Tuesday 9 March 2010

SUMBER HUKUM BISNIS DALAM ISLAM MENURUT PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM


-->

Telah Diterbitkan pada AL-AHKAM Jurnal Hukum, Sosial dan Keagamaan. Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN SMHB Vol 3. No. 1 2009

SUMBER HUKUM BISNIS DALAM ISLAM

MENURUT PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM

Wazin Baihaqi

A. PENDAHULUAN

Pergaulan masyarakat dapat berjalan tertib dan teratur karena adanya tatanan dalam masyarakat. Tatatanan itu berupa perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seyogyanya tidak dilakukan, yang dilarang dilakukan atau yang dianjurkan untuk dijalankan seperti yang terdapat dalam peraturan tertulis (hukum) dan aturan tidak tertulis yang berlaku dalam masyarakat[1]. Jangkauan dari hukum adalah untuk menata pergaulan manusia sehingga perdamaian dan harmoni dapat diciptakan dengan cara adil dan kebutuhan-kebutuhan tiap-tiap orang dapat terpenuhi[2].
Suatu sistem hukum dijabarkan dalam beberapa bagian yaitu[3]:
1). Sistem tersebut mempunyai suatu struktur. Sistem tersebut mempunyai bentuk, pola-pola dan corak tertentu. Misalnya bagaimana oraganisasi peradilan atau polisi, garis-garis yuridiksi dan sebagainya.
2). Substansi yang merupakan aturan-aturan atau norma-norma aktual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga. Aturan substansil berisikan patokan bagaimana manusia seharusnya berperilaku
3). Permintaan. Untuk memahami hakekat hukum secara proporsional maka diperlukan tinjauan yang mendalam tentang latar belakang pembentukan hukum dan pemahaman terhadap kepentingan-kepentingan sosial yang dicerminkan hukum serta yang ingin dilaksanakan oleh hukum. Kepentingan-kepentingan tersebut menyangkut keinginan-keinginan pribadi atau kelompok-kelompok terhadap pembentukan dan penegakan hukum oleh organ pemerintah.
Demikianlah sesuai dengan sistem hukum tersebut yang berubah atau bergerak sesuai permintaan, keinginan-keinginan pribadi dan kelompok membuat perkembangan teori hukum berkembang seperti sebuah anti these demi untuk menemukan rumusan yang terbaik dalam menciptakan harmonisasi kehidupan yang adil. Bergeraknya teori hukum ke arah yang lebih pragmatis dengan memperhatikan dampak hukum atau aturan yang berlaku dalam masyarakat (living law) pada dasarnya pula merupakan keniscayaan dari pelaksanaan aspek aksiologis dan peranan ilmu hukum dalam masyarakat.

B. FILSAFAT HUKUM

Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia. Philo atau philein berarti cinta, sophia berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat merupakan suatu usaha untuk mencintai kebijaksanaan. Tujuan manusia dalam mengamati segala sesuatu dalam kehidupan ini adalah agar manusia dapat mencapai kebijaksanaan. Demikianlah sebanenarnya segala ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari proses berfikir manusia itu didasarkan dan untuk mencapai kebijaksanaan.
Mengamati pengertian filsafat ini maka kiranya pengertian filsafat hukum itu sendiri memiliki kaitan erat dengan makna kebijaksanaan. Para ahli hukum memberikan pengertian filsafat hukum dengan rumusan yang berbeda. Beberapa definisi itu diantaranya:
  1. E. Utrecht
Filsafat hukum memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan: adanya dan tujuan hukum). Apakah sebabnya kita mentaati hukum? (persoalan berlakunya hukum). Apakah keadilan yang menjadi ukuran baik buruknya hukum[4]?
  1. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto
Filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai: kecuali itu filsafat hukum juga menyangkut penselarasan nilai-nilai, misalnya antara ketertiban dan ketentraman, antara kebendaan dan keadilan dan antara kelanggengan atau konservatisme dengan pembaharuan[5].
  1. Lili Rasyidi
Filsafat hukum berusaha membuat “dunia etis yang menjadi latar belakang yang tidak dapat diraba oleh panca indera” sehingga filsafat hukum menjadi suatu ilmu normatif. Filsafat Hukum berusaha mencari suatu cita hukum yang menjadi “dasar hukum” dan ”etis” bagi berlakunya sistem positif suatu masyarakat[6].
  1. Gustav Radbruch
Filsafat hukum mengandung tiga aspek,yaitu (1) aspek keadilan, keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. (2) aspek tujuan keadilan atau finalitas, yaitu menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. (3) kepastian hukum atau legalitas, yaitu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati[7].
Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat hukum adalah suatu usaha untuk mencari tujuan yang bersifat etis untuk dijadikan dasar-dasar bagi pembentukan hukum demi tercapainya suatu masyarakat yang penuh keadilan dan keselarasan individu-individu dalam masyarakat. Sering terjadi juga kepentingan individu tersebut bertentangan atau mengganggu kepentingan umum. Karena itulah diperlukan hukum untuk mengatur relasi antar individu dan masyarakat ini. Tetapi penciptaan hukum itu sendiri haruslah memenuhi perasaan keadilan anggota masyarakat. Maka sebelum hukum itu diciptakan, filsafat hukum merumuskan telebih dahulu apa itu keadilan dalam hukum dan apa tujuan final dari penciptaan hukum itu.
Beberapa aliran filsafat hukum yang berusaha merumuskan tentang keadilan dan keselarasan itu adalah:
  1. Aliran hukum kodrat atau hukum alam
  2. Mazhab positivisme hukum atau aliran hukum positif
  3. Aliran utilitrianisme
  4. Mazhab sejarah
  5. Aliran sociological jurisprudence
  6. Aliran realisme hukum
Dalam literatur wacana filsafat hukum berbahasa Inggris terdapat aliran hukum Natural Law Theory yang dalam bahasa Indonesia aliran ini diistilahkan dengan nama hukum alam atau hukum kodrat[8]. Yang dimaksud dengan hukum alam dalam referensi ilmu hukum tersebut bukanlah hukum alam dengan fenomena fisik tetapi keniscayaan-keniscayaan kodratiah yang telah digariskan Tuhan (menekankan pada dimensi rohaniah).
Teori hukum kodrat melingkupi pendekatan terhadap hukum yang melihat bahwa keberadaan hukum yang ada adalah perwujudan atau merupakan fenomena dari tatanan hukum yang lebih tinggi yang seharusnya ditaati. Pendekatan hukum kodrat ini memiliki dua pendekatan yaitu yang berpijak dari pandangan teologis dan pandangan sekuler.
Teori hukum kodrat yang berpijak pada pandangan teologis dipengaruhi oleh keyakinan bahwa seluruh alam semesta yang ada diciptakan dan diatur oleh yang Maha Kuasa (Tuhan) yang juga meletakkan prinsip-prinsip abadi untuk mengatur berjalannya alam semesta. Karena itu semua hukum yang diciptakan harus sesuai dengan hukum Tuhan yang ada dalam kitab suci.
Teori hukum kodrat yang berpijak pada pandangan sekuler didasari keyakinan bahwa manusia (kemampuan akal budinya) dan masyarakat (dunianya) menjadi sumber bagi tatanan moral yang ada. Tatanan moral yang ada merupakan manifestasi dari tatanan moral dalam diri dan masyarakat manusia.
Positivisme hukum berpendapat bahwa hal yang paling utama dalam hukum adalah sebuah fakta bahwa hukum itu diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk membuat hukum[9]. Sumber dan validitas norma hukum bersumber pada kewenangan tersebut.
Pertanyaan “apa itu hukum” merupakan pertanyaan yang esensial dalam aliran ini. Menurut positivisme hukum, hukum adalah norma-norma yang diciptakan atau bersumber dari yang kewenangan formal maupun informal dari lembaga yang berwenang untuk itu, atau lembaga pemerintahan yang tertinggi, dalam sebuah komunitas politik yang independen.
Positivisme hukum berkutat pada dua pertanyaan yaitu, “apa hukum itu”? Dan “apa hukum yang baik itu”? Pertanyaan yang pertama menyangkut sebuah usaha untuk menerangkan hukum secara faktual yang ada dalam masyarakat manusia. Juga sebuah usaha untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik dasar, struktur dasar dan prosedur-prosedur serta konsep-konsep serta prinsip-prinsipyang mendasari kkeberadaan sebuah hukum.
Pertanyaan positivisme hukum tentang “apa hukum yang baik itu?” merupakan pertanyaan yang normatif. Dalam hal ini hukum dievaluasi berdasarkan penilaian baik dan buruk yang didasarkan pada standar yang seyogyanya dicapai oleh hukum yang baik. Hukum yang baik adalah hukum yang memenuhi tujuan yang ingin dicapai dari adanya hukum dan juga yang secara prosedural normatif memenuhi terciptanya suatu hukum.
Salah satu aliran dalam filsafat hukum adalah aliran utilirianisne. Aliran ini mempunyai prinsip bahwa manusia akan melakukan tindakan-tindakan untuk memndapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Jeremy Bentham salah satu pelopor aliran utilitarianisme mencoba menerapkannya di bidang hukum. Atas dasar ini, baik buruknya suatu perbuatan akan diukur oleh apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Demikian pula undang-undang, baik buruknya akan ditentukan oleh ukuran tersebut. Oleh karena itu undang-undang yang memberikan kebahagiaan pada sebagian besar masyarakat merupakan undang-undang yang baik[10].
Aliran utilirianisme menganggap bahwa tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan yang sebanyak-banyaknya kepada warga masyarakat. Hal ini didasari oleh adanya falsafah sosial yang mengungkapkan bahwa setiap warga masyarakat mendambakan kebahagiaan dan hukum adalah salah satu alatnya.
Aliran mazhab sejarah dipelopori oleh terutama Herder dan Hegel. Herder berpendapat bahwa ada hal yang unik dari setiap periode sejarah, peradaban maupun bangsa. Setiap usaha untuk menyeragamkannya adalah usaha yang sia-sia dan menghasilkan sebuah kesamaan yang cacat sifatnya. Sedangkan Hegel berpendapat bahwa negara adalah sama dengan alat untuk melindungi kepentingan kemerdekaan suatu bangsa, kemerdekaan individu dan kelompok oleh sebab itu patut dilindungi.
Gagasan Herder dan Hegel ini menjadi fondasi dari aliran filsafat hukum mazhab sejarah. Tesis utama dalam aliran ini adalah bahwa studi mengenai sistem hukum yang ada memerlukan pemahaman tentang pola-pola evolusi dari sistem hukum tersebut.
Menurut aliran mazhab sejarah hukum bukanlah sesuatu yang diciptakan dengan sewenang-sewenang dan terencana oleh pembuat hukum. Hukum adalah hasil dari proses yang bersifat internal dan otonom serta diam-diam (silent operating) dalam diri masyarakat (rakyat)[11]. Hukum itu berbeda-beda di setiap waktu dan tempat. Oleh karena itu tidak masuk akal jika terdapat hukum yang berlaku universal pada semua waktu[12]. Hukum bersumber pada jiwa rakyat dan yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa.
Aliran sociological yurisprudence dipelopori leh Roescoe Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cardozo dan lain-lain. Aliran ini menganggap bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan masyarakat. Aliran ini mempunyai ajaran mengenai pentingnya living law (hukum yang hidup dalam masyarakat). Menurut aliran ini hanya hukum yang mampu menghadapi ujian akal yang hidup terus. Yang menjadi unsur kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang berdiri di atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Tidak ada yang mampu bertahan sendiri dalam hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang[13].
Sedangkan pandangan Pound tentang sociological yurisprudence lebih mengutamakan pada tujuan-tujuan praktis[14] seperti:
1). Menelaah akibat-akibat social yang aktual dari lembaga-lembaga hukum dan doktrin-doktrin hukum, dan karena itu lebih memandang kepada bekerjanya hukum dari pada isi abstraknya.
2). Memajukan studi sosiologis berkenaan dengan studi hukum untuk mempersiapkan perundang-undangan, dan karena itu menganggap hukum sebagai lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha-usaha yang cerdik guna menemukan cara-cara terbaik untuk melanjutkan dan membimbing usaha-usaha itu.
3). Untuk membuat “efektif studi” tentang cara-cara membuat peratuaran-peraturan dan memberikan tekanan pada tujuan-tujuan sosial yang hendak dicapai oleh hukum dan bukan pada sanksinya.
4). Telaah sejarah hukum sosiologis, yakni tentang akibat sosial yang dihasilkan oleh doktrin-doktrin hukum dan bagaimana cara mendapatkannya.
5). Membela apa yang telah dinamakan pelaksanaan hukum secara adil, dan mendesak supaya ajaran-ajaran hukum harus dianggap sebagai petunjuk-petunjuk ke arah hasil-hasil yang adil bagi masyarakat dan bukannya terutama sebagai bentuk yang tidak dapat diubah.
6). Akhirnya, tujuan yang hendak dicapai oleh apa yang tersebut ialah agar lebih efektiflah usaha-usaha untuk mencapai maksud-maksud serta tujuan-tujuan hukum.
Aliran hukum yang lainnya diantara beberapa aliran filsafat hukum adalah aliran realisme hukum. Namun Llwellyn seorang pelopor aliran ini menyatakan bahwa realisme hukum bukan merupakan aliran hukum, melainkan sebagai suatu gerakan dalam cara berfikir tentang hukum. Relisme hukum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut[15]:
  1. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum
  2. Realisme adalah suatu konsepsi hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial; maka tiap bagian dari hukum tersebut harus diselidiki mengenai tujuan dan hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan sosial lebih cepat mengalami perubahan daripada hukum.
  3. Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen dan sein untuk keperluan penyelidikan.
  4. Realisme bermaksud melakukan apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisi dalam peraturan yang merupakan ramalan umum tentang apa yang dikerjakan oleh pengadilan.
Lebih jauh pendekatan dalam realisme hukum lebih dipengaruhi oleh pendekatan sosiologis. Pendekatan ini mengarah pada suatu obyek pokok, yakni apa yang secara aktual terjadi (dalam hal ini lembaga peradilan). Selain itu yang menjadi persoalan pokok dalam realisme hukum adalah bagaimana praktek hukum yang dilaksanakan oleh para hakim dan pegawai pengadilan. Merekalah yang membuat hukum secara konkret, karena dari merekalah masyarakat melihat adanya hukum yang eksis. Karena itu perhatian aliran ini amat tinggi terhadap aspek praktis dari jalannya proses peradilan.

C. SUMBER HUKUM BISNIS DALAM ISLAM

Saat ini banyak praktek ekonomi atau lembaga ekonomi yang memakai istilah syari’ah dalam menyebutkan jenis kegiatan atau lembaga ekonominya seperti bank syari’ah, asuransi syari’ah dan sebagainya. Syari’ah secara etimologis berarti “jalan tempat keluarnya air untuk diminum”. Kata ini kemudian dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan lurus yang harus diturut. Menurut Manna’ Al Qathan, syari’ah berarti segala ketentuan Allah yang disyari’atkan bagi hamba-hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak maupun muamalah[16]. Dalam perkembangan selanjutnya kata syari’ah digunakan untuk menunjukkan hukum-hukum Islam, baik yang ditetapkan langsung oleh Al Qur’an dan Sunnah maupun yang telah dicampur oleh pemikiran manusia[17]. Produk-produk pemikiran itulah yang disebut dengan fiqh.
Mengapa harus ada campur tangan manusia dalam merumuskan syari’at Islam? Hukum Allah dalam Al Qur’an terbagi dalam dua bagian yaitu yang terang (muhkam) dan yang mutasyabih (samar). Hukum mutasyabih yang ditemukan oleh ummat Islam di zaman Rasulallah telah dijelaskan lewat Sunnah. Namun penjelasan nabi tersebut terkait dengan dimensi kultur, situasi, kondisi, waktu dan tempat saat itu sehingga penjelasan Sunnah tersebut harus dilanjutkan melalui pengkajian dan penelitian .
Perkembangan ekonomi Islam baik dalam wacana maupun dalam praktek terus berkembang. Praktek-praktek ekonomi terus berkembang lebih kompleks dan beragam. Pada tahap inilah sangat diperlukan agar praktek ekonomi tetap sesuai dengan syari’at Islam.
Dalam wacana kelimuan di dunia akademik kini lebih banyak diperkenalkan istilah ekonomi Islam daripada istilah fiqh muamalah dan lebih banyak memakai istilah hukum Islam dibanding istilah syari’at Islam. Pengistilahan yang banyak terpengaruh oleh bahasa keilmuan Barat ini sekaligus menunjukkan keharusan pengkajian ulang fiqh muamalah kedalam bentuk ekonomi Islam kontemporer. Secara implisit perbedaan istilah yang dikaitkan dengan dimensi waktu ini memberi kesan bahwa diperlukan banyak usaha agar syari’at Islam tetap aktual dan praktek ekonomi tetap dalam bingkai syari’at.
Pada awalnya aturan mengenai perilaku ekonomi yang islami ditetapkan oleh Al Qur’an. Jadi secara etik al Qur’an mengatur perilaku ekonomi dalam bidang produksi, konsumsi, sirkulasi (distribusi).
Setelah Al Qur’an, Sunnah merupakan aturan kedua yang mengatur perilaku manusia. Sunnah adalah praktek-praktek yang dicontohkan oleh Rasulallah saw, serta ucapan-ucapannya (hadist). Keterangan-keterangan dalam sunnah memiliki formasi yang lebih operasional yang merupakan bentuk praktek dari konsep-konsep Al Qur’an. Sunnah menguraikan bagaimana tata cara zakat, bentuk kerja sama ekonomi, perdagangan, pembelanjaan harta dan sebagainya. Dalam konteks waktu, sunnah menjelaskan perilaku ekonomi masa lampau. Dengan kerangka hukum Islam yang dapat menjangkau semua dimensi waktu terdapat istilah-istilah ijma dan qiyas.
Ijma merupakan sumber hukum Islam yang ketiga yang merupakan konsensus dari mayarakat dan ulama (cendekiawan). Ijma adalah salah satu prinsip hukum baru yang timbul sebagai akibat melakukan penalaran dalam menghadapi masyarakat luas dengan cepat dari masyarakat Islam dini sampai generasi berikutnya.
Ijma tidak hanya dimaksudkan untuk melihat kebenaran masa kini dan masa yang akan datang, tetapi juga untuk membina kebenaran masa lampau. Ijma lah yang menentukan apakah Sunnah nabi itu dan bagaimana penafsiran surah Al Qur’an yang benar. Pada masa tertentu ijma memiliki kesahihan dan daya fungsional tinggi karena merupakan faktor paling ampuh dalam memecahkan praktek-praktek kehidupan kaum muslimin melalui potensinya dalam berasimilasi, mengubah dan menolak.
Arti penting ijma dalam hukum Islam hampir tidak dapat diragukan nilainya. Melalui saran-saran ijma bukan saja pertentangan dalam banyak hal dapat dihilangklan melainkan juga kesiapan dalam menghadapi situasi-situasi baru dengan proses analogi. Dengan demikian ijma bersifat mempersatukan agar kaum muslimin terhindar dari kesesatan (bid’ah). Namun tidak dapat dihindari bahwa terdapat persoalan-persolan kecil yang tidak dapat disepakati, tetapi para ahli agama Islam menafsirkan ini sebagai rahmat yang datangnya dari Allah. Ijma memiliki arti penting bagi masyarakat muslim dalam dunia modern. Oleh karena itu ijma merupakan sumber hukum Islam terutama untuk memperoleh seperangkat asas-asas dalam menjalankan ijtihad.
Secara teknis ijtihad berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan syari’at . Ijtihad merupakan proses penafsiran dan penafsirn kembali ayat-ayat yang diwahyukan dan sebagian pada deduksi analogis dan penalaran. Kehidupan dari zaman ke zaman selalu berubah dengan masalah-masalah yang lebih kompleks. Dengan proses ijtihad, hukum Islam berkembang mengikuti perubahan. Usaha ijtihad dalam hal ini amat diperlukan untuk menciptakan model-model dan teori-teori yang dapat menjawab persoalan aktual tetapi dengan tetap menyelaraskan diri pada Al Qur’an dan Sunnah.
Proses ijtihad memerlukan diberikannya prioritas masing-masing hukum sesuai dengan statusnya. Dalam memecahkan suatu persoalan hukum mujtahid pertama-tama harus mencari keterangan dalam Al Qur’an dan Sunnah. Jika jawabannya tidak terdapat di dalamnya barulah ia menempuh ijma (konsensus) masyarakat dan akhirnya harus melakukan ijtihad. Syarat penting yang harus dimiliki dalam melakukan ijtihad adalah kemampuan dan pengetahuan yang baik tentang perintah-perintah dalam Al Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ijtihad merupakan usaha memecahkan masalah kontemporer dengan tidak meninggalkan ketentuan Al Q ur’an, Sunnah dan ijma.
Qiyas merupakan usaha untuk mengembalikan atau mempersamakan suatu kejadian yang tidak ada ketentuan nash, dengan kejadian lain yang sudah ada ketentuan hukum dalam nash, karena ada illat (sebab) yang bisa diidentifikasi. Qiyas sangat diperlukan ketika perubahan banyak terjadi pada setiap zaman, seperti apakah bunga bank sama dengan riba dan sebagainya.
Dengan kerangka hukum yang lengkap Islam membuktikan dirinya sebagai agama yang bukan hanya berkutat di tataran normatif. Al Qur’an dan sunnah adalah nilai-nilai absolut yang melampaui dimensi waktu. Ijma merupakan upaya penafsiran Al Qur’an dan Sunnah dalam bentuk konsensus yang disepakati tentang suatu hukum. Adapun ijtihad dan qiyas merupakan bentuk operasional yang terikat dengan konteks waktu dan ruang yang berubah, dengan tetap berpijak pada nilai absolut (Al Qur’an dan Sunnah). Justru dengan ijtihad dan qiyas Islam memiliki kerangka hukum yang lentur (elastis) sehingga sangat responsif terhadap gejala masyarakat yang berubah-ubah.
Pada wilayah ijtihad dan qiyas diperlukan pengamatan atas gejala-gejala yang timbul dalam masyarakat (termasuk gejala ekonomi). Sehingga pada tahap ini ekonomi Islam ada pada tataran positif. Walaupun demikian, bukan berarti Al Qur’an dan Sunnah semuanya bersifat normatif. Ada beberapa ayat dalam Al Qur’an yang memberi petunjuk-petunjuk praktis dan jelas misalnya pembayaran utang piutang. Bentuk petunjuk praktis ini dapat dibedakan dengan pernyataan normatif dalam Al Qur’an, misalnya tentang sikap pertengahan dalam membelanjakan harta, konsep keadilan dalam perdagangan dan sebagainya yang semuanya memerlukan penjelasan lebih operasioanl dalam sunnah dan selanjutnya ijma, ijtihad dan qiyas.
Terdapat prinsip-prinsip hukum Islam yang lain yaitu Istihsan, Istislah dan Istishab[18]. Istishan merupakan sarana yang yang efektif dalam memasukkan unsur-unsur baru dengan tujuan mencari yang terbaik. Istislah berarti melarang atau mengizinkan sesuatu hal karena semata-mata memenuhi “maksud yang baik” (maslahah). Istishab yaitu bila eksistensi sesuatu hal pernah ditetapkan dengan bukti, walaupun kemudian timbul keragu-raguan mengenai kelanjutan eksistensinya, ia masih tetap dianggap ada.
Praktek ekonomi yang berkembang kini semakin luas dan beragam. Karena itu diperlukan aturan-aturan hukum yang baru dan diperbaharui agar dapat mengatasi masalah-masalah ekonomi yang memerlukan penanganan hukum. Hukum akan kehilangan eksistensi dan fungsinya jika tidak mampu mengatasi masalah yang terjadi di masyarakat. Melalui kerangka hukum Islam (sumber-sumber hukum Islam dan metode penetapannya) yang elastis, sebenarnya hukum Islam selamanya tak akan mengalami hal itu. Tetapi jika hukum Islam hanya berhenti pada tingkat wacana dan tidak mendapat pengesahan dari pemerintah, ia tetap tidak akan memiliki kemampuan mengikat yang pada akhirnya hukum Islam tetap kurang memiliki eksistensinya dan fungsinya di masyarakat.
Berbagai masalah dibahas dalam bingkai hukum Islam dari analisa tekstual dan kontekstual Al Qur’an dan Sunnah (hadist), ijma, ijtihad, qiyas sampai kepada penetapan hukumnya. Tetapi sanksi yang dikenakan berdasarkan penetapan hukum tersebut tidak akan memiliki kemampuan mengikat jika tidak disahkan oleh pemerintah sebagai hukum yang berlaku. Pada akhirnya tetaplah hanya berupa sebuah wacana dan sekalipun telah menghasilkan penetapan hukum (halal, haram atau sanksi-sanksi tertentu) hal itu hanya dianggap sebagai sebuah pilihan bagi para pelaku bisnis yang semuanya tergantung pada tingkat keterikatan dan konsistensi setiap pribadi muslim terhadap hukum Islam.
Dari akhir tahun 80-an hingga sekarang, penataan di bidang usaha ekonomi syair’ah di Indonesia terus dilakukan. Kegiatan usaha yang dilakukan di bidang ekonomi syari’ah diantaranya bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah dan bisnis syari’ah[19]. Yang menjadi masalah adalah belum tersedianya kompilasi hukum ekonomi syari’ah sehingga belum ada rujukan untuk memutuskan perkara. Urgensi pembentukan kompilasi hukum ekonomi syari’ah juga karena fiqh muamalah ini sangat beragam dan lebih terbuka bagi ijtihad. Hal ini dapat menimbulkan berbagai pendapat[20].
Berbeda dengan perbankan syari’ah dan asuransi syari’ah yang sudah tersosialisasi dengan baik, usaha bisnis syari’ah belum banyak dikenal oleh masyarakat. Karena itu apabila ada wirausaha yang berusaha untuk berbisnis secara islami rujukannya baru terbatas pada fiqh muamalah. Yang menjadi masalah adalah apabila ada usaha-usaha atau kasus-kasus bisnis yang lebih kompleks, yang secara hukum membutuhkan penafsiran melalui ijtihad dan qiyas. Lingkungan bisnis seperti inilah yang tidak mendukung pelaku bisnis untuk konsisten dengan aturan yang ditetapkan oleh syari’at.
Lahirnya Undang-undang no 3 tahun 2006 yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama memiliki wewenang untuk mengadili sengketa ekonomi syari’ah merupakan kemajuan satu tahap dalam aplikasi hukum Islam di Indonesia. Yang menjadi masalah selanjutnya adalah rujukan para hakim dalam memutuskan perkara ekonomi syari’ah belum tersedia dalam bentuk kompilasi hukum ekonomi syari’ah sebagaimana terdapat pada hukum perkawinan, warisan, waqaf, wasiat dan hibah. Selama ini penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga keuangan syari’ah mengacu pada ketentuan KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari BW (Burgerlijk Wetboek) yaitu kitab undang-undang hukum sipil Belanda yang dikonkordinasi keberlakuannya di tanah jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854. Dalam kenyataan yang demikian berarti konsep perikatan dalam hukum Islam tidak lagi berfungsi dalam praktek dan formalitas hukum di masyarakat. Jika terjadi perselisihan maka pihak yang bersengketa dapat memilih penyelesaiannya melalui lembaga Pengadilan Negeri atau lembaga arbitrase syari’ah.
Tuntutan terbentuknya Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah bukan hanya disebabkan Pengadilan Agama kini berwenang menangani kasus-kasus hukum ekonomi syari’ah tetapi lebih dari itu masyarakat sudah sangat membutuhkan kepastian hukum dalam kontrak bisnis syari’ah. Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dapat merujuk kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam yang pernah dibuat pada zaman kekhalifahan Turki Usmani yang tentu saja disesuaikan dengan aktivitas ekonomi di zaman modern ini[21].
Ada banyak hal yang perlu diperhatikan dan diperhitungkan dalam pembentukan kompilasi hukum ekonomi syari’ah dan praktek bisnis syari’ah di lapangan. Kejayaan ekonomi Islam pada zaman Rasulallah, Khulafaur Rasyidin, Bani Umayah dan Bani Abassiyah telah memberikan inspirasi kepada beberapa Negara muslim kontemporer untuk meniru sistem tersebut. Proses peniruan ini tidak selamanya berjalan mulus karena sistem yang ditiru adalah sistem yang komplet (kaffah), sedangkan yang meniru melakukannya dengan parsial[22].
Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah harus menggunakan ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh dan falsaha hukum Islam. Disiplin ilmu fiqh ini adalah metodologi yurisprudensi Islam yang mutlak diperlukan mujtahid. Para ulama, pakar dan praktisi ekonomi syari’ah merumuskan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah tersebut dengan berijtihad secara kolektif (ijtihad jama’iy).
Sebenarnya kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara konstitusional, masih sangat lemah dan keberadaannya hanya sebagai instruksi Presiden. Karena itu para ahli hukum Islam perlu merumuskan Kodifikasi Hukum Ekonomi Syari’ah (Islam)[23] dalam sebuah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam . Merumuskan kompilasi hukum Islam tentu saja dengan melalui prosedur yang telah ditetapkan dalam berijtihad.

D. SUMBER HUKUM BISNIS DALAM ISLAM DAN FILSAFAT HUKUM

Hukum Islam hampir meliputi semua pemikiran aliran-aliran dalam filsafat hukum. Pernyataan ini tidaklah berlebihan jika dilihat dari kerangka hukum Islam yang meliputi sumber-sumber hukum dan metodologi penetapan hukum.
Hukum Islam sejak awal berdiri atas pernyataan “berawal dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah dan dengan menggunakan syari’at yang ditentukan oleh Allah”, menunjukkan bahwa hukum Islam merupakan hukum yang berpijak pada pandangan teologis. Pandangan teologis ini pula yang merupakan dasar pemikiran hukum kodrat dengan menyatakan bahwa semua hukum yang diciptakan oleh manusia harus sesuai dengan hukum Tuhan. Agar sesuai dengan hukum Tuhan, hukum Islam memiliki metodenya sendiri dalam menetapkan suatu aturan. Tentu saja yang menjadi sumber hukum yang paling utama adalah Al Qur’an, kemudian Sunnah, setelah itu ada metode tertentu bagaimana sebuah hukum diciptakan tanpa terlepas dari kedua sumber hukum yang utama ini, sehingga timbul sumber hukum yang lain yang menggambarkan usaha masyarakat muslim agar tetap dalam bingkai hukum Tuhan yaitu ijma, qiyas dan ijtihad.
Hukum kodrat berusaha untuk menyelaraskan hukum buatan manusia dengan hukum Tuhan yang telah meletakkan prinsip-prinsip abadi berjalannya alam semesta. Dalam hukum Islam dinyatakan bahwa tujuan Allah membentuk hukum Islam adalah untuk kemaslahatan ummat manusia[24]. Beberapa ayat Al Qur’an yang mendasari hukum bisnis dalam diantaranya adalah:
1. Larangan memperdagangkan barang-barang haram (Q. S Al Muthaffifin (83): 2-3).
2. Benar, menepati amanat dan jujur atau setia (Q.S. Al Mukmin (40): 8).
3. Bersikap adil dan tidak melakukan riba (Q.S. Al Hud (11): 18 dan Q.S. Al Baqarah (2): 279).
4. Kasih sayang dan larangan terhadap monopoli (Q.S. Al Anbiya (21): 107).
5. Menumbuhkan toleransi, persaudaraan dan sedekah (Q.S. Al Baqarah (2): 280).
6. Orientasi keakhiratan dengan tidak lupa mengingat Allah (Q.S. Al Jumu’ah (62): 9-11) dan memiliki sikap dengan meluruskan niat, melaksanakan fardhu kifayah, memperhatikan pasar akhirat (Q.S. an Nur (24): 36-37 ), terus berzikir, tidak rakus, menghindari syubhat (Q.S. Al Baqarah (2): 172) dan selalu melakukan introspeksi.
Islam mengakui dan memberi keleluasaan dalam menafsirkan sumber hukum Al Qur’an dan Sunnah (hadist). Hasil penafisran tersebut kemudian juga menjadi sumber hukum pada tingkat selanjutnya. Ijma yang merupakan salah sumber hukum Islam merupakan kesepakatan ulama dan para ahli hukum Islam dalam menetapkan suatu hukum terhadap suatu masalah. Maka hal ini pula menjawab pemikiran mazhab positivisme yang menyatakan bahwa hukum adalah fakta yang diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu yang diberi kewenangan untuk itu. Hasil pemikiran yang berbentuk ijma ini memerlukan perangkat lain dalam melegalisasi sebagai hukum yang berlaku yaitu pemerintah atau penguasa. Karena itu hukum Islam sangat berkepentingan dengan pemerintah atau penguasa dalam memberlakukan hukum sehingga hukum Islam mempunyai kekuatan mengikat. Dalam kasus bisnis Islam, pembentukan kompilasi hukum ekonomi syari’ah melalui ijtihad kolektif (ijtihad jama’iy) yang terdiri dari paraaa ulama dan cendekiawan menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan kompetensi dari orang-orang yang membentuk hukum.
Mazhab positivisme juga berusaha untuk menganalisis prosedur-prosedur serta konsep-konsep yang mendasari keberadaan sebuah hukum. Hukum Islam sendiri memiliki perangkat yang dapat dianalisis secara obyektif seperti bagaimana konsep-konsep hukum yang normatif dapat diterjemahkan dalam sebuah perundang-undangan, sehingga hukum Islam dapat dianalisis secara obyektif.
Tentang pernyataan mendasar dari mazhab positivisme bahwa hukum yang baik adalah yang memenuhi tujuan yang ingin dicapai, juga merupakan permasalahan yang diperhatikan oleh hukum Islam. Pada dasarnya hukum Islam mendasarkan diri pada keadilan dan keseimbangan, yang semuanya diterjemahkan dalam hukum atau perundang-undangan. Dalam kaidah hukum Islam yang mengatur masalah ekonomi dan bisnis hal ini jelas terlihat sehingga masing-masing pelaku ekonomi tidak ada yang saling dirugikan.
Aliran utilirianisme menganggap bahwa tujuan diberlakukannya hukum adalah memberi kemanfaatan sebanyak-banyaknya pada warga. Dalam hukum Islam kemaslahatan ummat (kemanfaatan yang baik bagi ummat) merupakan tujuan hukum Islam. Adapun kemaslahatan menurut pengertiannya yang asli adalah memelihara sesuatu yang dimaksud oleh syari’at yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Sesuatu yang dapat merusak lima perkara itu disebut mafsadat[25]. Ukuran kemaslahatan mengacu pada doktrin ushul fiqh yang dikenal dengan sebutan al kulliyatul kahms (lima pokok pilar) atau dengan kata lain disebut dengan maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan univesal syari’ah) yang terdiri dari[26]:
  1. Hifdz al-dien (menjamin kebebasan beragama).
  2. Hifdz al- nafs (memelihara kelangsungan hidup)
  3. Hifdz al-aql (menjamin kreatifitas berfikir)
  4. Hifdz al-nasl (menjamin keturunan dan kehormatan)
  5. Hifdz al-mal (menjamin kepemilikan harta, property dan kekayaan).
Jika ummat Islam mengabaikan hal-hal ini maka runtuhlah nilai-nilai Islam yang substansial[27]. Pembentukan hukum bisnis Islam tentu saja mengacu pada tujuan universal syari’at Islam (maqashid al syari’at) untuk demi terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Dalam mazhab sejarah studi mengenai sistem hukum yang ada memerlukan pemahaman tentang pola-pola evolusi dari sistem hukum tersebut. Dalam kerangka hukum Islam menganalisis pola evolusi dari suatu hukum adalah keharusan. Jika pada masa kini orang akan menetapkan hukum atas suatu masalah, maka yang pertama menjadi sumber hukum adalah Al Qur’an. Dan jika dalam Al Qur’an disebutkan secara umum maka sunnah (hadist) merupakan sumber hukum yang kedua. Apabila pun tidak ada dalam hadist maka orang perlu merujuk pada kesepakatan para ulama dan kemudian terdapat proses qiyas jika memungkinkan adanya proses analogi antara masalah yang dianalisis dengan masalah yang sudah ada penetapan hukumnya.
Mazhab sejarah berpendapat bahwa tidak masuk akal jika terdapat hukum yang universal pada semua waktu. Dalam hukum Islam, Al Qur’an sebagai sumber hukum yang utama merupakan hukum yang bersifat universal yang melampaui ruang dan waktu. Tetapi dalam Al Qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang samar (mutasyabihat). Hukum mutasyabih inilah yang memberikan “kesempatan” kepada manusia untuk mengadakan proses penafsiran yang tentu saja dengan memperhatikan permasalahan yang timbul pada masa kekinian. Usaha penafsiran terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang mutsyabih dan penafsiran terhadap ijma atau qiyas inilah yang merupakan bagian dari ijtihad. Karena kondisi sosial politik ekonomi dan budaya berkembang dan beragam, maka usaha ijtihad pun tidak akan pernah berhenti. Pada tahap inilah terdapat kesesuaian antara mazhab sejarah dengan hukum Islam mengenai metode penetapan atau pembentukan hukum.
Aliran hukum sociological Jurisprudence berpendapat bahwa yang menjadi unsur kekal dalam hukum adalah pernyataan-pernyataan akal yang berdiri di atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Proses ijtihad dalam rangka penetapan hukum salah satunya adalah karena berdiri di atas pengalam yang terjadi pada suatu waktu yang kemudian dikonfirmasikan dengan sumber hukum, sehingga menghasilkan peraturan (isi hukum). Penetapan hukum melalui proses ijtihad juga mempertimbangkan pengalam-pengalaman yang terjadi dalam masyarakat. Beberapa kegiatan bisnis yang ada sekarang ini merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang terus berkembang semakin kompleks dan beragam dibandingkan kegiatan ekonomi yang ada pada jaman Rasulallah dan para sahabat. Sekalipun demikian penetapan hukum atas kegiatan bisnis yang ada sekarang tetap harus merujuk pada Al Qur’an, Sunnah dan ijma. Melalui proses ijtihad turut pula dipertimbangkan praktek-praktek ekonomi yang sudah ada dalam masyarakat.
Realisme hukum berpendapat bahwa hukum harus diterima sebagai sesuatu yang terus berubah. Tak diragukan kerangka hukum Islam -- dengan sumber hukum dan metode penetapan hukumnya – nampaknya “disediakan” untuk menghadapi perubahan-perubahan yang merupakan suatu keniscyaan dalam kehidupan.

E. KESIMPULAN

Ketika sebuah komunitas mulai terbangun dalam suatu wilayah, hal utama yang perlu dibentuk dalam komunitas itu adalah hukum. Hal ini dikarenakan hukum diperlukan untuk menjaga integritas komunitas dari benturan kepentingan antar pribadi dan juga dengan kepentingan umum. Hukum yang dibentuk harus memenuhi rasa keadilan bagi sebagian besar warga masyarakat serta memberikan kesejahteraan bagi masyarakat itu sendiri. Dengan dasar berpikir seperti inilah kemudian timbul beberapa aliran dalam filsafat hukum. Beberapa aliran dalam filsafat hukum ini mengemukakan pokok-pokok pikirannya untuk dalam rangka terciptanya keadilan di masyarakat. Adapun hukum Islam memiliki metodologi yang lengkap dari pernyataan etis dan universal tentang “keadilan” sampai kepada proses penerjemahan keadilan itu dalam bentuk peraturan yang diberlakukan dalam masyarakat. Hukum Islam juga memiliki metodologi yang unik dalam penetapan hukumnya yaitu menganalisis kenyataan dengan merujuknya kepada sumber hukum serta melakukan penetapan hukum dengan merujuk pada kenyataan.
Praktek bisnis yang semakin kompleks ditanggapi oleh hukum Islam agar kegiatan bisnis tersebut sesuai dengan syari’at Islam. Dalam kerangka hukum Islam yang meliputi sumber-sumber hukum dan metode penetapan hukum itu, praktek bisnis yang mutakhir dievaluasi kembali dan atau diatur kembali agar sesuai syari’at. Dalam pembentukan hukum inilah nampak bahwa hukum Islam meliputi pokok-pokok pikiran beberapa aliran filsafat hukum seperti pokok-pokok pikiran dalam hukum kodrat, aliran hukum positif, aliran utiliarianisme, mazhab sejarah, aliran sociological yurisprudence dan aliran realisme hukum.

No comments:

Post a Comment