Monday 30 December 2013

PENGKARAKTERAN WIRAUSAHA MUSLIM




Wazin
wazinbaihaqi@iainbanten.ac.id
wazin-baihaqi.blogspot.com


Abstrak

Setiap perilaku individu yang nampak ketika ia berinteraksi dengan orang lain, selalu dipengaruhi oleh sikapnya. Sikap merupakan kumpulan dari berfikir, keyakinan dan pengetahuan yang dihayati oleh seseorang sehingga membentuk kecenderungan beperilaku.
Istilah akhlak hanya dikenal dalam khasanah keilmuan agama Islam. Akhlak adalah tabiat  yang dimiliki individu, yang tanpa mempertimbangkan lebih dahulu dalam melakukan perbuatan baik dan menjadi kebiasaan yang berulang-ulang. Pengertian akhlak ini  menunjukkan bahwa akhlak merupakan sikap yang bersifat menetap dan tidak hanya sekedar kumpulan aktivitas atau tingkah laku manusia. Akhlak adalah sikap hidup muslim yang berisi seperangkat nilai dan pemahaman tentang hal-hal yang baik dan buruk yang berfungsi mengatur hubungan antar manusia, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan lingkungannya.
Tulisan ini membahas tentang kaitan antara sikap wirausaha muslim dengan akhlak Islam.Wirausaha diartikan sebagai orang yang mempunyai semangat, sikap, perilaku dan kemampuan kewirausahaan.Sedangkan kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan serta menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Dari pengertian wirausaha dan kewirausahaan ini dapat dinyatakan bahwa wirausaha menunjuk pada penggambaran sebuah karakter yang harus dimiliki oleh seseorang yang sedang menjalankan usahanya demi memperoleh keuntungan. Istilah karakter dalam psikologi digunakan kepada integrasi kebiasaan, sentimen dan ideal yang membuat tindakan seseorang relatif stabil dan dapat diramalkan  Meurut antropologi dan sosiologi, karakter biasanya dikaitkan dengan sifat suatu kelompok masyarakat.
Akhlak Islam merupakan konsep ideal penggambaran karakter muslim sebagai individu maupun kelompok. Terdapat pembahasan khusus tentang akhlak Islam yang mendasari karakter wirausaha muslim yang disebut dengan etika bisnis Islam. Akhlak yang mendasari bisnis Islam dipengaruhi oleh pemahaman-pemahaman yang bersumber dari Al  Qur’an dan Sunnah (hadist) yang mencakup beberapa point, diantaranya adalah: bahwa harta adalah milik Allah dan manusia hanya diberi kewenangan untuk mengelolalanya, perintah untuk berlaku jujur dan berperilaku baik serta ramah dalam melakukan transaksi bisnis. 
Pada akhir tulisan ini dikutip beberapa penelitian yang membuktikan bahwa akhlak Islam berpengaruh signifikan  terhadap perkembangan bisnis yang dilakukan oleh pedagang muslim.

Kata Kunci: Pengkarakteran, Wirausaha, Muslim

A.      Pendahuluan

            Tingkah laku adalah segala perbuatan manusia yang dapat diamati oleh panca indera. Tingkah laku manusia dilatarbelakangi oleh sikap yang dimiliki. Jika tingkah laku dapat diamati oleh panca indera, sikap belum merupakan suatu tindakan tetapi merupakan kecenderungan tingkah laku. Dapat dikatakan, bahwa tingkah laku dipengaruhi oleh sikap. Sikap sifatnya lebih menetap, dan bukan bersifat reaksional, tetapi didasarkan oleh seperangkat pengetahuan dan pemaham yang diyakini oleh individu.
            Sikap memiliki 3 komponen yaitu:
1.       Komponen kognisi yang berhubungan dengan keyakinan, ide, dan konsep.
2.       Komponen afeksi yang menyangkut kehidupan emosional seseorang.
3.       Komponen konasi yang merupakan kecenderungan tingkah laku[i].  
Dari komponen kognisi dapat dikatakan bahwa sikap merupakan kumpulan dari berfikir, keyakinan dan pengetahuan. Sedangkan komponen afeksi mencakup penghayatan seseorang terhadap pengetahuan dan keyakinannya tersebut, sehingga memiliki evaluasi negatif dan positif terhadap obyek. Sedangkan konasi adalah kecenderungan bertingkah laku, atau tahap kesiapan untuk bertingkah laku.
Menurut para ahli, akhlak adalah tabiat  yang dimiliki individu, yang tanpa mempertimbangkan lebih dahulu dalam melakukan perbuatan baik dan menjadi kebiasaan yang berulang-ulang. Pengertian akhlak ini  menunjukkan bahwa akhlak merupakan sikap yang bersifat menetap dan tidak hanya sekedar kumpulan aktivitas atau tingkah laku manusia. Akhlak adalah sikap hidup muslim yang berisi seperangkat nilai dan pemahaman tentan hal-hal yang baik dan buruk yang berfungsi mengatur hubungan antar manusia, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan lingkungannya.
Wirausaha merupakan profesi yang biasanya ditujukan kepada orang yang melakukan usaha/kegiatan sendiri dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Kewirausahaan mencakup kegiatan memutar modal dengan cara mengolah sumber daya yang ada, sehingga mendapat keuntungan.
Sebagai pandangan hidup yang menyeluruh, Islam telah memberi petunjuk tentang bagaimana seharusnya setiap muslim dalam mencari penghidupan. Beberapa perintah Al Qur’an menunjuk pada pembentukan karakter wirausaha muslim seperti perintah agar manusia mencari nafkah dengan cara halal, juga agar manusia mengutamakan kepentingan akhirat dengan tidak meninggalkan kenikmatan dunia, perintah agar tidak membuat kerusakan di muka bumi serta senantiasa berbuat jujur. 
Secara lebih khusus, pengkarakteran wirausaha muslim tumbuh dalam wacana yang disebut dengan etika bisnis Islam. Dalam pandangan penulis, etika bisnis Islam adalah akhlak Islam dalam berbisnis. Karena itu etika bisnis merupakan bagian khusus dari akhlak Islam itu sendiri.
Dalam tataran praksis, etika bisnis Islam tampak dalam bentuk perilaku wirausaha muslim. Hal ini dibuktikan dengan beberapa penelitian tentang perilaku pedagang muslim yang pernah dilakukan di Indonesia seperti penelitian yang dilakukan oleh Geertz tentang pedagang muslim di Mojokuto pada tahun 1950, penelitian yang dilakukan oleh Castles tentang pengusaha muslim di Kudus pada tahun 1967 dan penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Sobary tentang pedagang sektor informal di Betawi pada tahun 1991. Semua hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan agama Islam terhadap pengkarakteran wirausaha muslim.

B.      Akhlak Islam Sebagai Sikap Hidup Muslim

Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk (bahasa Arab)  yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat. Secara terminologi, akhlak  berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik[ii]. Tiga pakar di bidang akhlak yaitu Ibnu Miskawaih, Al Gazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu[iii]. Prof. Dr. Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak ialah kebiasaan kehendak[iv]. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti, tabiat, kelakuan, watak[v]. Lebih lanjut dijelaskan bahwa “Budi” berarti sadar atau yang menyadarkan atau alat kesadaran.” Pekerti” berarti kelakuan. Secara terminologi, kata budi ialah apa yang ada pada manusia yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran dan rasioSedangkan pekerti ialah apa yang terlihat pada manusia, yang disebut behavior (tingkah laku).
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa akhlak itu mencakup 5 istilah yang saling terkait yaitu pemikiran, kehendak sadar, penilaian baik-buruk dan benar-salah serta tingkah laku. Istilah pemikiran yang terdapat dalam definisi akhlak menunjuk pada aspek pemahaman terhadap seperangkat pengetahuan tertentu. Kehendak sadar adalah pilihan yang diputuskan oleh individu berdasarkan alasan-alasan tertentu. Kehendak sadar dalam akhlak merupakan bentuk keyakinan akan seperangkat pengetahuan tersebut. Penilaian baik dan buruk oleh individu dilakukan berdasarkan pengetahuan dan keyakinannya tersebut. Berdasarkan pemahaman dan penilaian inilah maka terdapat kesiapan untuk bertingkah laku (konasi). Tingkah laku bersifat reaktif, tetapi reaksi dari tingkah laku ini didasarkan pada sikap yang dimiliki oleh individu. Jadi jelaslah bahwa akhlak merupakan satu bentuk sikap, sekaligus perilaku yang dilatarbelakangi oleh seperangkat pengetahuan, keyakinan, nilai, norma dan tata aturan.
Akhlak adalah kosa kata yang berasal dari bahasa Arab dan merupakan istilah dan pemahaman yang terdapat dalam agama Islam. Bahkan akhlak dalam Islam merupakan missi utama ajaran Islam, seperti dinyatakan dalam hadist: “innamaa buistu li utammima makarimal akhlak” (HR Baihaki dari Abu Hurairoh), yang artinya: Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak
Dikaitkan dengan makna dari istilah akhlak di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akhlak merupakan sikap yang mencakup seperangkat pengetahuan dan pemikiran yang termanfestasi dalam perilaku. Akhlak Islam mengatur hubungan manusia dengan manusia(habluminannas) dan hablumminallah (hubungan manusia dengan Allah). Bentuk hubungan antar manusia yang ditetapkan dalam Islam mencakup semua bentuk hubungan antar individu, kelompok dan masyarakat. Sedangkan bentuk hubungan individu dengan Allah mencakup semua bentuk hubungan yang mengisyaratkan kesetiaan kepada Allah (loyalitas) yang disebut dengan akidah. Habluminallah dan habluminannas pada hakekatnya merupakan bentuk peribadatan (penyembahan ) kepada Allah. Dengan demikian akhlak Islam adalah sebentuk cara pandang yang menyeluruh tentang kehidupan, baik kehidupan antar manusia dan lingkungannya maupun antara manusia dengan Tuhannya.
Dari segi sifatnya akhlak dibagi menjadi 2 bagian yaitu akhlak tercela (al-Akhlak al-Madzmumah) yaitu kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Akhlak terpuji (al-Akhlak al-Mahmudah), yaitu merupakan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan yang bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Akhlak yang tercela dikenal dengan sifat-sifat mukhlikat, yaitu segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan dan kehancuran diri yang tentu saja bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah kepada kebaikan[vi]. Pada dasarnya akhlak tercela terbagi menjadi 2 bagian. Pertama, maksiat lahir, misalnya maksiat mata, maksiat tangan dan sebagainya. Kedua maksiat batin yaitu penyakit-penyakit batin seperti dengki, hasud dan sebagainya.
Menurut Al Ghazali, berakhlak mulia atau terpuji artinya menghilangkan semua adat kebiasaan yang tercela yang sudah digariskan oleh agama Islam serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela tersebut, kemudian membiasakan adat kebiasaan yang baik, melakukannya dan mencintainya[vii]. Akhlak terpuji meliputi 2 aspek yaitu tata lahir dan tata batin. Tata lahir berarti melakukan seluruh amalan ibadah yang diwajibkan oleh Tuhan termasuk berbuat baik pada sesama manusia dan lingkungan. Tata batin adalah sifat baik, yang terpuji yang dilakukan oleh batin seperti tawakkal, sabar dan sebagainya.
Jika dilihat dari obyeknya, akhlak dibagi menjadi 3 bagian yaitu akhlak kepada Allah, akhlak kepada sesama manusia, akhlak kepada alam selain manusia[viii]. Akhlak kepada Allah meliputi membenarkan segala sesuatu yang diberitakan oleh Allah dan mentaati hukum-hukum Allah. Akhlak kepada sesama manusia mencakup hubungan yang baik dengan orang tua, guru, anak dan sebagainya. Sedangkan akhlak kepada alam selain manusia misalnya dengan menjaga keseimbangan dan kelestarian alam dan sebagainya.
Akhlak sumber dari wahyu (Al Qur’an), maka wacana yag berkembang dalam ilmu akhlak adalah usaha menafsirkan Al Qur’an dan Sunnah Sedangkan akhlak diorientasikan kepada keselamatan dunia dan akhirat. Keselamatan dunia akhirat merupakan alasan untuk berakhlakul karimah. Keselamatan di dunia memiliki makna bahwa tata batin dan tata laku yang berakhlakul karimah adalah sesuai fitrah (sifat kebaikan) manusia sehingga menghasilkan kehidupan yang tenang, hamonis dan berbahagia.
Penjelasan lebih ringkas tentang akhlak dapat dijelaskan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Definisi Akhlak
Ruang Lingkup Akhlak
Obyek Akhlak
Perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu

- Penilaian baik dan buruk bersumber pada wahyu
- tata aturan tata lahir dan tata batin
-bersifat mutlak
-bersifat ketuhanan dan ditujukan pada manusia
- berorientasi kepada keduniaan dan keakhiratan

-    Akhlak kepada Allah
-    Akhlak kepada sesama Manusia
-    Akhlak kepada alam (lingkungan)


Dari penjelasan ringkas ini dapat dilihat bahwa penekanan akhlak adalah pada perbuatan baik (akhlakul karimah) yang dilakukan tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu, artinya bahwa akhlak lebih menitikberatkan pada pembentukan sikap yang bersifat  menetap, yang berada di atas pertimbangan rasional. Karena akhlak bersifat menetap maka perbuatan/ tingkah laku tersebut dilakukan terus menerus (konsisten).

C.      Pengkarakteran Wirausaha

Wirausaha berasal dari kata “wira” yang berarti pahlawan, berani[ix]. Sedangkan “usaha” diartikan sebagai ikhtiar, upaya, daya upaya[x].  Apabila istilah “wira” dan “usaha” ini digabungkan maka  memiliki pengertian bahwa wirausaha adalah seseorang yang memiliki karakter berani dalam berusaha. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,  wirausaha didefinisikan sebagai orang yang memiliki kepandaian atau bakat untuk mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya serta mengatur permodalan operasinya[xi]. Definisi wirausaha dalam kamus besar bahasa Indonesia ini lebih menekankan kepada kemampuan manajemen seseorang dalam mengelola usahanya.
Dalam lampiran Keputusan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusahan Kecil Nomor 961/KEP/M/XI/1995, dicantumkan:
1.      Wirausaha adalah orang yang mempunyai semangat, sikap, perilaku dan kemampuan kewirausahaan.
2.     Kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan serta menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh  keuntungan yang lebih besar.
Jadi istilah wirausaha,  mengarah kepada orang yang melakukan usaha/kegiatan sendiri dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Sedangkan kewirausahaan menunjuk kepada sikap mental yang dimiliki seorang wirausaha dalam melaksanakan usaha/kegiatan.
Kewirausahaan dapat dilihat dari 2 aspek, yaitu kewirausahaan sebagai suatu sumber daya dan kewirausahaan sebagai suatu proses. Kewirausahaan dilihat sebagai sumber daya adalah seseorang yang membawa sumber daya berupa tenaga kerja, material, dan asset lainnya pada suatu kombinasi yang menambahkan nilai yang lebih besar daripada sebelumnya dan juga dilekatkan pada orang yang membawa perubahan, inovasi, dan aturan baru. Kewirausahaan dalam arti proses yang dinamis adalah kewirausahaan merupakan sebuah proses mengkreasikan dengan menambahkan nilai, sesuatu yang dicapai melalui usaha keras dan waktu yang tepat dengan memperkirakan dana pendukung, fisik, dan resiko serta akan menerima reward yang berupa keuangan dan kepuasan serta kemandirian personal.
Beberapa buku yang membahas tentang kewirausahaan pada umumnya mengawali pembahasannya dengan pembentukan karakter wirausaha, seperti komitmen, sifat optimis, tangguh, tekun, penuh perhitungan dan lain sebagainya. Bahkan pembahasan tentang wirausaha hampir selalu menggunakan bahasa yang persuasif dan memotivasi. Dengan demikian masalah kewirausahaan diawali dengan nilai-nilai positif yang menggerakan dan mengarahkan.
Karakter adalah watak, sifat atau tabiat[xii]. Karakter pada umumnya ditujukan pada sifat suatu obyek mahluk hidup, terutama manusia. Karakter merupakan bagian dari pembahasan ilmu-ilmu sosial seperti psikologi, antropologi atu sosiologi. Pembahasan tentang karakter pada ilmu psikologi pada umumnya terbatas pada manusia sebagai individu (perseorangan). Istilah karakter dalam psikologi digunakan kepada integrasi kebiasaan, sentimen dan ideal yang membuat tindakan seseorang relatif stabil dan dapat diramalkan[xiii].  Meurut antropologi dan sosiologi, karakter biasanya dikaitkan dengan sifat suatu kelompok yang dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya atau posisi-posisi sosialnya dalam sebuah struktur masyarakat.
Jika karakter menunjuk pada integrasi kebiasaan, sentimen dan ideal yang berpengaruh terhadap tindakan seseorang yang relatif stabil, tentunya karakter tersebut bersumber dari sebuah konsep ideal tentang  kepribadian yang integratif, menunjuk pada satu sikap dan reaksi positif tertentu dalam menghadapi permasalahan kehidupan. Beberapa definisi yang menggambarkan siapa itu wirausaha, memakai beberapa istilah yang menunjukkan sebuah pengkarakteran seperti sifat semangat, inovatif dan kreatif.
Menurut Peggy A. Lambing dan Charles R. Kuehl dalam bukunya yang berjudul Entrepreneurship (1999), kewirausahaan adalah suatu usaha yang ”kreatif” yang membangun satu value dari yang belum ada menjadi ada dan bisa dinikmati oleh orang banyak[xiv]. Yang perlu digarisbawahi dari definisi di atas adalah usaha “kreatif”. Kreatif lebih menunjuk pada karakter dan kemampuan individu atau perpaduan antara sikap mental dan keahlian dalam mencipta dan mengelola. Perpaduan antara karakter dan kemampuan ini tampak pada empat unsur pokok yang harus dimiliki untuk menjadi entrepreneur sukses, yaitu:
1.     Kemampuan (hubungannya dengan skill)
a.      Dalam membaca peluang
b.     Dalam berinovasi
c.      Dalam mengelola
d.     Dalam menjual
2.     Keberaniannya (hubungannya dengan karakter)
a.      Dalam mengatasi ketakutannya
b.     Dalam mengendalikan resiko
c.      Untuk keluar dari zona nyaman
3.     Keteguhan hati (hubungannya dengan karakter)
a.      Presisten (ulet, pantang menyerah)
b.     Determinasi (teguh akan keyakinannya)
c.      Kekuatan akan pikirannya (power of mind) bahwa anda juga bisa
4.     Insipirasi sebagai cikal bakal untuk menemukan peluang (hubungannya dengan experiences)[xv].
Secara lebih rinci, dapat dijelaskan bahwa karakter wirausaha meliputi: Pertama, memiliki motif berprestasi tinggi. Para ahli mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki minat berwirausaha pada umumnya memiliki motif berprestasi (achievement motive).) Motif berprestasi ialah suatu nilai sosial yang menekankan pada hasrat untuk mencapai yang terbaik guna mencapai kepuasan secara pribadi[xvi]. Kebutuhan berprestasi wirausaha terlihat dalam bentuk tindakan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dan lebih efisien dibandingkan sebelumnya. Wirausaha yang memiliki motif berprestasi pada umumnya memiliki ciri-ciri:
-        Ingin mengatasi sendiri kesulitan dan persoalan-persoalan yang timbul pada dirinya.
-        Selalu memerlukan umpan balik yang segera untuk melihat keberhasilan dan kegagalan.
-        Memiliki tanggung jawab personal yang tinggi.
-        Berani mengambil resiko dengan penuh perhitungan.
-        Menyukai tantangan dan melihat tantangan secara seimbang
Kedua, Selalu Perspektif. Seorang wirausahawan hendaknya mampu menatap masa dengan dengan lebih optimis. Melihat ke depan dengan berfikir dan berusaha. Memanfaatkan peluang dengan penuh perhitungan. Kuncinya pada kemampuan untuk menciptakan sesuatu.
Walaupun dengan risiko yang mungkin dapat terjadi, seorang yang perspektif harus tetap tabah dalam mencari peluang tantangan demi pembaharuan masa depan. Pandangan yang jauh ke depan membuat wirausaha tidak cepat puas dengan karsa dan karya yang sudah ada. Karena itu ia harus mempersiapkannya dengan mencari suatu peluang.
Ketiga, memiliki kreatifitas tinggi. Kreativitas adalah kemampuan untuk berfikir yang baru dan berbeda. Oleh karena itu seorang wirausaha dituntut untuk  berfikir dan bertindak dengan cara-cara baru. Menurut Zimmerer dalam buku “Entrepreneurship And The New Venture Formation”, mengungkapkan bahwa ide-ide kreativitas sering muncul ketika wirausaha melihat sesuatu yang lama tetapi berfikir untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda[xvii]. Kreativitas adalah menciptakan sesuatu dari yang asalnya tidak ada (generating something from nothing)[xviii]. Hasil dari kreativitas adalah inovasi. Inovasi adalah kemampuan untuk menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan persolan-persolan dan peluang untuk meningkatkan dan memperkaya kehidupan.
Keempat, memiliki perilaku inovatif tinggi. Potensi kemanusiaan yang dimiliki manusia adalah  daya imajinasi kreatif. Manusia merupakan satu-satunya mahluk ciptaan Tuhan yang dianugerahi daya imajinasi kreatif. Dengan daya imajinasi kreatif, manusia memiliki kemampuan menciptakan sesuatu yang belum ada yaitu memodifikasi beberapa unsur yang tersedia dan dengan itu menciptakan sesuatu yang baru. Semua manusia pada dasarnya memilik daya inovasi, namun sejauhmana potensi ini bisa berlanjut menjadi karya yang konkrit tergantung kepada kemauan untuk mengekplorasi semua kemampuan yang ada dalam diri manusia. Seeorang wirausaha idealnya selalu berusaha untuk mengekplorasi semua kemampuan inovatifnya dalam bidang yang ditekuninya. 
Kelima, memiliki komitmen, etos kerja dan tanggung jawab dalam berwirausaha. Komitmen adalah keterikatan dan usaha untuk melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam konteks organisasi, komitmen kemauan dan kemampuan untuk menyelaraskan perilaku dengan kebutuhan, prioritas dan tujuan organisasi. Hal ini mencakup cara mengembangkan dan memenuhi kebutuhan organisasi, yang intinya mendahulukan kepentingan organisasi dari pada kepentingan pribadi. Jadi seorang wirausaha hendaknya memiliki keberanian untuk mendahulukan kepentingan usahanya atau organisasi usahanya daripada kepentingan pribadi serta mampu berkorban waktu dan konsentrasi demi kemajuan usahanya. Menurut Geertz, etos  adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup[xix]. Terdapat pandangan filosofis dan moral tertentu bagi manusia dalam memandang kehidupan ini, misalnya tentang konsep waktu, konsep bekerja. Kemudian etos kerja ini dijabarkan dalam visi dan misi yang memotivasi seseorang dalam bekerja . Maka etos ini mewarnai setiap sikap dan perilaku orang yang bersangkutan. Seorang wirausaha hendaknya memiliki etos kerja yang didasarkan pada satu pandangan filosofis dan moral tertentu atau diadasarkan pada satu visi dan misi tertentu.
Seorang wirausaha hendaknya memiliki tanggung jawab terhadap setiap perkembangan usahanya. Penjabaran dari sikap tanggung jawab ini diantaranya adalah konsisten dalam berusaha dan mampu menanggung konsekuensi dari perkembangan usahanya.
Kelima. memiliki jiwa kepemimpinan. Kepemimpinan atau leadership adalah suatu kemampuan untuk mempengaruhi orang lain bertindak sesuai dengan keinginan seseorang yang memimpin tersebut. Kemampuan kepemimpinan seorang usaha tidaklah menggunakan kekuatan seorang diktator, tatapi memiliki kecerdikan seorang negoitator.
Keenam, memiliki kemampuan manajerial. Seorang wirausaha hendaknya memiliki kemampuan untuk manajerial, khususnya mengenai bidang yang digelutinya. Kemampuan manajerial itu secara garis besar mencakup kemampuan perencanaan, pengorganisasian, pengelolaan, pemasaran, dan pengawasan. Kemampuan manajerial ini dapat dipelajari dari pendidikan dan pelatihan, juga dari pengalaman.
Ketujuh, memiliki keterampilan personal. Keterampilan personal itu mencakup:
-         Percaya diri dan mandiri atas usaha yang ditekuni.
-        Mau dan mampu mencari dan menangkap dan memanfaatkan peluang yang menguntungkan.
-        Mau dan mampu bekerja keras dan tekun dalam menghasilkan barang dan jasa.
-        Memiliki kemampuan dalam berkomunikasi dalam negoisasi
-        Menghadapi hidup dan menangani usaha dengan terencana,jujur, hemat, dan disiplin.
-         mencintai kegiatan usahanya dan perusahaannya
-         mau dan mampu meningkatkan kapasitas diri sendiri dan perusahaan.

D.      Akhlak Islam Dalam Etika Bisnis Islam

Istilah akhlak dan etika, memiliki perbedaan secara historis. Istilah akhlak terdapat dalam khasanah keilmuan Islam, sedangkan etika merupakan istilah yang tumbuh dari khasanah keilmuan Barat. Dua istilah ini lahir dari paradigma keilmuan yang berbeda. Istilah ahlak timbul dari paradigma keilmuan yang teologis. Segala sesuatu istilah dan pemahaman yang tumbuh dari keilmuan yang teologis, selalu mengikutsertakan peran ketuhanan dalam konsep-konsep keilmuannya. Sedangkan istilah etika tumbuh dari paradigma keilmuan yang sekuler, yang memandang bahwa kebenaran sebuah pengetahuan selalu disandarkan pada standar ilmiah yang bersifat empiris dan fenomenanya dapat ditangkap oleh panca indera. Tradisi keilmuan Barat, tidak mengikutsertakan informasi-informasi yang tidak dapat ‘dipertanggungjawabkan’ secara empiris, dan dengan demikian masalah ketuhanan adalah masalah di luar wilayah keilmuan.
Melalui perkembangan peradaban, sistem sekuler mengasumsikan sejumlah kode moralitas yang sangat entropis[xx], karena konsep moral dari sistem etika tersebut berdiri di atas nilai-nilai temuan manusia[xxi]. Sedangkan didalam Islam, asumsi-asumsi tentang etika bisnis didasarkan pada ayat-ayat Al Qur’an yang tidak berubah sepanjang zaman. Ketika seseorang berbicara masalah akhlak, lazimnya telah terkandung di dalamnya orientasi ketuhanan. Sedangkan ketika seseorang berbicara masalah etika maka wilayah yang dibahas adalah tentang perilaku baik-buruk menurut adat dan kebiasaan, serta berfokus kepada masalah hubungan antar manusia saja. Penyerapan istilah “etika” dalam keilmuan binis Islam pada dasarnya adalah usaha untuk mendekatkan (akomodatif) konsep-konsep akhlak bisnis Islam ke dalam khasanah keilmuan mutakhir yang sekarang ini masih didominasi keilmuan Barat sekuler. Sesungguhnya pengertian etika bisnis Islam yang bersifat ketuhanan dan dengan orientasi keakhiratan, memiliki perbedaan karakteristik dengan  etika bisnis sekuler karena memiliki wilayah pemahaman yang berbeda.
Akhlak Islam tumbuh dari sistem kepercayaan yang menjadi sikap. Perilaku baik dalam konsep akhlak Islam adalah manfestasi yang secara  otomatis timbul dari sistem kepercayaan ini. Pernyataan ini mengacu pada penjelasan sebelumnya bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan tanpa mempertimbangkan pikiran lebih dahulu. Dengan demikian kepantasan perilaku baik dan buruk dalam akhlak utamanya mengacu pada konsep dasar yang tidak berubah yaitu nash-nash dalam Al Qur’an dan hadist. Berbicara tentang etika bisnis Islam berarti membahas akhlak Islam khusus dalam dunia bisnis. Kajiannya dimulai dari pengkajian tentang ayat-ayat Al Qur’an dan hadist rasul.
Akhlak yang mendasari bisnis Islam yang hendaknya senantiasa  dipegang oleh setiap pengusaha muslim yaitu keyakinan bahwa harta adalah milik Allah dan manusia hanyalah bertugas untuk mengelolanya. Orang yang bertugas dalam mengelola sudah pasti harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh pemiliknya dan tidak boleh melanggarnya, dalam hal ini pemiliknya adalah Allah, seperti dinyatakan dalam Q.S An-Najm (53): 31;
. ¬!ur $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# yÌôfuÏ9 tûïÏ%©!$# (#q䫯»yr& $yJÎ/ (#qè=ÏHxå yÌøgsur tûïÏ%©!$# (#qãZ|¡ômr& Óo_ó¡çtø:$$Î/ ÇÌÊÈ  
Artinya: Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (syurga).
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa konsep kepemilikan itu bersifat transendental. Selain itu dalam ayat ini dinyatakan bahwa perbuatan baik dan buruk akan mendapat balasan dari Allah berupa pahala dan dosa yang menunjukkan orientasi keakhiratan. Artinya bahwa akhlak dalam etika bisnis Islam akan selalu disertai dengan imbalan yang ditentukan oleh Allah. Tentu saja konsep ini sangat berbeda dengan pemahaman etika yang dijelaskan oleh ilmu ekonomi sekuler yang tidak mengikutsertakan aspek ketuhanan, bersifat keduniawian dan sangat kontekstual (dipengaruhi oleh kepantasan di zamannya).
            Islam sangat menghargai usaha bisnis yang dilakukan ummatnya. Dalam hadist dinyatakan bahwa “ Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya akan bersama para nabi , orang-orang yang benar-benar tulus dan para syuhada.[xxii]”. Prinsip yang pokok dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam Islam kejujuran adalah syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulallah bersabda; “Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (HR. Al-Quzwami). Rasulallah selalu bersikap jujur dalam berbisnis dan bersabda:” Siapa yang menipu kami maka dia bukan kelompok kami” (H.R. Muslim).
Allah juga merahmati para pebisnis muslim yang berperilaku baik dalam melakukan bisnisnya seperti dinyatakan dalam hadist: “Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada setiap orang yang bersikap baik ketika menjual, membeli dan membuat pernyataan.[xxiii]” Setiap pebisnis muslim harus bersikap ramah terhadap pembelinya. Keharusan berperilaku yang baik ini juga dinyatakan dalam hadist: “Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam berbisnis (H.R. Bukhari dan Tarmizi).
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan membuktikan bahwa akhlak Islam berpengaruh signifikan  terhadap perkembangan bisnis yang dilakukan oleh pedagang muslim. Clifford Geertz melakukan penelitian tentang pengaruh agama Islam terhadap pengkarakteran pedagang muslim di Mojokuto Jawa Timur pada tahun 1950. Dalam bukunya yang berjudul Peddlers and Princes, Geertz mengungkapkan peran sentral kelas menengah Muslim dalalm bidang wiraswasta  di Mojokuto. Sebagai pengusaha kecil, para pedagang muslim di Mojokuto ini profesioanal hemat, rajin dan saleh.  Mereka menjadi pasaing bisnis yang gigih dan tidak kenal menyerah terhadap pengusaha-pengusaha Cina.
Tingkah laku pedagang muslim Mojokuto menurut Geertz sangat khas, terutama jika dilihat dari struktur sosial masyarakat Jawa yang hanya mengenal 2 kelas sosial yaitu kelas priyayi dan kelas wong cilik. Munculnya pedagang muslim yang disebut dengan wong dagang sebagai kelas baru, menimbulkan harapan akan munculnya kelas menengah yang sifat dan tingkah lakunya berbeda dari kelas-kelas dominan yang sudah ada.
Kelas pedagang muslim di Mojokuto ini memiliki gaya hidup dan lingkungan sendiri yang berbeda, juga cara berdagang yang berbeda dari budaya Jawa pada umumnya. Menurut analisi Geertz, para pedagang muslim ini memiliki semangat niaga yang bukan dari kultur jawa, tapi dari agama Islam.
Geertz mengemukakakan data empiris bahwa dari dari tujuh toko yang modern dan maju di kota kecil itu, enam diantaranya dimiliki oleh pedagang muslim, sedangkan dari 24 pabrik yang berdiri, 21 diantaranya dimiliki oleh pengusaha muslim yang saleh. Dalam konteks ini, dorongan keagamaan di kalangan kelas pedagang muslim menjadi sangat jelas, dari pedagang tradisional yang biasanya dianggap rendah, beranjak menjadi pedagang-pedagang yang dihormati di komunitas kota; demikian penjelasan Geertz.
Castles pada tahun 1967 melakukan penelitian yang hampir sama dengan Geertz dengan meneliti para pengusaha muslim di Kudus. Dalam bukunya yang berjudul Religion, Politic ang Economic Behavior , Castles menggambarkan tentang para pengusaha muslim yang gigih. Para pengusaha ini umumnya adalahpara santri yang hemat dan sederhana dalam pakaian dan tingkah laku, tetapi memiliki achievement orientation. Castles berpendapar bahwa fenomena pengusaha muslim di Kudus adalah salah satu bukti bahwa di Indonesia terdapat hubungan antara perusahaan pribadi dengan kepatuhan terhadap Islam[xxiv].
Penelitian tentang karakter wirausaha muslim juga dilakukan oleh Mohamad Sobary pada tahun 1991. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Weber yang menyoroti kelas menengah berpendidikan tinggi yang memiliki kesempatan dalam mengembangkakn usahannya, juga berbeda dengan latar sosial politik pedagang muslim Mojokuto tahun 1950 yang diteliti oleh Geertz, Mohammad Sobary menyoroti wirausaha kecil sektor informal  masyarakat Betawi di Desa Suralaya, Kecamatan Bumi Kabupaten Tangerang, pada tahun 1991 dalam latar sosial politik pemerintahan Orde Baru.
Dalam penelitiannya,  Mohamad Sobary menyatakan bahwa bersamaan dengan kebijakan industrialisasi pemerintah Orde Baru, desa-desa kemudian diserap menjadi bagian dari pusat[xxv]. Sebagai akibatnya desa mengalami perubahan pada nilai sosial, pola tata guna lahan dan pola-pola kegiatan pencarian penghasilan. Dengan arus urbanisasi di Jakarta sebagi ibu kota, maka masyarakat menjadi heterogen dan lahan pertanian berubah menjadi perumahan. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, masyarakat Betawi di Suralaya menjadi termarjinalisasi dan berpindah kegiatan penghasilan dari pertanian kepada sektor informal. Dalam keadaan ini masyarakat Betawi sangat erat dengan agamanya (Islam), dan memakainya sebagai dasar identitas diri karena Islam memberi perasaan bangga dan perlindungan psikologis dari perasaan terancam. Untuk masyarakat Betawi di Suralaya, agama bagi mereka adalah sebagai tempat memperoleh kedamaian. Agama dan bakat bisnis kecil-kecilan dijadikan sebagi sarana keberlangsungan hidup mereka. Dalam pengamatan Mohamad Sobary, mayarakat muslim Betawi di Suralaya memiliki sifat yang hemat, kerja keras, rajin, terampil dan mengaitkan kegiatan-kegiatan keagamaan dengan usaha komersial[xxvi]. Kaitan antara usaha komersial dengan keagamaan terlihat dalam syair lama Betawi;  Ya Allah ya Robbi/ Berilah saya/ Untung yang lebi /Biar bisa pergi haji/ Ziarah ke kuburan Nabi
Dalam kesimpulannya Mohamad Sobary menyatakan bahwa perbedaan struktural memainkan peranan yang sangat penting dalam menjelaskan mengapa para pengusaha Suralaya tidak berhasil mengembangkan usaha mereka. Kelemahan yang mereka miliki bukanlah kelemahan mental seperti tiadanya etos, melainkan kelemahan struktural[xxvii].

E.      Kesimpulan

Pengkarakteran wirausaha muslim diawali dengan pembentukan sikap yang sangat mempengaruhi perilaku dalam melakukan interaksinya dengan lingkungan bisnis. Pembentukan sikap ini bertitik tolak dari akhlak Islam yang merupakan konsep tentang penggambaran ideal seorang muslim menyangkut cara pandangnya terhadap kehidupan.
            Pengkarakteran wirausaha muslim ditunjukkan dengan beberapa ayat Al Qur’an dan hadist yang mengingatkan setiap muslim bahwa hakekatnya harta adalah milik Allah, perintah untuk bersikap jujur dan berperilaku baik dalam berbisnis.

No comments:

Post a Comment