuruh mereka membantu tetangganya sewaktu-waktu, atau membuat kue-kue
pesanan.[15]
Sebagian janda ada yang beruntung karena memiliki ijazah SMP atau SMA.
Mereka bisa diterima bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik sepatu di Cikande.
Mereka umumnya adalah janda muda yang baru ditinggal cerai oleh suaminya.
Namun, mereka tidak bisa tinggal dengan anak-anak mereka, karena mereka harus
tinggal di kontrakan di dekat pabrik. Mereka menitipkan anak mereka kepada
orang tua atau keluarganya yang lain. Mereka baru bisa pulang 2 minggu sekali
atau satu bulan sekali jika sudah gajihan. Cape dan sedih karena harus jauh
dari anak-anaknya tidak menyurutkan niat mereka untuk bekerja dan mencari uang
demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Kondisi ini dialami oleh S.T. (34
th) dan Lsn (35th).[16]
Sebagian janda muda yang lain, bekerja sebagai pelayan toko di Jakarta, seperti
yang dialami oleh Ibu Ftm (32 th) dan Ibu Nng (34 th).[17]
4.
Motivasi
yang membuat Para Janda semangat dalam menjalani hidup dan memenuhi kebutuhan
ekonomi mereka
Seorang janda seringkali kehilangan motivasi hidup ketika mereka ditinggal
suaminya dalam kondisi kekurangan ekonomi dan tidak memiliki life skills dan
pengalaman kerja. Namun, banyak juga janda yang mampu memotivasi dirinya untuk
tetap tegar dan bertahan, dan terus semangat mencari nafkah dan mencari
pekerjaan apapun demi anak-anaknya. Dengan berbagai tantangan dan kesulitan,
mereka mencoba mencari solusi untuk bisa bertahan hidup.
Berdasarkan data hasil interview dengan beberapa janda yang jadi sampel penelitian
ini, paling tidak ada enam motivasi yang membuat mereka semangat dalam
menjalani hidup dan memenuhi kebutuhan ekonomi mereka, yaitu:
Ø Pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga (terutama kebutuhan
pangan)
Ø Pemenuhan kebutuhan biaya pendidikan anak-anak
Ø Keyakinan bahwa Allah SWT. Akan membantunya dalam
menjalani hidup dan mengatasi kesulitan hidup mereka
Ø Keinginan agar anak-anaknya sukses
Ø Ingin merubah keadaan atau kondisi
Ø Adanya motivasi bahwa ‘hidup itu penuh perjuangan dan
kita tidak boleh menyerah dengan nasib, selalu ada jalan dan ada rizky kalau
kita mau berusaha dan bekerja keras’
Ø Wasiat suami untuk terus memelihara dan mendidik
anak-anak mereka hingga mereka sukses.
5.
Kendala dan tantangan para janda dalam menjalani hidup
dan mengelola kebutuhan ekonomi mereka.
Ada banyak
kendala dan tantangan yang harus dihadapi dan dijalani oleh para janda dalam
menjalani hidup tanpa suami. Begitu juga ketika mereka harus berjuang untuk
mengatasi dan memenuhi kebutuhan ekonomi mereka, beragam tantangan harus siap
mereka hadapi dengan beragam konsekuensinya.
Berikut
adalah tantangan dan rintangan terbesar yang sering mereka hadapi dalam
menjalani hidup dan dalam mengelola kebutuhan ekonomi keluarga tanpa suami:
Ø Sulitnya mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang sesuai
Ø Tidak memiliki life skills
Ø Tidak memiliki ijazah yang dibutuhkan dalam dunia kerja
Ø Tidak memiliki pengalaman dalam berdagang maupun bisnis
lainnya
Ø Kebutuhan
ekonomi yang semakin meningkat
Ø Kurangnya
perhatian dan kepedulian dari pemerintah, lembaga maupun warga sekitar
Ø Kesulitan
mencari modal usaha
Ø Biaya
sekolah yang semakin tinggi
Ø Kurangnya
kebersamaan dengan anak-anak sehingga tidak memiliki waktu yang banyak untuk
mengawasi anak-anak
Ø Seringkali
ada pandangan yang negative tentang janda. Ketika mereka harus kerja sampai
tengah malam, ada saja orang yang mengecap dan memandang buruk tentang
pekerjaan mereka.
Kondisi-kondisi yang disebutkan di atas memang menjadi
masalah yang seringkali bisa melemahkan para janda dalam menjalani hidup dan
dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Tidak jarang mereka
hanya bisa menangis dengan kondisi dan masalah yang mereka hadapi. Berdo’a dan
tetap berusaha dan bekerja semaksimal mungkin dengan satu harapan suatu saat
kondisi bisa berubah menjadi lebih baik adalah jalan satu-satunya yang harus
mereka pegang teguh untuk tetap bisa survive dan bisa mengurus anak-anaknya dan
memenuhi segala kebutuhan keluarganya.
E.
Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa janda adalah sekelompok
perempuan yang membutuhkan perhatian dan kepedulian kita bersama, terutama
pemerintah, agar mereka bisa menjalani hidup dengan layak dan bisa terus
mengasuh dan memberikan pendidikan yang layak bagi putra-putrinya agar memiliki
masa depan yang lebih baik.
Di Serang
Banten, secara ekonomi sebagian besar para janda atau sekitar 76,67 %, berada
dalam kategori ekonomi lemah yang membutuhkan kepedulian dan bantuan dari
berbagai pihak, baik dari bantuan moril maupun materi agar mereka bisa mandiri
secara ekonomi.
Dengan
melihat kondisi para janda di Serang Banten, kita bisa tahu bahwa kebutuhan
life skills dan modal usaha seharusnya menjadi prioritas bagi pemerintah,
lembaga, ataupun perseorangan yang memiliki kepedulian terhadap kehidupan para
janda sehingga mereka bisa mendapatkan penghasilan yang cukup untuk bisa
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya tanpa harus meninggalkan anak-anak mereka
dalam jarak yang cukup jauh dan waktu yang lama. Karena hal ini bisa
berpengaruhi terhadap psikologi dan juga pembentukan karakter anak-anak mereka
jika mereka hidup jauh dari orang tua dengan kondisi ekonomi yang
memprihatinkan.
Beragam
motivasi yang mereka miliki harus tetap terjaga agar mereka tetap semangat dan
termotivasi untuk terus berdo’a dan bekerja maksimal sehingga bisa terus
survive dan bisa memberikan kehidupan dan pendidikan yang layak bagi anak-anak
mereka. Oleh karena itu, pemerintah secara kelembagaan, dan semua elemen
masyarakat secara kolektif dan individual harus bisa terus memberikan dukungan
moril dan materil bagi para janda agar mereka bisa mandiri secara ekonomi.
No comments:
Post a Comment