Monday 31 December 2012

MANUSIA, HUKUM DAN TAKLIF

Telah dimuat pada ADIL Jurnal Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (Center for Law and Human Right Institute) Fakultas Syari'ah dan Ekonomi Islam IAIN SMHB Vol. VI No. 2,2012 

Abstrak

                Wacana paling populer dan tidak pernah kering dari pendapat dan perdebatan adalah tema tentang karakteristik manusia. Konsep tentang karakteristik manusia memang cukup penting untuk dipahami demi menemukan tujuan dan makna dari pendidikan dan pembangunan manusia itu sendiri. Pendidikan dan pembangunan kemanusiaan tak akan menghasilkan kesuksesan dan kemanfaatan tanpa pemahaman yang sesungguhnya tentang karakteristik manusia.
Aspek jasmani manusia sebagai mahluk biologis memang tidak banyak diperdebatkan  karena dapat ditangkap panca indera dan secara nyata dapat dijadikan objek penyelidikan ilmiah. Aspek rohaniah manusialah yang banyak diperdebatkan karena ilmu pengetahuan tidak dapat membahasnya secara tuntas, mengingat rohaniah manusia itu tidak dapat ditangkap panca indera, sehingga lebih sulit untuk dianalisis dalam kerangka ilmu pengetahuan ilmiah yang memberikan batasan pada gejala-gejala empiris (gejala yang dapat ditangkap panca indera).
Para ulama dan cendekiawan muslim yang membahas tentang manusia selalu memusatkan perhatiannya kepada aspek fitrah yang ada pada diri manusia. Fitrah merupakan sekumpulan hal yang telah dan hingga sekarang dikenal dengan kemanusiaan. Tidak ada satu aliran pun yang menolak adanya nilai-nilai kemanusiaan.
Fitrah tidak saja membawa manusia kepada kecenderungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan tetapi juga kecenderungan manusia untuk mencari dan menemukan Yang Tertinggi. Karena itu ketika para Rasul datang untuk  menyampaikan risalah, manusia sudah dalam potensinya sebagai mahluk yang berusaha mencari dan mendekati Yang Tertinggi. Fitrah dapat dilupakan oleh manusia, tetapi fitrah tidak dapat berubah dan tidak akan musnah. Karena itu fitrah ketuhanan mungkin saja dilupakan oleh manusia, tapi sampai kapan pun tak akan musnah .Fitrah manusia telah ditentukan karakteristiknya oleh Allah, sehingga semua manusia cenderung kepada nilai-nilai kebenaran
Kecenderungan untuk mendekatkan diri kepada Yang Tertinggi memerlukan cara-cara tertentu. Karena itu tugas para rasul adalah mengingatkan dan menunjukkan cara-cara mendekatkan diri (taqqarub) kepada Yang Tertinggi dengan mengajarkan akidah (mengesakan Allah) dan mengabdi kepada-Nya melalui cara-cara tertentu. Cara-cara itulah yang disebut dengan hukum. Fiqh adalah hukum yang dijadikan pedoman praktis bagi kaum muslimin dalam melakukan kegiatan-kegiatan dalam kehidupannya. Fiqh itu sendiri merupakan produk hukum yang dihasilkan dari penalaran dan pemahaman kaum muslimin atas wahyu (Al Qur’an) yang berkaitan langsung dengan masalah-masalah kontemporer.
Pembuat hukum yang sesungguhnnya adalah Allah dan tujuan Allah membentuk hukum Islam adalah untuk kemaslahatan ummat manusia. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui taklif. Taklif merupakan perintah berbuat, larangan berbuat, maupun keizinan berbuat untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan ummat.
Ukuran kemaslahatan mengacu pada doktrin ushul fiqh yang dikenal dengan sebutan al kulliyatul kahms (lima pokok pilar) atau dengan kata lain disebut dengan maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan univesal syari’ah) yang terdiri dari: menjamin kebebasan beragama, memelihara kelangsungan hidup, menjamin kreatifitas berfikir), menjamin keturunan dan kehormatan, menjamin kepemilikan harta. Seorang mukallaf akan memperoleh kemaslahatan, manakala ia dapat memelihara kelima aspek pokok tersebut (terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Kata KunciManusia, Hukum, Taklif

A.    PENDAHULUAN

Suatu wacana yang selalu aktual dibicarakan dan selalu menjadi pembahasan yang menarik adalah masalah manusia. Walaupun manusia sudah berkembang demikian modern, tetapi ia belum mampu mencapai kesimpulan lengkap mengenai dirinya sendiri.
            Pertanyaan sentral tentang “apakah manusia itu” sangat penting untuk dijawab karena apabila manusia tidak dimengerti dan didefinisikan secara meyakinkan maka pendidikan, bagaimanapun modernnya tidak akan menghasilkan kesuksesan dan manfaat yang sesungguhnya. Berbagai konsep tentang manusia telah dipaparkan demi untuk menemukan jati diri manusia yang sesungguhnya. Mengutip pandangan Sartre tentang manusia, ia berpendapat bahwa eksistensi manusia mendahului esensinya[1]. Hal ini tentu berbeda dengan mahluk lain yang esensinya mendahului eksistensi. Sebuah benda jika akan dibuat maka telah ditentukan dahulu fungsinya (esensi), baru kemudian benda itu bereksistensi jika ia sudah ada dalam bentuk konkrit. Tetapi manusia bereksistensi (ada) dahulu, kemudian ia melakukan pencarian esensinya. Dari pendapat Sartre ini dapatlah dimengerti mengapa manusia tidak pernah berhenti bertanya dan mencari tentang dirinya sendiri.           
Sedangkan aspek jasmani manusia tidak banyak dibicarakan karena dapat ditangkap panca indera dan dengan mudah dapat dijadikan objek penyelidikan. Aspek rohaniah manusialah yang banyak diperdebatkan karena ilmu pengetahuan tidak dapat membahasnya secara tuntas.

B.    TEORI FITRAH DAN TIGA DAYA BAWAAN MANUSIA

Menurut Murtadha Muthahhari lafal fitrah berkaitan dengan keadaan manusia dan hubungan keadaan tersebut dengan agama[2] seperti yang disebutkan dalam Al Qur’an Surat Ar Rum (30):30. Lafal fitrah dalam ayat ini mengandung arti sebagai keadaan yang dengan itu manusia diciptakan. Artinya Allah telah menciptakan manusia dengan keadaan tertentu, yang di dalamnya terdapat kekhususan-kekhususan yang ditempatkan Allah dalam dirinya saat dia diciptakan, dan keadaan itulah yang menjadi fitrahnya.
Berkaitan dengan pemahaman tentang fitrah maka terdapat tiga istilah yang perlu dibedakan pengertiannya yaitu: watak, naluri dan fitrah[3]. Pertama, watak atau sifat dasar manusia (ath-thabi’ah) yang biasanya untuk menyebut berbagai karakteristik asal benda-benda. Manusia, dengan pemikiran filosofisnya berpendapat bahwa dua benda yang sama dalam segala seginya tidak mungkin memiliki karakter yang berbeda. Jika karakternya berbeda maka hal itu membuktikan bahwa dua benda tersebut memiliki perbedaan dalam satu segi atau lebih.
Kedua, Naluri (al-gharizah). Istilah ini lebih banyak digunakan untuk binatang dan jarang sekali digunakan untuk manusia dan tidak pernah digunakan untuk tumbuh-tumbuhan dan benda mati. Di dalam naluri tersebut terdapat kondisi setengah sadar yang dengan itu binatang-binaatang dapat dibedakan cara kehidupannya. Kondisi tersebut bukan muktasabah (diperoleh dengan usaha) tetapi merupakan sifat dasar yang ada pada binatang. Kemampuan binatang dalam mempertahankan diri, tumbuh dan berkembang serta memiliki keterampilan sesuai perkembangan umurnya, merupakan kemampuan yang ada pada dirinya tanpa proses belajar.
Ketiga, fitrah (al fitrah). Isitilah ini digunakan untuk manusia. Sebagaimana watak dan naluri, fitrah merupakan bawaan alami. Artinya ia merupakan sesuatu yang melekat pada diri manusia (bawaan) dan bukan merupakan sesuatu yang diperoleh melalui usaha (muktasabah). Fitrah mirip dengan kesadaran. Manusia mengetahui bahwa dalam dirinya terdapat sekumpulan hal yang bersifat fitrah. Fitrah merupakan sekumpulan hal yang telah dan hingga sekarang dikenal dengan kemanusiaan. Sementara itu tidak satu aliran pun yang menolak adanya nilai-nilai kemanusiaan.
Fitrah tidak saja membawa manusia kepada kecenderungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan tetapi juga kecenderungan manusia untuk mencari dan menemukan Yang Tertinggi. Kecenderungan ini menyebabkan manusia melakukan pencarian terhadap Yang Tertinggi itu,  yang kemudian disebut agama. Artinya bahwa manusia  diciptakan dengan sejenis sifat dan watak dasar yang membuatnya siap menerima agama[4].
Kembali merujuk kepada Q. S Al-Rum (30):30, bahwa agama yang sesuai dengan fitrah manusia adalah Islam.  Karena itu menurut Muthahhari, ketika para Rasul datang untuk  menyampaikan risalah, manusia sudah dalam potensinya sebagai mahluk yang berusaha mencari dan mendekati Yang Tertinggi. Jadi tugas para rasul adalah mengingatkan manusia akan fitrah itu[5].  Jadi fitrah lebih dari sekedar al hiss atau indera, karena fitrah dapat membedakan perbuatan mana yang bermanfaat dan perbuatan mana yang merugikan (mudarat). Kemampuan manusia untuk membedakan perbuatan baik buruk ini merupakan potensi yang hanya dimiliki oleh manusia, sedangkan binatang hanya bergerak semata-mata dengan nalurinya dan tidak memiliki daya evaluasi seperti itu.
Di bagian akhir ayat ke-30 surah ar-Rum, terdapat kalimat: ”Tidak ada perubahan pada penciptaan Allah” dapat ditafsirkan  bahwa fitrah yang telah diberikan kepada manusia tak akan mengalami perubahan. Fitrah ketuhanan mungkin saja dilupakan oleh manusia, tapi sampai kapan pun tak akan musnah[6]. Pada kenyataannya, kebahagiaan atau penderitaan manusia bergantung pada perkembangan atau terselubungnya hakikat fitrah ini, al-Qur’an mengatakan, ”Dan sungguh beruntung orang yang telah menyucikan (diri) dan sungguh celaka orang yang telah mengotorinya”[7].
Selanjutnya fitrah yang merupakan bawaan manusia sejak lahir itu meliputi tiga daya atau tiga potensi. Ketiga potensi itu adalah:
1.      Quwwat al-aql yaitu daya akal atau potensi intelektual
2.      Quwwat al-gadlab yaitu potensi defensif
3.      Quwwat al-syahwat yaitu potensi ofensif[8].
Ketiga daya di atas memiliki fungsinya masing-masing. Daya akal adalah potensi tertinggi manusia yang berfungsi untuk mengetahui Allah (ma’rifatullah) serta mengimaninya. Daya gadlab berfungsi defensif yaitu untuk menghindarkkan diri secara naluriah dari segala yang membahayakan. Sedangkan daya syahwat berfungsi sebagai daya ofensif yang berfungsi untuk menginduksi obyek-obyek yang bermanfaat dan menyenangkan.
  Beberapa ayat dalam Al Qur’an menegaskan bahwa penalaran akal atas alam semesta dan diri manusia akan menghantarkan manusia kepada Allah, salah satunya dalam Q.S. Al-Fushshilat (41): 53.
Menurut Al Ghazali, orientasi akal atau orientasi ilmiah sering hanya dapat menembus pengetahuan positif saja. Dalam kerangka itu Al Ghazali meletakkan manusia dalam tiga tingkat kesadaran yaitu: kesadaran inderawi, kesadaran akal dan kesadaran rohani[9]. Pada tahap awal kesadaran manusia menggantungkan diri pada kemampuan inderanya. Manusia menerima rangsangan indera apa adanya. Tahap berikutnya manusia mulai menyadari bahwa indera sering berdusta dan mulai menggunakan akalnya supaya terhindar dari tipuan-tipuan indera. Melalui akal manusia memahami segala sesuatu tidak hanya mengandalkan inderanya saja tetapi mulai mampu menalar atas beberapa gejala, sehigga mendapatkan pengetahuan tidak hanya melalui rangsang indera tetapi juga melalui proses berpikir. Kemudian manusia mulai menyadari bahwa akal juga seringkali tidak jujur terutama jika berhadapan dengan norma-norma kebenaran dan etika. Baru pada tahap jiwani (kesadaran rohani) jiwa manusia mengenal pedoman hidup yang hak, yaitu sebuah pedoman dalam dunia rasa dan yang tersurat.
Fitrah manusia telah ditentukan karakteristiknya oleh Allah, sehingga semua manusia cenderung kepada nilai-nilai kebenaran. Adapun daya gadlab yang bersifat defensif dan daya syahwat yang bersifat ofensif dimiliki manusia dengan kadar yang berbeda-beda[10]. Kedua daya ini memberi kemampuan kepada manusia untuk dapat survive (mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam aspek fisik dan psikososial) di muka bumi bahkan dengan kemampuan ofensif manusia  dapat berkembang lebih maju dalam menciptakan fasillitas-fasilitas kehidupannya (memiliki kebudayaan yang terus berkembang).
 Tiga daya bawaan manusia ini secara jelas memberikan petunjuk bahwa manusia memiliki kualitas yang unik. Kualitas itu sengaja diciptakan oleh Allah untuk dalam rangka peran-peran manusia di dunia (sebagai khalifah fil ard). Tentang bagamana kemampuan akal (intelektual) mendapat penghargaan cukup tinggi dalam Islam, terlihat dari kisah tentang penciptaan Adam. Dalam Islam, penciptaan Adam dimulai ketika Tuhan menyatakan kepada para malaikat bahwa Dia ingin menciptakan wakilNya di muka bumi. Dari pernyataan Tuhan tentang misi manusia terlihatlah betapa mulia nilai manusia dalam pandangan Islam ini. Setelah Tuhan menciptakan Adam kemudian Tuhan mengajarkan nama-nama pada Adam. Apa yang dimaksud dengan pelajaran tentang nama-nama? Apapun penafsiran tentang “nama-nama” tersebut, yang jelas pengajaran tentang nama-nama menyiratkan gagasan tentang pendidikan. Jadi guru pertama manusia adalah Tuhan itu sendiri dan pendidikan manusia yang pertama bermula dengan menyebutkan nama[11]. Karena merasa terganggu dengan perlakuan istimewa Tuhan kepada manusia, maka para malaikat memprotes bahwa mereka diciptakan dari cahaya. Tetapi Tuhan mengatakan bahwa Ia lebih mengetahui, kemudian Tuhan memerintahkan para malaikat bersujud kepada manusia[12].
Demikianlah Islam mengangkat derajat manusia, menempatkan diatas para malaikat walaupun secara inheren sebenarnya para malaikat lebih unggul karena diciptakan dari cahaya. Inilah makna sebenarnya dari humanisme dalam Islam. Dalam Islam karunia intelektual (akal) manusia dibuktikan lebih unggul daripada para malaikat dan terbukti bahwa manusia adalah mahluk superior diantara segala ciptaan. Tuhan menguji malaikat untuk menyebutkan nama-nama, tetapi mereka tidak mengetahui nama-nama sedangkan Adam dapat mengingat semuanya. Dengan demikian malaikat dikalahkan dalam ujian itu dan Adam memperoleh kemenangannya atas para malaikat dalam ilmu pengetahuan. Jadi pengetahuan menjadi sumber keunggulan manusia. Sujudnya malaikat di hadapan Adam membuktikan kenyataan bahwa dalam pandangan Islam keluhuran esensial manusia dan keunggulannya atas para malaikat terletak pada ilmu pengetahuannya bukan pada pertimbangan rasial apapun juga[13].
Salah satu keistimewaan manusia adalah kesanggupan dan kemampuannya untuk menjadi pemegang dan pengemban Amanat Tuhan. Ketika Tuhan menawarkan tugas ini kepada seluruh mahlukNya, langit, bumi, gunung, flora, fauna dan seluruh fenomena alam, maka tidak ada yang sanggup menerima Amanat tersebut. Karena manusia memiliki keyakinan dan kemampuan untuk menjadi pengemban Amanat Tuhan, penjaga karuniaNya yang paling berharga, maka terbuktilah bahwa manusia dianugerahi keberanian dan keutamaan serta kebijakan di alam semesta. Apa pengertian Amanat itu? Ali Shariati menyetujui pendapat Jalal al Din Rumi bahwa yang dimaksud Amanat itu adalah kehendak bebas (free will) manusia[14].
            Kehendak bebas atau kekuatan iradahnya manusia inilah yang merupakan kemampuan paling menonjol dari manusia selain intelektualitasnya. Dengan memiliki kehendak bebas ini, manusia merupakan satu-satunya mahluk yang dapat bertindak melawan dorongan instingnya. Hewan maupun tumbuh-tumbuhan hidup semata-mata mengikuti dorongan instingnya tetapi manusia dapat melakukan perbuatan yang melawan dorongan instingnya seperti berpuasa, bunuh diri atau memilih apakah akan bertindak rasional atau irrasional.
            Dengan demikian pernyataan Tuhan bahwa manusia lahir atau diciptakan dari bagian Ruh Tuhan ditafsirkan sebagai adanya kesamaan antara mahluk dan khalik yaitu kehendak bebas. Tuhan satu-satunya Zat dengan kemauan mutlak,  telah meniupkan sebagian RuhNya kepada manusia dan mengantarkan manusia kepada kehidupan ini agar manusia dapat memanifestasikan sifat-sifatNya di muka bumi. Jadi manusia dapat berbuat mirip Tuhan tetapi dalam batas-batas tertentu[15]. Jadi kedekatan manusia dengan Tuhan berasal dari keutamaan yang sama yaitu kehendak bebas.
            Dalam pemahaman yang lengkap dapatlah disimpulkan bahwa Amanat-Nya kepada manusia adalah berupa kehendak bebas tersebut. Dengan kehendak bebas (free will) inilah manusia menjadi khalifah di muka bumi selain bahwa manusialah satu-satunya mahluk Tuhan yang memiliki kemampuan intelektual.
            Seperti dibahas dalam penjelasan sebelumnya bahwa sujudnya para malaikat kepada Adam disebabkan Adam mampu mempelajari nama-nama yang telah diajarkan Tuhan. Sujudnya para malaikat kepada Adam adalah simbol dari penghargaan Islam atas kemanusiaan (humanisme). Sedangkan nama-nama itu sendiri merupakan simbol dari fakta-fakta alamiah. Mempelajari tanda-tanda dari fakta-fakta alamiah tersebut membimbing manusia ke arah pemahaman dan penemuan kebenaran-kebenaran faktual yang ada dalam alam semesta. Hal ini berarti penguasaan atas fakta-fakta ilmiah. Penguasaan atas fakta-fakta ilmiah inilah yang merupakan dasar dari kualitas intelektualisme manusia.
Tiga daya bawaan manusia (potensi intelektual, potensi defensif dan potensi ofensif) ini memiliki daya picu yang berupa gerak yang disebut dengan al harakah. Setiap manusia memiliki al harakah untuk mengambil segala yang bermanfaat dan menolak segala yang merusak. Apabila keberadaan al harakah dalam diri manusia ini berfungsi sebagaimana mestinya maka tujuan hukum Islam pun pasti akan tercapai yaitu meraih kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat[16]. Jadi pengembangan tiga daya bawaan manusia ini tidak hanya berhenti pada kemampuan survive dan kemampuan manusia berbudaya, tetapi lebih khusus lagi adalah bermuara pada tujuan hukum Islam yaitu untuk kemaslahatan dunia dan akhirat. 
Ada pula salah satu cara untuk memahami manusia secara komprehensif yaitu dengan menafsirkan pengertian basyari, insani dan Al Nas  dan mahluk bani Adam yang tercantum dalam Al Qur’an[17].
Istilah basyar dalam al-Qur’an, semuanya mengarah pada gejala umum yang nampak pada fisik atau bentuk lahiriyah yang aktivitasnya dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiah, seperti makan, minum, seks, berjalan, dan mati sebagai akhir kegiatannya di dunia. Pada keadaan ini, manusia secara otomatis tunduk pada hukum alam.[18]
Istilah insan dalam al-Qur’an, menunjuk pada potensi yang membentuk struktur kerohanian manusia dan berfungsi sebagai modal dasar kehidupannya di dunia. Potensi itu berupa kapasitas nafsu, akal, dan rasa.
1.    Nafsu merupakan potensi kreatifitas yang cenderung pada arah nilai positif dan nilai negatif , tercantum dalam Q.S. Al-Syams (91): 7-8.
2.    Akal sebagai potensi intelegensi yang dapat mengenal, memahami, memilah, meneliti, dan memperoleh pengetahuan, tercantum dalam  Q.S Al-Rahman(55) : 2, Q.S Al-‘Alaq (96): 5, Q.S. Al-Hajj (22) : 46, Q.S.Al-Nahl (16) : 12, dan Q.S. ‘Abasa (80) : 24.
3.    Rasa merupakan potensi yang mengarah pada nilai-nilai etika, estetika, dan agama tercantum dalam Q. S. Al-Syura (42) : 48, Al-Zumar (39) : 8, dan Al-Ma’arij (70) : 19-20).[19]
Selain itu, istilah insan mengarah pada sifat-sifat manusia, seperti mulia, ingkar, melampaui batas, dan optimis seperti yang terdapat dalam Q.S. Al-Tin (95) : 4, Al-‘Adiyat (100) : 6, Al-‘Alaq (96) : 6, dan Al Fushshilat (41) : 49[20]. Jadi, dalam konteks itu, manusia adalah sebagai makhluk psikologis atau insani.
Istilah al-Nas dalam al-Qur’an mengandung beberapa makna yaitu: pertama, obyek pembicaraannya mengenai manusia bukan secara individual, tetapi manusia secara kelompok. Hal ini dapat dilihat pada ungkapan-ungkapan Qur’ani, “aksar al-nas” [kebanyakan manusia, Q.S. Al-Rum (30) : 30], “wa min al-nas” [dan di antara manusia, Q.S. Luqman (31) : 20], dan “al-nas ajma’in” [Manusia seluruhnya, Q.S. Ali-‘Imran (3) : 87]. Selain itu, bentuk kalimat perintah yang berkaitan dengan al-nas ditujukan kepada semua orang, seperti dalam ungkapan “ya ayyuha al-nas u’budu rabba kum” [hai manusia, sembahlah Tuhanmu sekalian, Q.S. Al-Baqarah (2) : 21] “ya ayyuha al-nas uzkuru” [hai manusia, ingatlah kalian semuanya, Q.S. Al-Fathir (35) : 3], dan “ya ayyuha al-nas ittaqu” [hai manusia, bertakwalah kamu sekalian, Q.S. Luqman (31) : 33].[21]
Kedua, istilah al-nas berkaitan dengan petunjuk al-Qur’an yang diperuntukkan pada manusia secara komunal, sebagai terlihat dalam ungkapan “ya ayyuha al-nas qad jaa kum al-rasul” [hai manusia, sesungguhnya telah datang rasul kepada kalian, Q.S. Al-Nisa (4) : 170], “wa anjalna ilaika al-zikra li tubayyina li al-nas” [dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an sebagai penjelasan bagi umat manusia, Q.S. Al-Zumar (39) : 41].[22]
Ketiga, istilah al-nas dikaitkan dengan penjelasan mengenai berbagai tipe, perilaku, atau karakter kelompok manusia. Menurut al-Qur’an, manusia itu munafiq [Q.S. Al-Baqarah (2) : 8-13], fasiq [Q.S. Al-Maidah (5) : 49], zalim [Q.S. Yunus (10) : 44], lalai [Q.S. Yunus (10): 92], kafir [Q.S. Al-Isra’ (17) : 89], destruktif (Q.S. Al-Syu’ara’ (26) : 183], musyrik [Q.S. Yusuf (12) : 103, 106], tidak bersyukur (Q.S. Yusuf (12) : 28], beriman [Q.S. Al-Ankabut (29) : 10], materialisme [Q.S. Al-Baqarah(2) : 204], dan berpaling [Q.S. Al-Anbiya’ (21): 1][23].
Jika dilihat dari konteksnya, istilah al-nas dalam al-Qur’an mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial yang saling bersekutu dan berinteraksi. Selain itu, naluri manusia cenderung bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dalam budaya yang berbeda, dan cenderung pula untuk saling berhubungan, membutuhkan, tolong menolong, dan memahami [Q.S. Al-Hujurat (49) : 13, al-Nisa’: 1].
Istilah bani Adam dalam al-Qur’an, menunjukkan bahwa manusia bukan merupakan hasil evolusi dari kera, melainkan berasal dari Adam[24]. Menurut al-Qur’an, manusia diciptakan Tuhan dari tanah dan ruh, hal itu diungkapkan dalam Q.S Al-Hijr (15) : 28, “fa iza sawwaituhu wa nafakhtu fi hi min ruhi” (maka ketika Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan aku meniupkan ke dalam tubuhnya ruh ciptaan-Ku). Jadi, manusia dalam konteks bani Adam adalah sebagai makhluk theoformis yang tersusun dari jasad dan ruh. Jasad berasal dari tanah, sedang ruh berasal dari Tuhan sebagai meta-energi yang menyebabkan daya basyari (biologis), daya insani (psikologis), dan daya al-nasi (hidup sosial). Daya-daya itu akan kembali tidak berfungsi setelah ruh diambil oleh Tuhan, itulah yang disebut kematian [Q.S. Al-Jumu’ah (62) : 8].

C.    AL FITRAH DAN AL FITRAH AL MUNAZZALAH

Untuk memfungsikan tiga daya bawaan (akal, syahwat, gadlab) yang berifat inheren pada diri manusia itu, diperlukan bantuan yang bersifat eksternal. Akan tetapi faktor eksternal yang dapat memfungsikan tiga daya bawaan tersebut haruslah yang sesuai dengan potensi yang secara inheren ada dalam diri manusia. Faktor eksternal itu adalah al fitrah al munazzalah yaitu wahyu[25]. Penisbatan tiga daya bawaan manusia (fitrah) kepada al fitrah al munazzalah serupa dengan penisbatan mata dengan cahaya[26]. Dengan panduan wahyu fitrah manusia lebih cepat berfungsi sehingga daya akal segera mengetahui Allah (ma’rifatullah) dan mengimaninya serta mengesakannya, mentaati perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya, membenarkan Allah dan Rasul-Nya.
Gambaran fungsi daya fitrah dengan wahyu tergambarkan dalam Q.S As-Syura (42): 52 dan  Q.S Saba, (34): 50. Kedua ayat tersebut mempertegas dua hal. Pertama, bahwa manusia dilahirkan bersamaan dengan potensi-potensi untuk mengetahui Allah, mengenali-Nya, mencapai kelanggengan hidup dan mempertahankannya. Kedua bahwa kelanggengan hidup dan mempertahankannya tidaklah cukup dengan fitrah yang inheren dalam diri manusia, melainkan memerlukan petunjuk tentang cara-cara meraih kebahagiaan yang hal itu ada di luar diri manusia yaitu wahyu Allah yang disampaikan melalui Rasul-Nya. Kedua hal tersebut mengarahkan pada satu pemahaman bahwa manusia dilahirkan dengan naluri beragama dan beriman, sedangkan wahyu menunjukkan cara bagaimana beragama dan beriman itu melalui seperangkat aturan (hukum Islam). Dengan demikian apa yang dibawakan dan diajarkan oleh hukum Islam adalah sesuai dengan jati diri manusia. Dengan kata lain hukum Islam adalah hukum yang manusiawi dan universal.
Dalil dalam Al Qur’an yang menyatakan bahwa manusia memiliki naluri beragama sejak lahir adalah Q.S Al- A’raf (7): 172. Dalam sebuah hadist Rasulallah disebutkan bahwa Rasulallah berkata: “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, kemudian kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi[27]”. Yang dimaksud “kedua orang tua” disitu adalah faktor-faktor eksternal. Unsur inilah yang menyimpangkan fitrah menjadi agama lain.
Di awal salah satu khotbahnya yang dimuat dalam Nahj al-Balaghah, dan sesudah menyinggung masalah penciptaan langit dan bumi, Imam ‘Ali as berkata: “...kemudian Allah mengutus rasul-rasulNya di tengah mereka, dan berturut-turut mengirimkan nabi-nabi-Nya agar mereka merealisasikan janji fitrah mereka, mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat yang telah mereka lupakan, serta agar mereka dapat berhujjah kepada manusia bahwa mereka telah menyampaikan risalah, membangkitkan pendaman-pendaman akal mereka dan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan-Nya”. Muthahhari menafsirkan khotbah Imam Ali itu sebagai berikut:
1.      Mengapa Allah mengutus para rasul secara estafet? Di dalam khotbahnya Imam Ali mengatakan “agar mereka merealisasikan perjanjian fitrah mereka”. Dengan demikian para nabi tidak memulai tugas dari tempat kosong, tetapi dengan menyalakan sesuatu yang telah ada dalam diri mereka.
2.      “Dan mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat-Nya yang terlupakan”. Dalam hubungannya dengan fitrah, para nabi bertugas mengingatkan akan fitrah itu.
3.      “Dan membangkitkan pendaman-pendaman akal mereka” . Para nabi diutus oleh Allah untuk memperlihatkan bahwa di dalam simpanan ruh dan akal mereka terdapat “harta kekayaan” yang mereka lupakan.”Membangkitkan pendaman-pendaman akal” berarti membongkar harta yang terpendam itu dan membangkitkan keheranan dalam diri mereka akan adanya harta terpendam itu[28].

D.    HUKUM DAN TAKLIF

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk beriman karena telah ditanamkan dalam dirinya fitrah. Kecenderungan untuk mendekatkan diri kepada Yang Tertinggi itu memerlukan cara-cara tertentu. Karena itu tugas para rasul adalah mengingatkan dan menunjukkan cara-cara mendekatkan diri (taqqarub) kepada Yang Tertinggi dengan mengajarkan akidah (mengesakan Allah) dan mengabdi kepada-Nya melalui cara-cara tertentu. Cara-cara itulah yang disebut dengan hukum. Fiqh adalah hukum yang dijadikan pedoman praktis bagi kaum muslimin dalam melakukan kegiatan-kegiatan dalam kehidupannya. Fiqh itu sendiri merupakan produk hukum yang dihasilkan dari penalaran dan pemahaman kaum muslimin atas wahyu (Al Qur’an) yang berkaitan langsung dengan masalah-masalah kontemporer. Proses dan metode penalaran dan pemahaman inilah yang disebut dengan ijtihad. Hasil dari ijtihad inilah yang kemudian melahirkan pedoman-pedoman praktis bagi kaum muslimin dalam melakukan kegiatan-kegiatannya di arena kehidupan demi untuk selalu selaras dengan hukum Al Qur’an. Jadi ijtihad merupakan produk penalaran manusia terhadap wahyu di satu pihak dan kenyataan sosial di pihak lain[29].
Pembuat hukum yang sesungguhnnya adalah Allah dan tujuan Allah membentuk hukum Islam adalah untuk kemaslahatan ummat manusia[30]. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui taklif. Taklif merupakan perintah berbuat, larangan berbuat, maupun keizinan berbuat untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan ummat[31].
Ukuran kemaslahatan mengacu pada doktrin ushul fiqh yang dikenal dengan sebutan al kulliyatul kahms (lima pokok pilar) atau dengan kata lain disebut dengan maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan univesal syari’ah) yang terdiri dari[32]:
  1. Hifdz al-dien (menjamin kebebasan beragama).
  2. Hifdz al- nafs (memeliahara kelangsungan hidup)
  3. Hifdz al-aql (menjamin kreatifitas berfikir)
  4. Hifdz al-nasl (menjamin keturunan dan kehormatan)
  5. Hifdz al-mal (menjamin kepemilikakn harta, property dan kekayaan).
Jika perjuangan ummat Islam mengabaikan hal-hal ini maka runtuhlah nilai-nilai Islam yang substansial[33].
Seorang mukallaf akan memperoleh kemaslahatan, manakala ia dapat memelihara kelima aspek pokok tersebut (terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan dan harta), sebaliknya ia akan merasakan mafsadat jika ia tidak dapat memelihara kelima unsur itu dengan baik. Menurut Al Syatibi penetapan kelima hal pokok tersebut didasarkan atas dalil-dalil Al Qur’an dan Hadist[34]. Diantara ayat-ayat itu adalah yang berhubungan dengan kewajiban shalat, larangan membunuh jiwa, larangan meminum minuman yang memabukkan, larangan berzina dan larangan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Kebanyakan ayat-ayat tersebut merupakan ayat-ayat Makkiyah yang tidak di naskh dan ayat-ayat Madaniyah yang mengukuhkan ayat-ayat Makkiyah.

E.     PENUTUP

Manusia tidak hanya memiliki instink (naluri), tetapi lebih dari mahluk lainnya ia dikaruniai instrumen istimewa berupa fitrah yang terdiri dari daya akal, daya defensif dan daya ofensif. Tiga instrumen ini dikaruniakan kepada manusia dalam rangka peran-perannya di muka bumi sebagai khalifah fil ard. Dengan tiga daya bawaan ini manusia pun kemudian diberi kewenangan untuk bergerak sesuai kehendaknya, ini berbeda dengan hewan yang bergerak hanya melalui dorongan naluri nya saja dan tidak dapat berkreasi. Manusia dapat melawan dorongan instinknya bahkan lebih jauh dapat berkreasi dan memiliki kemampuan mencipta atau mengolah alam.
Kemampuan manusia mencipta ini bukan saja dalam aspek dunia fisik tetapi juga dunia etik yang menyangkut penalaran dan penilaiannya tentang baik dan buruk serta kesadarannya bahwa perlu diciptakan aturan bersama (hukum) agar komunitas manusia tersebut stabil dan terintegrasi. Maka dibuatlah aturan berupa hukum-hukum itu.
Dalam Islam, kewenangan manusia dalam membuat hukum tidak secara total diberikan keleluasaannya. Penciptaan hukum oleh manusia harus merujuk kepada hukum Tuhan (Al Qur’an) dan kemudian dalam bentuk yang lebih operasional dalam Sunnah (hadist). Selanjutnya manusia diberi kewenangan untuk berijtihad dengan menafsirkan lebih lanjut antara teks dan konteks Al Qur’an serta hadist terkait dengan masalah-masalah realitas kehidupan yang dihadapi.
Penciptaan hukum yang diusahakan agar tetap pada tuntunan Tuhan inilah yang menciptakan metode-metode tertentu dalam penetapan hukum. Penetapan hukum tersebut dimulai dengan pemahaman tentang taklif dan lima hal pokok yang perlu dipelihara atau dijaga oleh hukum tentang keberlangsungannya yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (al kulliyatul khams atau maqashid al syari’ah).
Penetapan hukum yang harus sesuai dengan hukum Tuhan itu  dimaksudkan agar hukum yang dibuat manusia sesuai dengan fitrahnya. Allah yang menetapkan fitrah itu dan menciptakan hukum sesuai dengan fitrah. Oleh karena itu penciptaan hukum yang dilakukan oleh manusia juga harus disesuaikan dengan fitrah sehingga tercapailah kemaslahatan manusia.
Demikianlah, jika kaum muslimin dengan bersungguh-sungguh dan ikhlas dalam melakukan ijtihad dengan menafsirkan hukum yang ada dalam Al Qur’an dan Sunnah untuk mengatasi masalah-masalah kehidupannya, niscaya akan tercipta keselarasan antara fitrah manusia dengan hukum yang berlaku.

No comments:

Post a Comment