Saturday 18 January 2014

Kehidupan dan Kemandirian Ekonomi Para Janda di Banten



Wazin
wazinbaihaqi@iainbanten.ac.id
wazin-baihaqi.blogspot.com




A.    Latar Belakang Masalah
Dalam banyak budaya dan masyarakat, perempuan seringkali menduduki posisi kedua setelah laki-laki. Budaya patriarki dimana laki-laki memiliki peran dan power yang lebih besar dan lebih kuat dibanding perempuan telah melahirkan ketidak setaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Perempuan tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikonstruksikan secara sosial. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional dan emosional, sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, dan berakibat pada munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Perempuan diidentikkan dengan jenid-jenis pekerjaan tertentu. Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah bahwa semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai kaum laki-laki. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang menganggap bahwa pekerjaan domestik (rumah tangga) dan reproduksi adalah pekerjaan perempuan dan dianggap sebagai pekerjaan yang lebih rendah dan tidak pantas dilakukan oleh laki-laki.[1]karena secara sosial budaya laki-laki dikonstruksikan sebagai kaum yang kuat, maka laki-laki sejak kecil biasanya terbiasa atau berlatih untuk menjadi kuat, dan perempuan yang sudah terlanjur mempunyai label lemah lembut, maka perlakuan orang tua mendidik anak seolah-olah memang mengarahkan untuk terbentuknya perempaun yang lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan.[2]
Karena adanya mitos dan anggapan bahwa kaum perempuan bersifat memelihara, rajin, dan tidak akan menjadi kepala rumah tangga, maka akibatnya semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Sementara laki-laki yang dianggap lebih kuat dan lebih memiliki kemampuan, bertanggung jawab untuk mencari nafkah untuk kebutuhan keluarga. Akibatnya, banyak perempuan yang secara ekonomi hidupnya sangat bergantung kepada laki-laki, hal ini lah yang menjadi salah faktor banyaknya kekerasan rumah tangga terhadap kaum perempuan dan banyaknya kaum perempuan yang kemudian mengalami depresi, bahkan mencoba mengakhiri hidupnya, ketika ditinggalkan oleh suami baik karena cerai maupun ditinggal mati.
Perempuan-perempuan yang diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya, yang sering disebut dengan istilah janda, seringkali kehilangan kepercayaan diri dan kehilangan semangat hidup. Apalagi jika mereka masih memiliki anak kecil yang masih membutuhkan banyak biaya hidup. Perempuan janda yang selama hidupnya menggantungkan kebutuhan ekonominya seratus persen kepada suami akan sangat kebingungan, dan tidak jarang mengalami depresi ketika harus kehilangan suaminya yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah. Apalagi jika sebelumnya kehidupan ekonomi mereka juga tergolong dalam kategori miskin yang tidak memiliki harta warisan yang bisa dijadikan sandaran buat kebutuhan ekonomi mereka sehari-hari.
Para janda, terutama janda miskin, seringkali dianggap sebagai kaum marginal yang kurang mendapatkan perhatian baik dari pemerintah maupun dari masyarakat sekitar. Meskipun berbagai kajian dan penelitian berkaitan dengan perempuan menjadi wilayah kajian yang mapan dan sangat profesional, lengkap dengan berbagai asosiasi kajian perempuan di tingkat nasional dan internasional yang menjadi bagian dunia akademis dan pengaruh feminis tetap kuat dalam banyak disiplin, dan kuliah-kuliah tentang perempuan dan gender tampaknya terus berkembang sejak tahun 1990-an[3], namun demikian realitas di lapangan menunjukan sebaliknya. Janda-janda miskin masih menjadi kaum marginal yang masih belum mendapatkan posisi yang layak baik secara sosial, budaya, politik maupun ekonomi.
Dalam konteks masyarakat Banten, banyak janda di daerah yang kehidupan ekonominya sangat memprihatinkan dan  tidak mendapatkan perhatian yang memadai baik dari pemerintah pusat dan daerah, maupun dari masyarakat sekitar. Untuk bisa survive dan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, banyak dari para janda ini yang melakukan pekerjaan serabutan baik sebagai pembantu rumah tangga dengan upah yang sangat minim, buruh pabrik, maupun berjualan ala kadarnya. Hanya sebagian kecil yang karena memiliki warisan banyak dari mantan suaminya dan memiliki kemampuan berdagang atau bisnis lainnya bisa mengelola keuangan dengan baik.
Kesadaran para janda bahwa tidak ada orang yang bisa menjamin hidupnya, sementara mereka harus tetap survive, memberikan semangat kepada mereka untuk bisa mencari nafkah dan mengelola kebutuhan ekonomi mereka dengan kerja keras dan maksimal. Sebagian dari mereka ada yang berhasil hingga bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi, sebagian lagi ada yang terpaksa hanya bisa menyekolahkan anaknya sampai tingkat SD atau SMP. Kebutuhan hidup yang semakin kompleks mengharuskan mereka bekerja keras agar bisa mandiri secara ekonomi.
Berdasarkan penjelasn di atas, mengkaji tentang kehidupan dan kemandirian ekonomi para janda di Banten menjadi subjek yang menarik untuk dikaji karena beberapa alasan. Pertama, para janda adalah kelompok marginal yang selama ini diabaikan oleh pemerintah dan masyarakat, namun demikian mereka mampu survive menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa bergantung kepada belas kasih orang lain, bahkan sebagian ada yang sukses dalam berbisnis. Kedua, kekuatan mental dan motivasi untuk bisa survive dan bisa menggantikan peran suami dalam mencari nafkah sekaligus menjadi ibu rumah tangga memberi dorongan kuat bagi mereka untuk bisa tampil ke depan dalam mendorong dan memberi semangat kepada anak-anak mereka dalam menjalani kehidupan. Ketiga, minimnya peluang kerja dengan upah yang layak di berbagai bidang pekerjaan tidak memupus harapan dan dorongan kuat para janda di Banten untuk membuka peluang-peluang kerja baru bagi mereka untuk bisa mengelola kebutuhan rumah tangga dan memiliki kemandirian ekonomi demi keberlangsungan hidup dan pendidikan anak-anak mereka.

B.    Rumusan Masalah
Kondisi kehidupan sosial dan ekonomi para janda seringkali membuat kita miris dan prihatin. Namun demikian, ditengah kompleksitas masalah hidup, baik secara sosial  budaya maupun ekonomi, mereka masih tetap eksis dan mampu survive, bahkan sebagian mereka kemudian bisa sukses mendidik anak-anaknya dan berhasil membawa kehidupan mereka menjadi lebih baik. Banyak hal yang bisa kita kaji dan kita pelajari dari kehidupan para janda dan bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Untuk mengetahui kondisi sosial dan kehidupan ekonomi para janda miskin di Banten, penelitian ini akan mencoba mengkaji “Bagaimana kondisi kehidupan sosial dan kemandirian ekonomi para janda di Banten?”.
Adapun pertanyaan yang akan menjadi fokus penelitian ini adalah:
1.     Bagaiaman kondisi kehidupan para janda di Banten?
2.     Bagaimana para janda mengelola kebutuhan hidup dan kemandirian ekonomi mereka?
3.     Motivasi apa yang membuat mereka semangat dalam menjalani hidup dan memenuhi kebutuhan ekonomi mereka?
4.     Apa kendala dan tantangan para janda dalam menjalani hidup dan mengelola kebutuhan ekonomi mereka?

C.    Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan dua metode penelitian, yakni metode survey dan metode ethnografi yang bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan berspektif gender. Metode survey digunakan untuk mensurvey atau mendata para janda yang ada di daerah Serang Banten untuk kemudian diidentifikasi dan diklasifikasikan berdasarkan kategorisasi yang akan peneliti buat nanti. Sementara itu, ethnografi, menurut James P. Spradley, merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama etnografi ini adalah untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, sebagaimana dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski, bahwa tujuan etnografi adalah ‘memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya”.[4]  Selanjutnya, Spradley berpendapat bahwa etnografi bermakna untuk membangun suatu pengertian yang sistemik mengenai semua kebudayaan manusia dari perspektif orang yang telah mempelajari kebudayaan itu.[5] Oleh karena itu, peneliti akan mencoba menggunakan ethnografi ini sebagai metode penelitian dalam meneliti kehidupan sosial dan kemandirian ekonomi para janda di Banten.
Dalam buku Teori-Teori Feminis Kontemporer dikatakan bahwa studi etnografi, selain dapat berperan sebagai studi kasus dalam kerangka umum pendekatan komparatif dalam studi hubungan gender yang hierarkis, etnografi juga memberikan kesempatan untuk melakukan refleksi berdasarkan konsep-konsep budaya yang melaluinya kita mengalami dan berusaha memahami ketidaksetaraan gender.[6]
Populasi yang digunakan adalah  seluruh janda yang ada di daerah Serang Banten secara umum. Dari populasi tersebut, tehnik pengambilan sampel di ambil dengan cara Stratified Random Sampling dan sampel di ambil dari beberapa janda di beberapa tempat di wilayah Serang Banten. Selanjutnya data yang terkumpul akan dianalisis dengan teknik analisis induktif sehingga menghasilkan suatu laporan yang reliable. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan menggunakan teknik Kajian Pustaka, Observasi dan Wawancara.

D.    Pembahasan dan Analisis
1.     Kerangka Konseptual
Pengalaman perempuan sangatlah beragam; perempuan berada dalam posisi yang berbeda dalam hubungan sosial yang kompleks, dan bentuk aktifitas kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi mereka tergantung pada lingkungan dan sistem budaya di mana mereka tinggal.
Para ahli antropologi dan sejarah sudah menemukan bahwa sebagian besar komunitas atau masyarakat sepanjang sejarah membedakan antara peran sosial laki-laki dan perempuan. Meskipun ada beragama variasi peran antara laki-laki dan perempuan di masing-masing daerah dalam budaya masyarakat yang berbeda, ada beberapa contoh dari sebuah masyarakat di mana perempuan memiliki pengaruh yang lebih besar dna lebih berkuasa ketimbang laki-laki. Namun demikian, perempuan dimanapun utamanya bertugas atau bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara anak-anak dan menjaga rumah, sementara aktifitas politik, ekonomi, dan militer cenderung menjadi pekerjaan atau tugas dari laki-laki. Tidak ada dimanapun di dunia laki-laki yang bertugas dan bertanggung jawab memelihara dan menjaga anak. Namun demikian, perbedaan tugas dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah masyarakat tidak berarti bahwa perempuan tidak setara dengan laki-laki.
Dominasi laki-laki dalam sebuah masyarakat biasanya disebut sebagai masyarakat yang menganut system patriarki.[7] Dalam budaya patriarki, perempuan selalu menduduki posisi subordinasi di mana perempuan hanya bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan domestic rumah tangga mereka, sementara laki-laki bisa melakukan dan menguasai berbagai aktifitas sosial, politik, dan ekonomi. Dalam konteks masyarakat Indonesia, sebagain besar atau mungkin seluruhnya menganut system patriarki ini. Dalam budaya patriarki, banyak ketidak setaraan gender yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, dan perempuan selalu menjadi korban dari ketidaksetaraan gender akibat system budaya yang yang sudah dikonstruk oleh masyarakat sejak dahulu kala. Salah satu korban dari system budaya seperti ini adalah para janda yang ketika kehilangan suaminya tidak bisa melakukan aktifitas ekonomi dan politik karena tidak pernah diberi kesempatan untuk melakukan aktifitas tersebut sebelumnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, janda diartikan sebagai wanita yang tidak bersuami lagi, baik karena cerai maupun karena ditinggal mati oleh suaminya. [8]Janda adalah  bagian dari komunitas wanita yang mempunyai struktur dan kondisi tertentu, akibat dari perpisahan hubungan suami istri yang membentuk struktur tersendiri dengan berbagai konsekuensi dan eksistensinya.[9] Dalam Al-Qur’an, kata janda disebut dengan istilah tsayyib yang berasal dari kata “tsaaba, yatsuubu, tsaiba, yang berarti kembali dan istilah ayama yang berarti perempuan yang tidak memiliki pasangan. Kata tsayyib berarti wanita yang telah menikah, kemudian ia pada status kesendiriannya karena berpisah dengan suaminya setelah dikumpuli, baik berpisah karena perceraiain maupun karena ditinggal mati.[10]
Dalam penelitian ini, konsep janda yang peneliti maksud adalah perempuan-perempuan yang sudah menikah, tapi kemudian hidup terpisah dari suaminya, baik karena perceraiain maupun kematian. Sedangkan kehidupan sosial yang peneliti maksud dalam penelitian ini adalah segala aktifitas sosial keagamaan yang dijalani dan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari  para janda. Sedangkan konsep mengenai kemandirian ekonomi adalah segala bentuk aktifitas perekonomian yang dilakukan oleh para janda di Banten dalam memenuhi kebutuhan keluarganya.

2.     Kondisi kehidupan para janda di Serang Banten
Kelemahan wanita dalam kehidupan sosial umumnya dipengaruhi oleh struktur dan tatanan sosial serta culture masyarakat yang seringkali memposisikan wanita pada kondisi ketergantungan, baik dari sisi kesempatan, pembagian kerja, alokasi waktu dalam mengurus anak dan keperluan domestik, serta  struktur fisik.Dalam konteks budaya masyarakat Indonesia secara umum, tidak terkecuali Banten, budaya patriarki turut melemahkan posisi wanita dalam banyak hal. Sehingga, ketika mereka ditinggalkan atau diceraikan oleh suami, mereka seperti kehilangan pegangan baik secara finansial maupun secara sosial dan psikologis. Kondisi semacam ini, menurut Munir, utamanya disebabkan oleh struktur sosial yang terbentuk menjadi sebuah budaya yang membuat perempuan, khususnya janda, sebagai kelompok yang lemah yang terus membutuhkan perlindungan dan dukungan dari orang lain baik secara ekonomi, sosial, dan psikologis.[11]   
Berdasarkan data lapangan, dari 30 janda di Serang Banten yang dijadikan sampel dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan bahwa secara ekonomi, 70% atau sekitar 21 orang masuk dalam kategori janda miskin, 20% atau sekitar 6 orang janda masuk dalam kategori cukup, dan sisanya 10% atau sekitar 3 orang janda masuk dalam kategori janda kaya atau janda sukses.
Ukuran kekayaan dan kesuksesan seseorang secara ekonomi bisa dilihat dari kondisi rumah, perabotan di dalam rumah (furniture), kepemilikan tanah, sawah, kebun , kendaraan dan sejenisnya, jenis pekerjaan, tingkat keberhasilan menyekolahkan anak, serta yang terpenting adalah kondisi kebutuhan rumah tangga (pengeluaran per bulan) serta pendapatan mereka per bulan.
Selanjutnya, dari sisi pekerjaaan, dari 30 janda yang dijadikan sampel, 7 orang janda tidak memiliki usaha tetap (kerja serabutan), 5 orang janda pedagang keliling, 5 orang pembantu rumah tangga. 4 orang janda PNS, 3 orang janda pemilik lahan pertanian dan pedagang, 2 orang janda pembuat kue, dan 4 orang janda buruh pabrik. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa hanya 23,33 % perempuan janda yang memiliki pekerjaan yang layak (PNS dan pemilik lahan pertanian sekaligus sebagai pedagang). Berarti masih ada 76,67 % janda yang masih belum mendapatkan pekerjaan yang baik dan dengan penghasilan yang layak.
Meskipun sebagian besar mereka harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga, mereka tidak melupakan pendidikan bagi anak-anak mereka, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Untuk pendidikan agama, sebagian mereka mengajar langsung anak-anak mereka terutama belajar membaca al-Qur’an dan shalat, sebagian lagi ada yang menitipkan kepada ustadz, kyai, atau tetangga mereka untuk diajarkan ngaji setiap ba’da shalat magrib, sebagian lagi mengirimkan anak-anak mereka ke pondok pesantren, baik pesantren yang dekat dengan rumah mereka, atau di tempat lain. Sedangkan untuk pendidikan umum, rata-rata hanya menyekolahkan anak-anak mereka sampai ke tingkat SD atau SLTP, sebagian sampai tingkat SLTA, dan sebagian kecil sampai ke tingkat Sarjana. Para janda yang bisa menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi umumnya para janda yang memiliki warisan yang cukup banyak dari mendiang suaminya baik itu tanah, sawah, kebun, dan jenis harta lainnya, serta ada juga yang melanjutkan usaha suaminya berjualan kain di pasar atau membuka warung. Sebagian janda sukses ini berhasil mengelola keuangan keluarganya yang diwariskan oleh suaminya sehingga bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi, bahkan ada yang sudah menjadi PNS setelah mereka lulus.
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa kaum janda, terutama janda miskin, membutuhkan dukungan baik dari keluarga, masyarakat, dan pemerintah baik secara finansial maupun secara sosial danpsikologis agar mereka terus termotivasi untuk tetap tegar menjalani hidup dan memberikan pendidikan dankehidupan yang layak bagi masa depan anak-anaknya.

3.     Cara Janda mengelola kebutuhan hidup dan kemandirian ekonomi
Seorang perempuan yang ketika masih bersama suaminya menggantungkan seluruh kebutuhan ekonomi keluarganya, akan menjadi prustasi, putus asa, bingung dan depresi tentang masa depan nya dan anak-anaknya. Mereka kebingungan apa yang harus mereka lakukan agar anak-anaknya tetap bisa makan dan sekolah. Seorang janda yang sekalipun dia mendapatkan warisan melimpah dari mantan suaminya, namun ketika selama suaminya masih ada tidak pernah ikut terlibat,tidak pernah membantu suaminya mencari nafkah, bahkan tidak pernah dan tidak mau tahu urusan ekonomi keluarganya, pasti akan mengalami kebingungan ketika tiba-tiba suaminya meninggalkannya karena cerai maupun meninggal dunia. Sehingga, ketika urusan pemakaman dan pengurusan jenazah suaminya sudah selesai, mereka akan berusaha mencari jalan dan solusi untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Sebagian besar dari para janda tidak memiliki life skills dan pengalaman dalam bidang bisnis, usaha, dan perdagangan. Berbagai pilihan pekerjaan harus mereka pilih dan harus mereka kerjakan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dari hasil wawancara dengan beberapa janda yang jadi infroman dalam penelitian ini, sebagian memilih untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kota atau di rumah orang kaya yang ada di sekitar kampungnya dengan gaji ala kadarnya. Ibu E, misalnya, kebutuhan ekonomi keluarganya utamanya ditopang oleh penghasilan dari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di tetangganya yang berada walaupun dengan gaji yang sangat jauh dari cukup. Berhutang kebutuhan makanan pokok ke warung-warung menjadi solusi terbaik ketika dirumah tidak ada lagi persediaan beras dan lauk pauk, dan dibayar ketika mereka mendapatkan gaji yang seringkali tidak cukup untuk membayar hutang-hutangnya. Dia juga pernah menjadi pembantu rumah tangga di rumah seseorang di Jakarta dan di Serang selama beberapa tahun, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk pulang kampung karena khawatir dengan anak-anaknya.[12]
Selanjutnya, beberapa janda lain yang juga tidak memiliki life skills, pengalaman kerja dan dagang, dan tidak memiliki ijazah yang layak untuk bisa bekerja di pabrik, memilih berjualan keliling dengan modal seadanya. Ada yang berjualan sayur dan ikan, jualan kue, jualan peralatan dapur, dan lain sebagainya. Mereka berkeliling setiap hari dari rumah ke rumah menjajakan dagangannya. Tidak jarang mereka juga harus kepanasan dan kehujanan, dan pulang dengan dagangan yang masih banyak karena kurang pembeli. Seringkali mereka harus gulung tikar karena kekurangan modal, sementara kebutuhan makan dan jajan anak-anak harus terus dipenuhi. Tapi mereka tidak pernah pasrah dengan keadaan. Beberapa dari mereka bahkan ada yang sudah berusia di atas 5o tahun. Kondisi ini dialami oleh beberpaa janda di Serang Banten seperti Ibu M (60 th) dan ibu R (50 th)  di Ciomas, Ibu Mn dan Ibu J  di Sempu, dan Ibu Lk (55 th) di Kebaharan.
Selanjutnya, bertani dan melanjutkan usaha mantan suami, juga menjadi pilihan seorang janda untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan suaminya. Ibu Fth (58th) dan Ibu Str(64th) dua orang janda kaya dan terpandang di daerah Ciomas, misalnya, meskipun memiliki banyak anak, karena memiliki warisan yang lumayan banyak dari mendiang suaminya, dan mereka mau belajar dan bekerja keras, mereka mampu mengelola ekonominya dengan baik, sehingga bisa menyekolahkan sebagian besar anak-anaknya hingga ke tingkat Sarjana, dan sebagian sudah bekerja sebagai PNS dan di tempat lain yang cukup bagus.[13] Ada juga sebagian janda yang bekerja sebagai petani penggarap, yang menerima upah setelah panen dari pemilik lahan. Kondisi ini dialami oleh Ibu Rhyt (35 th) dan Ibu Nn (34 th) di desa Citundun, Padarincang.[14]
Ada juga para janda yang bekerja serabutan dan tidak tetap. Mereka bekerja jika ada yang mengundang untuk masak di acara-acara hajatan, atau kalau ada yang menyuruh mereka membantu tetangganya sewaktu-waktu, atau membuat kue-kue pesanan.[15]
Sebagian janda ada yang beruntung karena memiliki ijazah SMP atau SMA. Mereka bisa diterima bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik sepatu di Cikande. Mereka umumnya adalah janda muda yang baru ditinggal cerai oleh suaminya. Namun, mereka tidak bisa tinggal dengan anak-anak mereka, karena mereka harus tinggal di kontrakan di dekat pabrik. Mereka menitipkan anak mereka kepada orang tua atau keluarganya yang lain. Mereka baru bisa pulang 2 minggu sekali atau satu bulan sekali jika sudah gajihan. Cape dan sedih karena harus jauh dari anak-anaknya tidak menyurutkan niat mereka untuk bekerja dan mencari uang demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Kondisi ini dialami oleh S.T. (34 th) dan Lsn (35th).[16] Sebagian janda muda yang lain, bekerja sebagai pelayan toko di Jakarta, seperti yang dialami oleh Ibu Ftm (32 th) dan Ibu Nng (34 th).[17]

4.     Motivasi yang membuat Para Janda semangat dalam menjalani hidup dan memenuhi kebutuhan ekonomi mereka
Seorang janda seringkali kehilangan motivasi hidup ketika mereka ditinggal suaminya dalam kondisi kekurangan ekonomi dan tidak memiliki life skills dan pengalaman kerja. Namun, banyak juga janda yang mampu memotivasi dirinya untuk tetap tegar dan bertahan, dan terus semangat mencari nafkah dan mencari pekerjaan apapun demi anak-anaknya. Dengan berbagai tantangan dan kesulitan, mereka mencoba mencari solusi untuk bisa bertahan hidup.
Berdasarkan data hasil interview dengan beberapa janda yang jadi sampel penelitian ini, paling tidak ada enam motivasi yang membuat mereka semangat dalam menjalani hidup dan memenuhi kebutuhan ekonomi mereka, yaitu:
Ø  Pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga (terutama kebutuhan pangan)
Ø  Pemenuhan kebutuhan biaya pendidikan anak-anak
Ø  Keyakinan bahwa Allah SWT. Akan membantunya dalam menjalani hidup dan mengatasi kesulitan hidup mereka
Ø  Keinginan agar anak-anaknya sukses
Ø  Ingin merubah keadaan atau kondisi
Ø  Adanya motivasi bahwa ‘hidup itu penuh perjuangan dan kita tidak boleh menyerah dengan nasib, selalu ada jalan dan ada rizky kalau kita mau berusaha dan bekerja keras’
Ø  Wasiat suami untuk terus memelihara dan mendidik anak-anak mereka hingga mereka sukses.

5.     Kendala dan tantangan para janda dalam menjalani hidup dan mengelola kebutuhan ekonomi mereka.
Ada banyak kendala dan tantangan yang harus dihadapi dan dijalani oleh para janda dalam menjalani hidup tanpa suami. Begitu juga ketika mereka harus berjuang untuk mengatasi dan memenuhi kebutuhan ekonomi mereka, beragam tantangan harus siap mereka hadapi dengan beragam konsekuensinya.
Berikut adalah tantangan dan rintangan terbesar yang sering mereka hadapi dalam menjalani hidup dan dalam mengelola kebutuhan ekonomi keluarga tanpa suami:
Ø  Sulitnya mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang sesuai
Ø  Tidak memiliki life skills
Ø  Tidak memiliki ijazah yang dibutuhkan dalam dunia kerja
Ø  Tidak memiliki pengalaman dalam berdagang maupun bisnis lainnya
Ø  Kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat
Ø  Kurangnya perhatian dan kepedulian dari pemerintah, lembaga maupun warga sekitar
Ø  Kesulitan mencari modal usaha
Ø  Biaya sekolah yang semakin tinggi
Ø  Kurangnya kebersamaan dengan anak-anak sehingga tidak memiliki waktu yang banyak untuk mengawasi anak-anak
Ø  Seringkali ada pandangan yang negative tentang janda. Ketika mereka harus kerja sampai tengah malam, ada saja orang yang mengecap dan memandang buruk tentang pekerjaan mereka.
Kondisi-kondisi  yang disebutkan di atas memang menjadi masalah yang seringkali bisa melemahkan para janda dalam menjalani hidup dan dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Tidak jarang mereka hanya bisa menangis dengan kondisi dan masalah yang mereka hadapi. Berdo’a dan tetap berusaha dan bekerja semaksimal mungkin dengan satu harapan suatu saat kondisi bisa berubah menjadi lebih baik adalah jalan satu-satunya yang harus mereka pegang teguh untuk tetap bisa survive dan bisa mengurus anak-anaknya dan memenuhi segala kebutuhan keluarganya.

E.    Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa janda adalah sekelompok perempuan yang membutuhkan perhatian dan kepedulian kita bersama, terutama pemerintah, agar mereka bisa menjalani hidup dengan layak dan bisa terus mengasuh dan memberikan pendidikan yang layak bagi putra-putrinya agar memiliki masa depan yang  lebih baik.
Di Serang Banten, secara ekonomi sebagian besar para janda atau sekitar 76,67 %, berada dalam kategori ekonomi lemah yang membutuhkan kepedulian dan bantuan dari berbagai pihak, baik dari bantuan moril maupun materi agar mereka bisa mandiri secara ekonomi.
Dengan melihat kondisi para janda di Serang Banten, kita bisa tahu bahwa kebutuhan life skills dan modal usaha seharusnya menjadi prioritas bagi pemerintah, lembaga, ataupun perseorangan yang memiliki kepedulian terhadap kehidupan para janda sehingga mereka bisa mendapatkan penghasilan yang cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya tanpa harus meninggalkan anak-anak mereka dalam jarak yang cukup jauh dan waktu yang lama. Karena hal ini bisa berpengaruhi terhadap psikologi dan juga pembentukan karakter anak-anak mereka jika mereka hidup jauh dari orang tua dengan kondisi ekonomi yang memprihatinkan.
Beragam motivasi yang mereka miliki harus tetap terjaga agar mereka tetap semangat dan termotivasi untuk terus berdo’a dan bekerja maksimal sehingga bisa terus survive dan bisa memberikan kehidupan dan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka. Oleh karena itu, pemerintah secara kelembagaan, dan semua elemen masyarakat secara kolektif dan individual harus bisa terus memberikan dukungan moril dan materil bagi para janda agar mereka bisa mandiri secara ekonomi.




No comments:

Post a Comment